"Kamu bisa tinggal disini mulai sekarang." Ucap Devan saat membawa tamunya masuk ke unit apartemennya.

"Oh." Balas Harvy, Matanya mengitari unit apartemen yang ukurannya terbilang luas jika hanya ditinggali seorang saja. Perabotan didalamnya terlihat mahal dan mewah. Tak mengherankan, pemiliknya adalah seorang dokter yang tentu saja gajinya tidak sedikit.

"Oh doang?" Protes Devan yang seakan tak terima kebaikan hatinya hanya dibalas dengan satu patah kata itu.

"Aku tak tahu bagaimana kamu menjalani kehidupan gangstermu, tetapi ada hal yang harus kamu ingat. Mengucapkan terima kasih adalah hal yang wajib ucapkan untuk membalas orang yang telah berbuat baik kepadamu." Lanjutnya menggurui Harvy yang terlihat hanya memandanginya. ia seakan tak tahu etika dasar bagaimana bersosialisasi yang baik.

"Oh." Balas Harvy kembali dengan satu patah kata singkat itu. Devan menatapnya, seakan memaksanya untuk mengucap apa yang baru saja, Devan ajarkan kepadanya. "Terima kasih." Lanjutnya yang telah menyunggingkan senyuman Devan selayaknya seorang guru yang telah berhasil mengajarkan satu kebaikan kepada muridnya.

"Kamu bisa gunakan kamar ini." Devan menunjukkan kamar yang bisa di tempati Harvy. Kamar itu biasanya di tempati oleh Hannah, atau adik Devan ataupun keluarganya yang lain saat berkunjung ke kediaman Devan. Di unit apartemen ini, meski terbilang luas, tetapi hanya ada dua kamar untuk kamar tidur.

"Eng...." Sepertinya ada yang ingin disampaikan Harvy tapi enggan ia ucapkan.

"Apa? Kenapa?" Tanya Devan mendesak Harvy untuk bicara.

"Kamu tinggal sendiri?" Tanyanya ragu, sedari tadi ia mencari jejak orang lain di apartemen ini.

"Enggak." Jawab Devan.

Harvy langsung celingak-celinguk, mencari keberadaan penghuni lainnya. Orang tuanya kah? Saudaranya? Laki-laki, perempuan? Pacarnya? Ataukah istrinya? Devan sudah punya anak?

"Nyari siapa?" Tanya Devan melihat pandangan Harvy yang kesana-kemari. "Orang itu, kamu." Jelasnya sambil tersenyum, cukup lucu melihat tingkah Harvy barusan.

"Oh." Balasnya kembali. Nampaknya Harvy terlalu terbiasa dengan ekspresi itu atau mungkin, ia memang bukan orang yang banyak bicara.

"Kamu masuk istirahat aja, aku ambilin baju ganti." Devan membukakan pintu kamar itu untuk Harvy dan begitu Harvy telah masuk, ia kemudian menuju kamarnya yang tepat bersebelahan dengan kamar baru Harvy.

Kamar yang ditempati Harvy sangat luas,  desainnya terlihat minimalis dengan banyak aksen kayu di dalamnya. Sangat nyaman untuknya beristirahat. Tapi ia tak suka bau ruangan itu, masih tersisa bau-bau perempuan yang mungkin karena kamar ini sering ditempati oleh Hannah ataupun adik Devan yang juga perempuan.

Devan kembali ke kamar itu dengan membawa setelan piyama yang akan ia pinjamkan ke Harvy. Ia masuk tanpa mengetuk pintu, membuat Harvy yang baru saja menanggalkan baju harus terlonjat kaget. Ia segera menutupi dadanya agar tak terlihat oleh Devan. Ia malu dengan ukiran tattoo yang ada di tubuhnya.

"Nih, pake." Devan memberinya setelan piyama berbahan satin. Entah apakah ia sengaja mengerjai Harvy.

"Ahh?" Harvy nampak ragu menerima pakaian itu. Sebuah piyama berwarna merah mencolok, terlihat mengkilap karena bahannya berbahan satin. Seorang gangster tak memakai pakaian seperti itu.

Devan menyodorkannya sekali lagi, membuatnya tak punya pilihan lain selain mengambilnya meski tetap ragu apakah ia akan memakai pakaian seperti itu. Tapi pakaian itu setidaknya lebih baik daripada pakaiannya yang sudah berbau tak sedap karena sinar matahari dan keringatnya tadi.

"Bagaimana kondisi luka kamu?" Tanya Devan sekedar penasaran dengan bekas luka tikaman Harvy.

Harvy menurunkan baju yang ia gunakan menutupi badannya tadi, memperlihatkan luka jahitan di perut bagian kanannya.

Fall In Love by AccidentWhere stories live. Discover now