1. Prologue

29 9 1
                                    

Hujan baru saja berhenti membasahi tanah Joseon, menyisakan daun-daun lembab dan rumput-rumput basah. Namun, orang-orang tidak pernah berhenti datang ke tempat ini.

Orang-orang dengan rasa haus, lapar, dan kesepian yang butuh banyak kasih sayang. Mereka memenuhi setiap bilik-bilik yang disediakan sambil tertawa terbahak-bahak ditemani berbotol-botol arak dan para wanita penghibur.

Gibang* ini tidak pernah sepi barang sehari pun. Orang-orang dengan berbagai tujuan berkumpul di rumah hiburan yang dipenuhi wanita-wanita cantik dengan rambut disanggul tinggi melingkari kepala itu.

Di antara ramai dan riuhnya suasana, ada satu ruangan di antara deretan bilik-bilik yang selalu diperebutkan. Tidak semua orang bisa masuk ke sana karena ditetapkan sistem sewa. Setiap hari, para laki-laki akan antri untuk memesan bilik itu.

Jika kalian berpikir karena para gisaeng** yang dipekerjakan di ruangan itu adalah gisaeng terbaik, maka kalian salah. Memang, selain karena pelayanan yang diberikan akan lebih istimewa, ada sesuatu yang lebih dinantikan para pengunjung.

Cerita.

Mereka mengantri hanya untuk dibacakan sebuah cerita.

Tidak ada yang tahu siapa yang bercerita karena orang itu akan bersembunyi di balik tirai di sisi lain bilik. Yang orang-orang tahu pembaca cerita itu adalah seorang wanita. Suaranya yang lembut, intonasinya yang menghanyutkan, dan bagaimana dia berhasil membawakan cerita penuh penghayatan, membuat orang-orang rela mengantri dan membayar mahal hanya untuk dibacakan cerita olehnya.

Dia menyebut dirinya Yongdam, si bunga lonceng, tetapi orang-orang memanggilnya dengan banyak julukan karena memang tidak pernah ada yang tahu siapa nama aslinya. Mulai dari Malaikat di Balik Tirai,  Lidah Menghanyutkan, Gisaeng Pendongeng, Gisaeng Tak Tersentuh, Topi Merah, Si Misterius Cantik, dan banyak lagi.

Tidak ada yang tahu apakah wanita yang bercerita di sebalik tirai itu adalah seorang gisaeng atau bukan. Yang jelas, dia akan menolak setinggi apapun bayaran untuk melihat wajahnya.

"Aku akan segera pulang," ucap seorang gadis dengan senyum sumringah setelah sebelumnya keluar dengan mengendap-endap dari pintu kecil di sisi belakang rumah gisaeng itu.

Dia berhadapan dengan seorang wanita cantik dengan sanggul besar di kepala. Wanita itu memberinya sekantung uang sambil tersenyum sumringah. "Jangan lupa besok kau harus datang lagi, ya. Kau harus datang pokoknya."

Gadis itu tertawa. "Ei, tentu saja. Para pendengarku akan kecewa jika aku tidak datang barang sehari."

Mereka kemudian sama-sama tertawa. "Dan aku akan membayarmu lebih banyak lagi, Yongdam."

"Tentu saja kau harus. Jika tidak aku akan cari tempat lain saja untuk bekerja," ujarnya masih dengan tawa. "Kalau begitu aku pergi dulu, ya. Sampai jumpa besok, Ae Wol Eonni***."

Semenjak namanya sebagai pembaca cerita mulai terkenal, Yeon Hwa tidak pernah mengambil pekerjaan lebih. Dia hanya akan membacakan cerita satu kali dalam sehari di rumah gisaeng tersebut dengan bayaran yang cukup tinggi lalu pulang ke rumahnya dan mengolah obat-obatan yang dicarinya di hutan.

Bagi Yeon Hwa, membaca cerita hanya pekerjaan sampingan agar dapat bertahan hidup. Dia lebih suka bergelut dengan tumbuhan-tumbuhan herbal, meramu obat-obatan, dan mengobati orang-orang yang tidak mampu membayar mahal pada tabib.

Dia hanya tinggal sendiri di rumah ini. Ibu dan ayahnya sudah lama meninggal dunia, membuat Yeon Hwa diasuh oleh seorang tabib kampung yang mengaku sebagai teman ayahnya dan menganggap Yeon Hwa sebagai putrinya sendiri. Namun, ketika usianya lima belas tahun, tabib yang sudah seperti ayahnya itu meninggal dunia akibat penyakit kronis yang tidak ada obatnya.

Dalam hidupnya, Na Yeon Hwa tidak pernah meminta lebih kepada Tuhan. Hidupnya yang seperti ini sudah sangat dia syukuri. Meski ibu dan ayahnya telah tiada, dia sama sekali tidak kekurangan kasih sayang. Dia punya tetangga yang ramah, punya teman-teman yang baik, punya pekerjaan yang cukup menghasilkan, dan dapat membantu rakyat miskin meski hanya dengan obat-obatan yang dia racik.

Dan seandainya jika ia diberi satu permintaan, Yeon Hwa hanya ingin bertemu lagi dengan kakak laki-lakinya yang tidak pernah dia temui sejak sepuluh tahun lalu.

Yeon Hwa sedang bercermin sembari menyisir rambut ditemani redupnya cahaya lilin ketika suara erangan dan debaman keras terdengar dari luar biliknya.

Meski sedikit takut, dia tetap mengusahakan diri untuk berdiri dan mengintip keluar. Mengambil jubahnya beserta lentera dan turun dari bilik.

"Ya Tuhan!"

Pekikan terkejut itu keluar tanpa diduga. Yeon Hwa membelalakkan matanya melihat apa yang ada di depannya saat ini. Seorang laki-laki terkapar sembari meringkuk di tanah dengan mulut dan tubuh bersimbah darah.

Yeon Hwa meletakkan lenteranya, mendekati laki-laki itu dan meringis ngilu ketika melihat sayatan panjang melintang di dadanya.

Meski awalnya dia takut untuk membantu karena bisa saja orang ini adalah penjahat atau buronan, tetapi nuraninya sebagai seorang tabib merasa tersentuh. Bagaimanapun ... orang ini membutuhkan bantuannya. Jadi, tanpa pikir panjang, Yeon Hwa berusaha keras memindahkan tubuh yang sudah nyaris tidak sadarkan diri itu ke bilik rawat rumahnya.

Membaringkannya di sana tanpa memikirkan apa yang akan terjadi ke depannya.

Dan seandainya Yeon Hwa bisa kembali ke masa itu, mungkin saja dia akan memilih untuk menginap di gibang, bersama Ae Wol dan yang lainnya. Namun, takdir tidak mungkin salah memilih tuannya, bukan? [ ]

Thanks for reading. Secuil jejak Anda means a lot\(^o^)/

*Gibang (Aksara Korea: 기방) adalah rumah bordil yang legal pada masa Dinasti Goryeo dan Dinasti Joseon. Gibang merupakan tempat para Gisaeng menghibur orang-orang korea pada masa lalu.

**Kisaeng, gisaeng atau ginyeo (기녀), adalah wanita yang berprofesi sebagai penghibur di Korea pada zaman Dinasti Goryeo dan Dinasti Joseon. Kisaeng bekerja untuk menghibur raja dan para bangsawan.

***Eonni: panggilan untuk kakak perempuan dalam bahasa Korea.

EvanescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang