"Pagi Dev." Sapa pemilik barbershop itu yang tampilannya sedikit nyentrik. Devan telah berlangganan lama dengan barbershop ini, tak heran jika pemiliknya kenal dengan Devan.

"Mau cukur lagi?" Tanyanya tak memandang ke arah Devan, pandangannya tertuju kepada pria yang datang bersama Devan.

"Bukan, bukan aku. Tapi dia." Jawab Devan menunjuk Harvy. Devan baru saja cukuran dua hari yang lalu, di tempat ini juga.

"Uh, who is he?" Pemilik barbershop itu menurunkan kacamata bulat yang ia gunakan, kemudian berjalan mendekati Harvy. Tangannya menyentuh pundak Harvy, kemudian ia mengitari tubuh Harvy sambil menatapnya dari ujung kaki ke ujung kepala.

Harvy sangat menarik untuknya, namun bukan berarti juga ia tertarik secara seksual. Dibalik gaya nyentriknya, Harlan, nama pemilik barbershop itu adalah seorang pria straight, ia sudah menikah dan memiliki dua orang anak. Yang membuatnya tertarik adalah bagaimana Devan punya teman seperti pria di depan matanya itu. Harlan sudah berteman lama dengan Devan, dari mereka duduk di bangku SMA. Harlan tahu betul seperti apa Devan bahkan orang-orang di sekitar Devan. Dan dalam ingatan dia, ia belum pernah melihat Devan punya teman seperti Harvy ini.

"Eih, sudah." Devan menarik lengan Harlan, menjauhkan pria itu dari Harvy yang nampak tak nyaman dengan apa yang Harlan lakukan tadi.

"Kami dapat dari mana dia?" Bisik Harlan di telinga Devan.

"Aku pungut di tengan jalan." Jawabnya yang membuat Harlan harus memutar bola matanya, ia tak percaya dengan jawaban Devan. Tapi memang faktanya, ia menemukan Harvy pertama kali di tengah jalan, di tengah lebatnya hujan.

"Udah cepetan cukur dia. Katanya dia ingin punya nilai di mata aku." Pintahnya yang membuat Harlan harus memutar bola matanya kembali, kali ini, ia penasaran hubungan seperti apa yang sebenarnya mereka jalani? Ucapan Devan barusan terlalu ambigu.

Harvy duduk di kursi pangkas, Harlan harus terlebih dahulu mencocokkan potongan apa yang cocok bagi Harvy sehingga ia punya nilai di mata Devan. Dari bentuk wajah Harvy, garis rahang yang tegas, warna kulitnya yang tanned, seharusnya cocok untuk potongan pendek seperti buzz cut atau french crop. Tapi dilihat dari wajahnya yang sedikit oriental, potongan ala-ala oppa korea menurutnya cocok untuk Harvy, ia juga tak perlu memotong panjang rambut Harvy yang ia tahu, Harvy juga tak akan tega, jika ia potong sependek buzz cut.

Harlan menyisir rambut Harvy dengan gayanya yang sekarang. Rambut depannya sudah terlampau panjang hingga menutupi matanya. Ia hanya perlu momotong sedikit pendek di sisi samping dan belakangnya, sedan bagian atasnya ia hanya perlu memotong beberapa centi saja, hingga rambut depannya tak lagi menutupi matanya.

"Woehh, apa-apaan itu?" Protes Devan melihat bentuk potongan rambut Harvy yang baru.

"Kenapa? Bagus tau. Kek oppa-oppa korea gitu." Bela Harlan tetapi tetap tak mendapatkan persetujuan dari Devan.

"Oppa-oppa korea apaan? Jelek, jelek. Aku gak suka."

Akhirnya, Harlan tak punya pilihan lain, ia harus membabat habis rambut panjang Harvy, ia memilih potongan french crop.

"Sabar yah." Ucapnya menepuk pundak Harvy sebelum ia menyentuhkan mesin pemangkas rambut itu ke kulit kepala Harvy.

Harvy rasanya tak tega, rambutnya harus dipotong setipis itu. Namun setelah melihat hasil akhirnya, sepertinya tak buruk juga, ia suka dengan gaya rambut barunya, sama seperti sukanya Devan yang terlihat tersenyum di belakang.

"Gimana Van?" Tanya Harlan meminta pendapat Devan.

"Mmm, tidak buruk juga." Jawabnya sok jaim.

