"Serius?" tanya Prasa meyakinkan keputusan Jana.

"Keberatan?"

Laki-laki itu menggeleng disertai tawa kecil. Masih tidak percaya dengan Jana. Bukankah wanita selalu menghindari makanan berat berlemak dengan dalih menjaga berat badan ideal?

"Why? Bukannya kalian perlu menjaga berat badan? Mostly para wanita sibuk diet dengan segala cara."

"Memang, beberapa dari mereka. Tapi terkadang menikmati hidup juga perlu. Kenapa? Nggak mau?"

"Mau aja kalau sama kamu. Aku pikir kamu nggak sembarangan makan jadi sushi bukan makanan yang berat banget macam nasi padang."

"Nggak juga. Tapi nggak tiap hari juga."

Jana meringis tipis. Kali ini dia merasakan rasa percaya dirinya sudah mulai kembali sedikit demi sedikit. Kakinya mantap melangkah menuju ke rumah makan padang di sudut jalan. Terlihat dari kejauhan sudah ramai dengan orang mulai dari sopir hingga mereka yang berdasi. Tempatnya tidak besar, cukup sederhana. Makanya, baru beberapa orang yang mengantri pun dari jauh sudah terlihat penuh, ditambah dengan mereka yang sudah berhasil duduk menikmati makan siangnya. Jana suka makan siang di sana. Tapi memang tidak setiap hari. Itupun, dia selalu ambil jam lewat dari makan siang guna menghindari kepadatan. Makan siang sambil melihat antrian panjang rasanya seperti diburu-buru untuk segera selesai, bergantian tempat duduk.

"Jana serius?" tanya Prasa masih tidak percaya.

"Warteg?"

"Sama penuhnya. Lagian banyak restoran kenapa kamu pilih di sana?"

"Saya suka bumbu rendangnya. Oke, mungkin lain kali aja. Saya suka lupa, kita nggak bisa paksa orang suka dengan apa yang kita suka. Lets, kamu suka makan dimana?"

Jana menghentikan langkah kaki, menatap Prasa dengan seulas senyum tipis bermakna meledek. Sengaja memang, agar Prasa tidak lagi mengajaknya makan siang. Orang-orang bawahannya sudah salah paham tadi. Jana tidak ingin lebih banyak lagi yang salah paham bahwa faktanya Jana tidak ada urusan lain dengan Prasa selain hubungan kerja.

"Di restoran Jepang itu aja gimana?" tawar Prasa menunjuk pada bangunan berarsitektur jepang di seberang jalan.

Jana menyipitkan mata. Restoran dengan nama menggunakan huruf kanji tercetak besar di depan sana hanya penuh dengan mobil. Dua tahun sudah restaurant itu berdiri namun jujur saja untuk menginjakkan kaki di sana sekedar makan siang pribadi, ia belum pernah. Kalaupun makan di sana, hanya karena janji temu dengan mitra bisnis. Itu pun bisa dihitung dengan jari. Jana lebih suka pesan makan lewat officeboy kemudian dia nikmati sendiri.

"Oke. Saya nggak bisa lama-lama. Jadi kalau bisa jangan pesan makanan yang membutuhkan waktu lama buat kita makan."

"Oh? Kita lihat nanti ya," katanya penuh percaya diri.

Jana tidak menyahut dan tidak mau mengambil pusing omongan Prasa. Kakinya melangkah gesit menyeberangi jalanan yang lumayan senggang tidak terganggu dengan hak tinggi di heels yang menopang kaki. Jana tidak tahu bagaimana tatapan Prasa melihat punggung dari tubuh ramping itu berjalan tegap. Sampai kemudian Jana nyaris menjerit dengan gerakan reflek menarik tangan ketika sebuah tangan tanpa permisi menggandeng tangannya. Namun genggaman laki-laki itu cukup kuat sehingga sulit untuk dilepaskan.

"Lepasin," ucap Jana dengan lirikan memperingatkan. Masih dengan usaha melepaskan diri dari genggaman Prasa.

"Biar lebih aman. Nanti kalau kamu kenapa-kenapa gimana?"

"Saya biasa nyebrang sendiri nggak apa-apa tuh?" jawab Jana sebelum kemudian tangan Prasa bergerak cepat menahan tubuh Jana saat kakinya menginjak lubang kecil di jalanan beraspal itu.

"Nah, kan?"

Sial! Jana merutuk dalam hati. Gerakan cepat Prasa sebenarnya tidak bermasalah. Yang bermasalah adalah tubuh Prasa yang kini tanpa jarak membawanya ke dalam restaurant itu. Harum tubuh Prasa yang otomatis memenuhi rongga dada membuat Jana hampir kesulitan menata diri dan debaran keras di dadanya. Sudah mati-matian menahan gugup sejak mengiyakan ajakan Prasa, kini ia harus berurusan dengan aroma tubuh laki-laki itu.

