2. Keluarga Baru

149 10 0
                                    

-Bagaimana pun ibumu, dia tetaplah wanita pertama yang berjerih untukmu.-

°°°

"Ayah akan menikahi Zahra hari ini juga, Nak."

Deg.

Seketika lidah Adzfan menjadi kelu untuk berbicara.

"Adzfan, Ayah tahu ini memang tidak mudah untuk kamu menerima. Tapi, percayalah pada Ayah. Zahra adalah wanita yang tepat untuk menjadi ibumu." Akhram meraih pundak kecil putranya dan menarik Adzfan untuk masuk ke dalam pelukannya.

"Dan Ayah bukan melakukan ini karena selama ini Ayah mencintai Zahra. Namun, ini semua demi kebaikanmu. Ayah hanya tidak mau putra pemberani Ayah tumbuh menjadi seseorang tanpa sosok Ibu di sampingnya." Seketika itu juga, Adzfan melepaskan pelukan Akhram dengan paksa. Sekarang, dia tak hanya benci ibunya, namun juga ayahnya. Mereka sama-sama egois menurut Adzfan.

"Ayah dan ibu sama saja! Aku benci kalian!" Setelah berteriak seperti itu, Adzfan langsung saja meninggalkan kamarnya.

Akhram yang melihat sikap anaknya itupun hanya bisa menghela napasnya dengan gusar.

"Ayah yakin, suatu saat nanti kamu akan menerima ini, Adzfan."

...

"Saya terima nikahnya Azzahra bin Sulaiman dengan mas kawin 24 karat dan seperangkat alat sholat, tunai!"

"Bagaimana para saksi?"

"Sah!"

"Alhamdulillah!" Seruan itupun menggelegar begitu indahnya di ruangan yang menurut Adzfan sangatlah menyesakkan. Dia benar-benar benci ini semua. Tanpa terasa, setitik air mata menetes begitu saja dari pelupuk matanya.

Sesegera mungkin Adzfan ingin ke kamarnya, namun langkahnya langsung terhenti di saat ada gadis kecil yang menyapanya.

"Hai, Bang Afan!" sapa gadis itu yang memangku boneka beruangnya.

Tanpa peduli akan sapaan gadis itu, Adzfan kembali melanjutkan langkahnya. Namun, langkahnya kembali terhenti, sebab ulah dari gadis itu.

"Bang Afan, aku nyapa, loh. Kok Abang malah cuek? Kata Bunda, kalau ada yang nyapa kita, kita harus balas," jelas gadis itu dengan lucunya.

"Lo bisa diam gak, sih! Udah berapa kali gue harus bilang sama lo, kalau lo gak usah gangguin gue! Lo ngerti gak, sih?!" bentak Adzfan begitu marahnya. Dan membuat gadis itu langsung memeluk bonekanya dengan sangat erat.

"Ma-maaf," lirihnya. Namun, tidak diacuhkan sama sekali oleh Adzfan. Adzfan langsung saja pergi dari sana dan menuju kamarnya. Lalu, menguncikan dirinya di sana.

"Abang, Cici tau, Abang saat ini sedang marah dengan Om Akhram. Tapi, Cici janji! Cici akan buat Bang Afan sayang sama Cici. Dan Cici gak bakalan biarin Bang Afan sedih lagi. Cici janji, Bang!" ucap gadis itu seraya menatap pintu kamar yang sudah tertutup rapat itu.

Dan akhirnya, gadis kecil itupun memutuskan untuk turun dari lantai dua tersebut, menuju Zahra yang saat ini tengah menyalami para tamu.

"Bunda," panggilnya.

"Eh, Cici? Kenapa Sayang?" tanya Zahra yang langsung mensejajarkan tubuhnya dengan gadis itu.

"Bunda, Cici lapar," ucap gadis itu terlihat begitu imutnya.

"Yaudah, biar Bunda ambilkan, ya? Cici tunggu di sini, okay?"

"Enggak Bunda, Cici mau ikut, biar Cici bisa minta Bunda ambilin nasinya banyak. Karena Cici pengen makan bareng Abang."

"Yaudah, ayo!" ajak Zahra yang langsung menggenggam tangan mungil putrinya itu.

"Mas, aku ambilkan Rashi makan dulu, ya." Akhram yang saat ini tengah mengobrol dengan temannya itupun mengangguk atas itu. Dan membiarkan Zahra bersama dengan gadis yang bernama Arashi itu untuk pergi dari sana.

