Prolog

1.4K 70 15
                                    

Gemerlap lampu kota yang temaram dan bunyi dengung kendaraan yang melintas baginya lebih dari cukup untuk menghangatkan malam hari ini. Angin berhembus menerbangkan dedaunan kering yang tergeletak di tanah dan juga membuat berhelai-helai rambut para pejalan kaki tertiup ke arah barat. Tidak ada sesuatu yang spesifik, beberapa pekerja kantor berlalu-lalang dengan ransel besar mereka, beberapa pekerja kasar duduk-duduk di halte bus yang tak terurus sembari menghitung upah mereka dengan tangan yang kapalan, dan sisanya hanya muda-mudi yang hendak pulang ke rumah sehabis melepas penat.

            Menara Saidah yang suram sebagai latar keseharian ini seakan terabaikan oleh manusia-manusia yang melintas. Ditambah hampir setiap lima belas menit sekali bunyi rem kereta terdengar jelas dari dua buah jalur kereta listrik yang melintasi terowongan yang tepat berada di bawah jalan besar MT. Haryono. Dan tepat di seberangnya, Stasiun Cawang dengan arsitektur sederhana tapi mendukung berdiri di sana, bermandi cahaya dari gedung-gedung yang mengapitnya dan hilir-mudik laju kendaraan yang melintasinya.

            Tidak ada yang aneh dari hari ini bagi Kepala Polisi Sektor Tebet Irman Suryaf. Polisi yang akan berusia genap dua puluh delapan tahun itu menatap teliti setiap kesibukan masyarakat di balik lensa kacamatanya yang tipis. Di usia yang hampir menyentuh angka kepala tiga itu, Irman  masih memiliki garis wajah tanpa cela yang membuatnya terlihat seperti mahasiswa yang tengah menunggu gadis idamannya di salah satu sudut depan Menara Saidah. Jaket kulit Zara yang merupakan hadiah dari koleganya tersampir di bahu sementara kemeja putih polos dengan lengan digulung sesiku dikenakannya.

            Pria muda itu baru mengalihkan mata kecil nun tajamnya dari sekeliling ketika ia merasakan saku celananya bergetar kencang. Ia mendesah kecil, tanda menyesal karena tidak mematikan terlebih dahulu ponselnya sebelum ia berada di tempat ini. Tidak ada orang yang cukup nekat untuk mau meneleponnya pada jam-jam ini, karena semua rekan polisinya tahu bahwa mulai dari pukul delapan Irman tidak akan mau diusik. Irman menatap layar ponselnya yang menampilkan sebuah nomer yang ia hafal di luar kepalanya.

            “Irman di sini, Lex.” Gumamnya pelan setelah menyentuh opsi warna hijau di layar ponselnya. Untunglah keadaan sekitar saat ini belum terlalu bising sehingga ia masih bisa mendengarkan sambungan teleponnya dengan jelas. Terdengar suara derit kursi digeser dan itu membuatnya mengerutkan kening.

            “Oh hai Irman. Maaf mengganggumu, tapi aku punya satu kasus yang masih kutidak mengerti. Bisakah kau kembali ke kantor dan membantuku sebentar?! Atau tidak, bisa tolong kirimkan seluruh data setahun silam?!”

            Mendengarnya cukup membuat Irman sakit kepala. Alex atau biasa dipanggil Lex oleh semua orang di Kepolisian Sektor Tebet dan mungkin beberapa rekannya di luar kepolisian. Seorang pria yang berusia tiga tahun lebih muda darinya, canggung dalam bekerja tetapi memiliki semangat juang yang tinggi. Posisinya hanya sebagai Tim Forensik dari Badan Reserse Kriminal dikarenakan ia baru setahun bergabung dengan Kepolisian setelah menyelesaikan pendidikan Ilmu Kriminologi-nya di Universitas Indonesia.

            “Tidak bisa. Saya sedang berada di luar rumah,” jawab Irman dengan nada sedikit dingin, tahu bahwa kelemahan Lex adalah ketika ia berkata tanpa nada hangat di suaranya. “Saya bisa memberikannya pada Anda besok saat di kantor. Saya harap Anda mampu mengerjakan tugas Anda dengan bahan seadanya dulu, atau saya beri Anda solusi untuk bertanya dengan Bridgen Alma agar mendapat spesifikasinya.”

            Terdengar suara tawa di seberang sana. “Aduh aduh, padahal kau sedang di luar kantor dan kau masih berkata serius seperti itu, Kak,” suara Lex terdengar main-main. Dasar jiwa muda yang masih belum dapat dibendung. Irman berusaha memakluminya karena ia memiliki firasat dulu dia juga pernah melakukan hal yang sama. “Baiklah baiklah. Ini akan membutuhkan waktu yang lama, sepertinya aku lembur. Bolehkah aku meminjam ruanganmu, Kak?!”

LegamWhere stories live. Discover now