"Maaf. Maaf karena sudah mengecewakan, saya tidak bisa memenuhi keinginan terakhir kamu dengan baik, membuat anak-anak harus menerima dan menanggung rasa sakit akibat kesalahan buruk yang telah saya lakukan," ujar Jayden lagi, menunduk untuk sesaat, pria itu mengisi paru-parunya oksigen dengan perlahan.

Jayden masih ingat dengan jelas, apa yang diminta oleh sang istri untuk terakhir kalinya, wanita itu ingin Jayden segera menikah lagi jika ia sudah tiada nanti, mencari wanita baik nan penyayang yang akan merawat dan menyayangi ketiga putra mereka dengan sepenuh hati tanpa mempermasalahkan jika mereka bukan anak kandungnya. Ia tak mau anak-anaknya nanti tumbuh tanpa sosok seorang ibu.

Risa- istri pertama Jayden itu, tak ingin ketiga putranya juga merasakan apa yang dulu ia rasakan. Tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu bukanlah suatu hal yang mudah. Ia bukannya meremehkan Jayden, Risa tahu jika kasih sayang Jayden pasti tak akan kalah besar, namun adalakalanya bagian dari ibu yang tak bisa seorang ayah penuhi. Terlebih lagi, Risa juga paham bagaimana Jayden jika sudah sibuk dengan pekerjaannya.

Memang, jika dipikir secara nalar dan perasaan, tak ada istri yang rela suaminya untuk mendua, tak ada istri yang mau suaminya berbagi cinta dengan wanita lain, namun, demi anak-anaknya, Risa membuang jauh rasa egois itu, Perasaannya tak penting, karena ia tahu, kalau waktunya sendiri tak akan lama. Ia tak akan bisa menemani dan melihat ketiga putranya tumbuh dewasa, maka dari itu ia ingin ada wanita lain yang bisa menggantikan dirinya.

Akan tetapi, kini Jayden telah gagal untuk memenuhi keinginan istrinya tersebut, alih-alih memberikan seorang ibu yang baik hati dan penyayang, Jayden justru menikahi seorang wanita kejam tak berperasaan, mengorbankan ketiga putra kesayangannya untuk menerima rasa sakit yang seharusnya tak mereka dapatkan.

Dan bodohnya, hanya karena perhatian serta perubahan kecil wanita itu, Jayden hampir terlena, jatuh kembali ke dalam lubang yang sama, melupakan tujuan awalnya serta segala kesalahan fatal yang mustahil untuk bisa ia maafkan setelah apa yang sudah wanita itu perbuat pada anak-anaknya.

Mengepalkan tangan hingga buku-buku jarinya memutih, rahang Jayden kembali mengeras. Memejamkan matanya, ia berusaha untuk tak berteriak dan memaki di area pemakaman yang sunyi ini.

Membuang napas panjang untuk menetralkan emosi, Jayden kembali menatap batu nisan di depannya itu dengan sendu. Dengan bibir bergetar, pria itu bergumam, "Sekarang ... apa yang harus saya lakukan, Risa?"

***

"Daddy masih belum pulang ya, Mom?"

Dera terkejut ketika mendengar pertanyaan yang terlontar tanpa aba-aba itu, spontan menoleh, ia mendapati Jean yang mendekat padanya.

Mengembangkan senyum kecil, Dera menggeleng. "Mungkin pekerjaan Daddy masih banyak, makanya hari ini lembur lagi. Kamu kok belum tidur, kenapa?" tanya Dera balik.

"Lembur lagi? Memangnya sampai setiap hari begini ya?" tanya Jean, merasa tidak biasa, karena sesibuk dan sebanyak apapun pekerjaan ayahnya, tak sampai pria itu pulang lebih dari jam sembilan malam, bahkan hingga setiap hari seperti ini.

Senyum kecil di wajah Dera perlahan meluntur ketika mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Jean. Sebenarnya, wanita itu juga bingung, akhir-akhir ini Jayden tak seperti biasanya. Sudah hampir dua minggu ini Jayden selalu pulang lebih dari jam sembilan malam, terkadang juga berangkat pagi-pagi sekali sebelum sarapan dimulai.

Selain itu, sikap Jayden juga sedikit berubah, pria itu menjadi lebih dingin, tak lagi berpesan hal yang sama pada Dera- yaitu untuk segera menghubungi ia jika terjadi sesuatu, Jayden juga tidak lagi memberikan perhatian-perhatian kecil yang sebelumnya sering ia lakukan. Entah kenapa, Dera merasa jika Jayden memang sengaja menjaga jarak dengan dirinya.