"Bunda, Bang Afan suka apa? Cici mau ambilkan Bang Afan itu, biar Bang Afan makan," celotehnya.

"Em ... setahu Bunda, Bang Adzfan itu suka ayam goreng. Mungkin dia masih menyukainya," jelas Zahra seraya mulai mengambilkan nasi untuk putrinya itu.

"Udah, cukup Bunda. Makasih Bunda. Cici mau ke kamar Bang Afan dulu." Setelah mengambil alih piring yang berada di tangannya Zahra, Arashi langsung saja beranjak untuk menuju kamarnya Adzfan.

Tok ... tok ... tok ...

"Bang Afan! Abang makan dulu, yuk! Cici tau, Abang belum makan kan, dari pagi? Ini, Cici bawain Abang nasi. Karena Cici yakin, semarah apapun Abang saat ini, Abang pasti merasa lapar, bukan?" Abang! Bukain pintunya, biar Abang makan. Cici gak mau lihat Abang sakit," ujar Arashi tanpa menyerah. Dia terus saja berusaha mengetuk pintu kamar itu.

Sedangkan, di dalam sana. Saat ini Adzfan tengah memuaskan dirinya dengan Play Station yang ada di dalam kamarnya itu. Meluapkan semua amarahnya pada game yang saat ini dia mainkan.

"Abang, kalau Abang tidak mau buka. Cici juga gak mau pergi dari sini. Karena Cici gak mau Abang kelaparan. Cici bakalan tungguin Abang sampai Abang membuka pintunya." Lagi-lagi, Adzfan sama sekali tidak peduli dengan teriakan gadis kecil yang ada di luar sana. Dia tetap saja sibuk dengan game di hadapannya.

Sedangkan di balik pintu sana, Arashi benar-benar melakukan apa yang barusan yang dia ucapkan. Dia benar-benar menunggu Adzfan di luar kamarnya.

Hingga akhirnya, acara resepsi kedua orang tua mereka pun usai. Namun, Arashi sama sekali tidak beranjak dari posisinya.

Ceklek!

"Lo?" ucap Adzfan terkejut dengan kehadiran gadis itu yang tengah duduk di hadapan kamarnya. Langsung saja Arashi bangkit dari duduknya dan menyerahkan sepiring nasi itu kepada Adzfan.

"Nih, Cici udah bawain Abang makanan. Tapi, Abang lama banget bukain pintunya. Jadi, Cici tunggu Abang aja. Karena Cici gak mau liat Abang sakit."

C'tak!

"Lo keras kepala, ya. Udah gue bilangin, gak usah gangguin gue." Adzfan pun menyentil kening Arashi membuat gadis itu sedikit meringis karena perlakuan kakak tirinya ini.

"Kan Cici udah bilang-"

"Banyak omong lo. Yaudah, sana pergi!" potongnya yang langsung mengambil alih sepiring nasi itu dan sedikit mendorong Arashi untuk pergi dari sana. Arashi yang didorong itupun tersenyum bahagia dan mengikuti perintah dari Adzfan yang menyuruhnya untuk pergi.

"Rashi?" tanya Akhram yang tiba-tiba saja muncul di hadapan Arashi yang masih belum bisa menghentikan bahagianya.

"Eh, Om-"

"Ayah, panggil Ayah mulai sekarang, jangan Om lagi."

"Em ... okay, Ayah."

"Kening kamu kenapa? Kenapa merah gitu?" tanya Akhram menyadari kening Arashi yang seperti kena jentilan seseorang.

"Eh ini? Em ... gak pa-pa, Yah. Ini tadi cuma kejedot doang."

"Kamu yakin, gak pa-pa?" tanya Akhram khawatir.

"Iya, Yah. Gak pa-pa. Oh iya, Cici mau ke kamar dulu ya, Yah." Dan Akhram pun hanya mampu mengangguk kikuk dengan itu. Ada hal yang aneh menurut Akhram, namun apa itu, dia pun bingung.

Ah sudahlah, mungkin saja ini gara-gara dia kelelahan hari ini. Dan akhirnya, Akhram memutuskan untuk beranjak ke kamarnya, guna membersihkan dirinya dan beristirahat sejenak.

Gata (END)Where stories live. Discover now