"Oh." Jawab Harvy menganggukkan kepala. Ini yang membuat Andre geregetan dengan sikap Harvy, ia sudah panjang lebar menjelaskan, responnya hanya satu kata singkat dan anggukan kepala itu, atau jika tak setuju, ia hanya menggelengkan kepala. Andre berfikir, mungkin Harvy hanya tipe orang yang pemalu. Tetapi saat melihat wajahnya, tak ada satupun ekspresi malu disana. Ia hanya orang dingin yang irit bicara.

Satu persatu pengunjung berdatangan, ini saatnya Harvy memulai pekerjaan pertamanya. Sesuai arahan Andre tadi, Harvy mendekati salah satu meja yang ditempati oleh pengunjung itu. Ada tiga orang wanita yang masih terlihat muda, dari cara perpakaian mereka dan apa yang mereka bawah, sepertinya mereka adalah mahasiswa. Tak heran karena kafe ini terletak di dekat sebuah universitas besar. Ada banyak kampus di sekitar kafe ini.

"Pesan apa?" Tanyanya terdengar cuek, sangat tidak menunjukkan sisi keramahan seorang waiters.

Mungkin pengunjung itu akan marah, tetapi amarah mereka langsung diredam ketika melihat wajah yang melayaninya. Mata mereka tiba-tiba benar, gestur mereka, entahlah, seperti cacing kepanasan yang sedang memikat mangsa.

"Mmm aku mau pesan ice boba hazelnut brown sugar, kamu apa Tin?" Jawab wanita muda itu kemudian menanyai temannya.

"Aku sama." Jawab wanita lainnya yang memiliki tubuh paling imut.

"Aku Latte aja deh." Jawab wanita wanita satunya lagi.

"Jadi ice boba hazelnut brown sugarnya dua, satunya latte, trus sama honey toast." Ucap kembali wanita itu menyebutkan pesanan mereka.

"Hah?" Harvy nampak kebingungan dengan apa yang disebutkan oleh wanita itu, ia belum hafal semua menu di kafe ini. Untungnya, sekali lagi, pengunjung itu tak marah kepadanya bahkan dengan sabar mengulang pesanannya sambil menyebutnya dengan penggalan suku kata.

"Aku ulang yah mas, i-ce bo-ba ha-zel-nut brown su-gar, itu dua yah, terus La-tte, satu, sama Ho-ney toastnya satu. Oke mas?"

Harvy tak merespon lagi wanita yang kelihatannya terlalu centil itu. Begitu ia telah mendapatkan pesanan mereka, Harvy meninggalkan meja itu tanpa berucap kata lagi, diwajahnya tak ada ekspresi keramahan sedikit pun. Namun anehnya, wanita itu tetap baik-baik saja dengan sikap Harvy.

"Wah, Tin, Nad, dia tipe gue banget." Ucap wanita itu terlihat heboh saat Harvy meninggalkan mejanya. Ketiga telah terbuai dengan pesona Harvy. Tak hanya rupawan, dia terlihat cool dengan sikap dinginnya. Belum lagi, aura gangsternya yang masih kuat, membuat wanita itu sepakat jika Harvy terlihat seperti bad boy yang mereka gilai.

Andre senang melihat respon ketiga wanita itu. Setidaknya, Harvy masih berguna dibalik tingkahnya yang kaku. Ia bisa menjadi magnet yang akan menarik lebih banyak pengunjung lagi dan mungkin ini alasan mengapa Devan membawanya kemari. Karena faktanya, sudah beberapa bulan belakangan ini, omset mereka terus menurun.

Tapi sekedar menjadi magnet saja tidak cukup, melihat cara kerja Harvy. Andre harus geleng-geleng kepala dibuatnya melihat bagaimana Harvy melayani pengunjung.

"Eh, mas-mas, pake ini." Andre mengejar Harvy, memberinya nampan saat Harvy membawa dua gelas ice americano dengan tangan kosong.

Andre rasanya tak tahu harus berbuat apa lagi, ia menyerah dengan kelakuan Harvy yang makin membuatnya muak. Ia kesal, ia ingin marah, tapi bagaimana ia melampiaskan kemarahannya kepada orang yang bahkan statusnya lebih penting daripada dirinya di mata pemilik kafe ini.

"Mas, mas, jangan dibuang itunya." Cegah Andre saat Harvy selesai membersihkan meja pelanggan. Talenan bekas honey toast tadi, dibuang juga olehnya. "Itu bukan barang sekali pake mas." Keluhnya terdengar mau menangis.