Harvy sekarang sudah terlihat berbeda dengan gaya rambut barunya, apakah misinya telah berhasil? Belum sepenuhnya. Devan menyadari jika Harvy tidak nyaman dengan pakaian yang ia gunakan. Bukan masalah selera, tetapi sizenya nampak kekecilan.

Tak jauh dari barbershop Harlan, terbuat sebuah toko pakaian pria yang pemiliknya kenalan Devan juga. Namanya Aisha, dia tiada lain adalah istri Harlan, si pemilik barbershop tadi.

Devan membawa Harvy ke toko itu, begitu ia masuk, Aisha menyambutnya dengan ramah.

"Pagi kak Devan." Sapa wanita itu memanggilnya kakak. Meski telah beranak dua, tetapi memang, wanita itu lebih muda darinya.

"Pagi Sha." Balasnya. Ia kemudian berjalan di sepanjang rak pakaian di toko itu. Ia membiarkan Harvy memilih sendiri pakaian yang menurutnya cocok untuknya, celana Ripped jeans dan long sleve berwarna hitam menjadi pilihannya.

"No for this, no for this." Devan tak setuju dari kedua pakaian yang diambil Harvy. "Kamu akan terlihat seperti penjahat." Lanjutnya memberikan alasan.

Ia kemudian meminta bantuan Aisha agar memilihkan Harvy pakaian yang cocok untuknya.

Pilihan pertama, wanita itu memilih celana trouser dipadukan dengan sweater berwarna putih yang langsung di tolak oleh Devan. Ternyata suami-istri ini, seleranya sama saja, sama-sama deman korea-korean. "Yang normal-normal ajalah Sha." Pintah Devan. Akhirnya wanita itu memilihkan pakaian yang menurutnya sangat cocok untuk Harvy. Untuk bajunya, ia tetap memilih jenis baju sama yang digunakan Harvy saat itu, kemeja band collar berleher shanghai. Untuk celananya, beige chinos ini sepertinya cocok untuk Harvy. Selanjutnya ia hanya perlu mengganti sepatu Harvy dengan sepatu kats berwarna putih. Seharusnya Devan tak komplen lagi dengan pakaian yang ia pilihkan untuk Harvy.

"Itu lebih baik." Devan setuju dengan apa yang dipilihkan Aisha untuk Harvy sekarang. Harvy terlihat jauh berbeda dan identitas gangsternya bisa tersamarkan.

Keduanya kemudian melanjutkan perjalanan, pemberhentian mereka selanjutnya adalah sebuah kafe yang tak jauh dari rumah sakit tempat Devan bekerja. Entah apa yang akan mereka lakukan di kafe ini. Mungkin Devan hanya sebatas menikmati segelas kopi di pagi hari atau sesuatu yang lain.

Sebelum turun dari mobil, masih ada hal yang diinginkan Devan dari lelaki di sampingnya itu.

"Coba menghadap kemari." Pintahnya yang langsung dituruti Harvy.  Entah mengapa, jantungnya serasa berdebar-debar, apalagi saat Devan memajukan badannya ke depan.

"Aku gak suka kamu pake ini." Ternyata hal yang dilakukan Devan adalah melepas anting di telinga Harvy. "Aku tak ingin melihat kamu memakai benda seperti ini lagi kedepannya." Pintahnya. Saat turun dari mobil, Devan langsung melempar anting yang ia lepas dari telinga Harvy ke danau yang tepat berada di hadapan kafe.

Harvy tak protes sama sekali, meski tetap menyayangkan juga. Tak apalah, toh ini untuk kebaikannya juga, begitu dalam pikiran Harvy.

Mereka kemudian masuk ke kafe itu, masih terlihat sepi, mungkin mereka adalah pelanggan pertama mereka hari ini.

"Pagi dok." Sapa karyawan kafe itu saat mereka memasuki bangunan semi outdoor itu.

Sepertinya Devan bukan sekedar pelanggan saja, bagaimana mereka tahu identitas Devan sebagai dokter.

"Aku pemilik kafe ini. Kalo kamu mau berubah dan ingin punya nilai di mata aku, kamu bisa memulainya disini, kamu bisa bekerja di tempat ini." Ucap Devan dan inilah rencana kedua Devan merubah Harvy dari seorang gangster menjadi manusia yang lebih beradab.

Fall In Love by AccidentWhere stories live. Discover now