Namun Dera tak ingin berprasangka buruk, pasti ada alasan kenapa Jayden seperti ini, entah itu karena lelah atau karena tekanan pekerjaan yang banyak.

"Sayang, Daddy sebentar lagi pasti pulang kok. Kamu tidur dulu aja nggak apa-apa, sudah malam, besok masih harus sekolah 'kan?" balas Dera, dengan senyum yang kembali terulas, ia mengalihkan topik pembicaraan.

Jean menghela napasnya pelan. "Mommy juga tidur, kalau Daddy belum pulang-pulang, jangan ditungguin, nanti Mommy capek," ujar pemuda itu, dibalas anggukan oleh Dera.

Mendekat, Dera mengulurkan tangannya untuk mengusap surai hitam itu, lalu mengecup singkat kening sang putra. "Lekas tidur, ya?"

Jean tersenyum dan mengangguk, lalu berlalu pergi untuk kembali ke kamarnya, meninggalkan Dera yang masih berada di tempat, memperhatikan punggung pemuda yang kian menjauh hingga hilang di balik tembok.

Saat yang sama, suara derum mobil samar-samar terdengar membuat perhatian Dera beralih. Itu pasti Jayden, pikirnya.

Menunggu hingga pintu dibuka, ternyata memang benar jika itu adalah suara mobil Jayden. Segera menghampiri, Dera mengulas senyum hangatnya, menyambut kepulangan sang suami. "Biar aku bantu," ujar wanita itu, mengambil alih jas serta tas koper milik Jayden.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Jayden hanya menurut saat Dera membantu melepas jas dan membawakan koper miliknya. Sembari melonggarkan dasi, Jayden berjalan menuju kamarnya, diikuti Dera yang mengekor di belakang.

"Hari ini kamu lembur lagi ya? Sudah makan malam 'kan?" tanya Dera begitu mereka berada di dalam kamar dengan Jayden yang tengah memunggungi, melepas kemeja serta jam tangannya.

Jayden mengangguk dan berdehem pelan. "Hm."

"Perlu aku siapkan air hangat untuk mandi?" tanya Dera lagi.

Jayden menggeleng. "Tidak," jawab pria itu singkat, sembari melenggang masuk ke dalam kamar mandi.

Setelah menghabiskan beberapa menit untuk membersihkan diri, Jayden keluar dari kamar mandi dengan piyama lengan pendeknya serta rambut yang sedikit basah. Mengacak surainya, Jayden tersentak pelan ketika melihat Dera tengah membenarkan letak seprei serta selimut mereka- bukan, bukan karena apa yang tengah wanita itu lakukan, melainkan apa yang tak sengaja pria itu lihat.

Sial, Jayden melihatnya lagi.

"Dera," panggil Jayden dengan intonasi suara yang membuat Dera terkejut, tak membentak hanya saja Dera kaget karena Jayden memanggil namanya cukup keras, padahal jarak mereka tidaklah jauh.

"Iya, Jay?" sahut Dera dengan ekspresi bertanya, wanita itu menegakkan kembali punggungnya.

"Kamu tidak ada piyama lain, ya? Kenapa harus selalu seperti itu yang kamu pakai?" tanya Jayden, membuat Dera mengerjap, spontan menunduk memperhatikan piyama satin yang ia pakai.

Tersenyum canggung, Dera membalas, "Seperti itu bagaimana, Jay? Bukankah biasanya yang kupakai juga begini?"

Aneh. Padahal sebelumnya Jayden tak pernah mempermasalahkan hal ini, lagipula Dera tak hanya sekali dua kali, setiap hari yang ia pakai juga seperti ini, lalu kenapa baru sekarang Jayden menyinggungnya?

"Saya transfer uang, beli piyama lain yang lebih panjang, dan jangan pakai yang seperti ini lagi," ujar Jayden otoriter, membuat Dera mengernyit.

"Jay—" Ketika ingin melontarkan pertanyaan kembali, kalimat Dera terpotong lebih dulu oleh suara Jayden.

"Katakan besok, saya lelah, ingin tidur," sela Jayden, membaringkan diri di atas ranjang, memunggungi sang istri.

Dera menghela napas pelan. Karena tak ingin berdebat, ia memilih untuk segera mematikan lampu kamar dan tidur.

***

kalau ada yang aneh bilang ya, jujur aja
gapapa, aku nerima krisar kok. btw,
terimakasih sudah membaca <3

AffectionWhere stories live. Discover now