"Oh." Tanggap Harvy mengambil kembali talenan dari dalam tong sampah.

"Udah, biarin. Gak usah diambil lagi." Ucapnya dengan wajah mengkerut. Ia sudah benar-benar menyerah dengan sikap Harvy. Belum lagi saat mendengar dan melihat respon pria itu, dengan perasaan tanpa bersalahnya, ia membuang kembali talenan itu ke dalam tempat sampah dengan ucapannya yang masih sama, sepenggal kata yang sangat menyebalkan, "oh."

Andre butuh istirahat, ia ingin mengadu kepada orang yang telah membawa Harvy ke tempat ini. Ia kemudian keluar, sekedar mengisi energi positif ke dalam tubuhnya. Ia menatap jam yang melingkar di tangannya, baru jam dua belas siang. Terhitung, baru 2 jam ia menghadapi Harvy, dan waktu sesingkat itu, ia telah menyerah apalagi saat setelah menghitung waktu yang tersisa hingga mereka selesai bekerja. Masih sangat lama dan itu membuatnya makin frustasi. Untungnya Devan datang menyelamatkannya. Tak sia-sia, ia berkeluh banyak kepada bos-nya itu.

"Kenapa mas?" Tanya Devan begitu tiba di kafe tersebut. Andre masih diluar, ia hanya menggelengkan kepala menjawab Devan. Seharusnya Devan mengerti isyarat yang ia berikan.

Keduanya kemudian masuk, Harvy terlihat berdiri tanpa ekspresi di dekat meja kasir, padahal di dekatnya ada kursi. Tak ada larangan, jika semisal ia duduk di kursi itu. Kursi itu memang di peruntukkan untuk karyawan.

"Astaga, kamu manusia ato robot sih?" Seru Devan mendekati Harvy. Sedikit pun ekspresi Harvy tak berubah. Mungkin ia juga lelah atau mungkin sedang marah karena Devan menjebaknya di tempat ini.

Devan duduk di kursi yang berada di samping Harvy sambil menatap wajah lelaki tanpa ekspresi itu. Mungkin memang ia sedang marah dengan Devan, dan apa yang terjadi tadi adalah lampiasan kemarahannya kepada Devan.

"Cih..." Cibir Devan tersenyum saat beberapa kali mendapati Harvy meliriknya tajam dengan ujung matanya. Bisa disimpulkan bahwa ia memang sedang marah dengan Devan.

Devan kemudian berdiri, menghadap ke arah Harvy. Tangannya bergerak ke depan menyentuh bibir Harvy. Ia kemudian menarik garis senyuman di bibir Harvy menggunakan jari telunjuk dan jari tengahnya.

"Senyum!" Pintahnya namun garis senyuman itu kembali berubah menjadi ekspresi datar di wajah Harvy.

"Ck..." Keluh Devan kemudian kembali menarik garis senyuman di ujung bibir Harvy. Ia menggunakan kedua telunjuknya untuk menarik garis senyuman itu.

Agar tak terkesan terpaksa, ia juga menyipitkan mata Harvy, sehingga ekspresi yang tergambar di wajah Harvy sekarang memang seperti orang yang tersenyum.

Harvy cukup patuh kali ini, ia mempertahankan garis senyuman itu di wajahnya.

"Nah gitu." Ucap Devan. Ia kemudian menyadari bahwa ia berdiri terlalu dekat dengan Harvy dan saat ia menoleh ke sekelilingnya, sepertinya ia telah membuat mereka salah paham. Segera ia mundur ke belakang, menjauhkan dirinya dari Harvy.

"Kamu harus belajar sering-sering tersenyum mulai sekarang." Pintahnya terlihat salah tingkah. Orang di sekitarnya masih memperhatikan mereka, dan itu membuat Devan menjadi tidak nyaman.

"Mas Andre, Harvy kerjanya sampai disini aja dulu. Besok baru dia kerja full." Ucapnya kemudian kepada pria berkacamata yang sedang berdiri di belakang meja kasir. Pria itu nampak masih tersenyum setelah melihat apa yang terjadi antara Devan dan Harvy tadi. Andre sangat bersyukur bahwa ia tidak melampiaskan kekesalannya tadi kepada Harvy. Hampir saja ia membunuh kariernya sendiri.

Fall In Love by AccidentWhere stories live. Discover now