"Bisa tolong kita ada jarak?" tanya Jana lengkap dengan gerakan mata tertuju pada tangan Prasa yang masih merangkum pinggangnya padahal sudah sampai di sebuah meja kosong.

"Oke, sorry," jawabnya meringis lebar kemudian menarik sebuah kursi untuk Jana.

Terserah, batin Jana enggan menjawab. Ia lebih memilih diam dan duduk tanpa protes. Baru hari pertama jalan dengan laki-laki ini, ada saja hal yang membuat Jana menahan napas. Kalau saja laki-laki itu tahu bagaimana gugupnya Jana sebenarnya, mungkin akan tertawa terbahak saat itu juga.

"Kamu mau makan apa?" tanya Prasa mulai membuka buku menu bersampul tebal itu.

"Sekiranya nggak terlalu berat. Kira-kira apa?" sahut Jana tanpa mengalihkan pandangan dari buku menu.

"Jana! Lho, sama Prasa?" sapanya terdengar cukup terkejut, "Nah gitu dong. Di mulai dengan makan siang bareng. Nonton bareng. Saya senang lihatnya. Kalian cocok. Prasa, dia masih single kok."

Sebuah suara yang sangat Jana kenal, hadir menyeruak ketika Jana sedang melihat daftar menu. Seketika ia mengangkat wajah. Garis lurus di bibir tercipta dengan sempurna. Seharusnya tidak seperti ini ceritanya. Lengkap sudah ketika dari atas ke bawah semua salah paham.

"Terima kasih masukannya, Pak Darren. Senang dengarnya kalau emang benar masih single," jawab Prasa tersenyum sopan.

"Iya. Saya jamin. High qualified! Oke, saya duluan ya."

Sial dua kali! Dalam hati Jana kembali menggeram. Bagaimana bisa dia lupa kalau makan siang ini Darren ada pertemuan dengan media yang akan berpartisipasi event valentine nanti.

"Jangan didengar."

"Kenapa?" tanya Prasa.

"Nanti salah paham."

"Tinggal diluruskan. Lagian nggak ada salahnya kan kita dekat? Aku senang kalau kamu masih single. Jadi nggak salah paham kan? Beda situasi kalau kamu udah punya pacar atau suami. Mana berani aku ajak kamu makan siang."

"Kalau saya ternyata udah punya pacar?" tanya Jana menatap Prasa dengan berani. Kalimat Prasa menghadirkan keberanian Jana untuk mengambil celah agar tidak terlibat lebih sering dengan laki-laki itu.

Terdengar tawa kecil dari Prasa. Dilihatnya laki-laki itu menutup buku menu kemudian mencondongkan tubuh padanya, menghapus jarak hingga tersisa tidak lebih satu jengkal.

"Pilihannya cuma dua. Kamu putusin dia atau pacaran sama aku. Simpel kan?"

Jana mendelik tanpa menunggu waktu. Woah! Oksigen di ruangan ini rasanya mendadak tipis.  Napas Jana nyaris terlihat megap-megap kalau saja dia tidak mati-matian menahan diri.

"Itu bukan pilihan!"

"Itu kan menurutmu. Kalau menurutku itu pilihan. Aku nggak pernah kasih pilihan yang susah. Gimana?"

"Ya nggak gimana-gimana. Kan kita bicara 'kalau'."

"Iya, 'kalau' yang kapan aja bisa jadi iya."

Ada senyum kemenangan tercetak jelas di wajah tampan Prasa. Jana terdiam sejenak. Menata diri untuk tidak terpancing emosi. Laki-laki ini hanya sedang mencoba mengakrabkan diri saja tidak lebih. Begitu dia meredam dirinya sendiri yang mulai bergejolak.

"Becanda. Jangan terlalu dibawa serius. Santai sedikit. Kesehatan mental itu penting. Kamu udah serius sama pekerjaan ditambah serius kayak gini sama aku. Jana, gimana chemistry itu mau ada? Come on! Kamu butuh untuk sedikit rileks."

Jana meringis kaku. Cara Prasa bercanda bernada serius. Raut wajah dan nada bicaranya pun tidak mengarah ke sana. Jadi apa yang bisa menyehatkan mental?
***

Tbc

Gimana? Udah mulai ada greget greget belum? 🤣🤣🤣
Selamat hari rabu, semoga ga ada lagi perasaan abu-abu lagi di awal tahun baru.

05 January 2022
Salam,
S Andi

Love Me If You Dare (TERSEDIA CETAK DAN E-BOOK) Where stories live. Discover now