"Dia kabur." Seru Devan kepada perawat yang masih terlihat bingung mencari keberadaan pasien. Devan berlari menuruni anak tangga, disusul oleh perawat itu yang turut serta mengejar.

Cukup melelahkan menuruni anak tangga meski hanya tiga lantai saja. Keduanya nampak ngos-ngosan, atau lebih tepatnya, perawat itu sendiri yang ngos-ngosan, ia berhenti mengatur nafas saat sampai di lantai bawah gedung bertingkat itu. Devan masih terlihat punya banyak tenaga, ia terus berlari mengejar pasien.

Saat berada di halaman rumah sakit, matanya tak menangkap lagi sosok pasien itu. Devan menengok kesana-kemari lalu memutuskan mengambil jalan yang seharusnya diambil oleh pasien tadi.

Ia harus berlari hampir lima ratus meter hingga ia bisa menangkap sosok pasien itu dari kejauhan. Segera ia mempercepat langkahnya mengejar pasien itu.

"HEI, TUNGGU!" Teriak Devan kepada pria yang jaraknya sudah dekat di depannya. Alih-alih berhenti, pria itu makin mempercepat langkahnya saat melihat ada orang yang mengejarnya. Namun karena luka di perutnya yang masih terasa sakit, membuat langkahnya bisa dengan mudah tersusul oleh Devan.

"Berhenti!" Pintah Devan saat telah berhasil menyusul pria itu.

Pria itu akhirnya berhenti, ia menengok ke belakang, melihat Devan yang asing baginya. Ia tak yakin, mengenal Devan dan apa tujuan ia mengejarnya. Namun sepertinya ia punya firasat buruk. Harvy kemudian melanjutkan langkahnya kembali.

"BERHENTI!!!" Pintah Devan kembali dengan suara makin tegas dan keras.

"Kamu siapa?" Tanya Harvy berbalik ke belakang. Ia menatap Devan dari ujung kaki ke ujung kepala. Ia sama sekali tak mengenali Devan dan Devan yang berdiri di depannya, tak satupun yang melekat pada dirinya yang menegaskan bahwa dia adalah seorang dokter. Jika Harvy mengiranya seorang musuh, seorang gangster seperti dirinya, mana ada gangster serapih pria di depannya itu.

"Aku dokter." Jawab Devan dengan nafas yang tak beraturan. "Kenapa kamu kabur?" Tanyanya.

Mengetahui bahwa pria di depannya adalah dokter, Harvy berbalik badan dan tak peduli lagi dengan Devan. Ia tahu apa yang diinginkan Devan dan Harvy tak ingin kembali ke rumah sakit. Ada banyak alasan yang membuatnya tak ingin berada di rumah sakit.

"Woiii, berhenti, jangan lari. Kamu belum sembuh." Teriak Devan yang sama sekali tak dipedulikan oleh Harvy.

Devan mengejar harvy kembali, tak sulit baginya untuk menyusul pria yang dalam keadaan tak prima itu. Ia menangkap tangan Harvy, mencegah langkah pria itu. "Berhenti gak!" Pintahnya.

"Jangan pedulikan aku!" Harvy menyentak tangannya, melepaskan genggaman Devan di pergelangan tangannya. Ia terus berjalan dengan kecepatan lebih cepat dari kecepatan orang berjalan dengan normal.

"HARVY, BERHENTI!" Bentak Devan dengan suara keras dan tegas, membuat Harvy harus menghentikan langkahnya. Ia sama sekali tak takut dengan bentakan itu, ia hanya penasaran bagaimana Devan tahu dengan namanya.

"Bagaimana kamu tahu nama aku?"  Tanyanya, ia seakan tak suka, ada orang yang mengetahui identitasnya.

"Aku yang menolong kamu." Jawab Devan.

""Kamu yang menolong aku?" Yakin  Harvy yang dijawab angggukan oleh Devan.

"Bisa dibilang begitu. Kamu ja...." Jawab Devan, namun sebelum ia menyelesaikan ucapannya, hal yang tak terduga dilakukan oleh Harvy.

"Bangsat!" Serunya melayangkan pukulan keras di pipi Devan. Saking kerasnya, hingga membuat ujung bibit Devan pecah.

"Woe, apa yang salah denganmu?" Protes Devan mengusap ujung bibirnya dengan jari jempolnya. Ada bercak darah di  jempol itu.

Devan sangat geram, bisa saja ia membalas pukulan itu, tetapi ia urungkan. Tak ada gunanya membalas kekerasan dengan kekerasan.

Harvy tak berhenti dengan sekali pukulan itu, ia menarik kerah kemeja Devan hingga lehernya tercekek. "Woeh, lepasin." Devan merontah, berusaha melepaskan cengkraman yang sangat kuat itu. Ia bahkan hampir kehabisan nafas. "Bukan aku yang membuatmu babak belur." Jelasnya. Mungkin saja, Harvy berfikir bahwa dia yang menghajarnya hingga babak belur seperti itu.

"Aku tahu." Jawab lelaki itu yang tak sedikitpun mengendorkan cengkramannya di leher kemeja Devan.

"Kenapa kamu menolongku? kenapa tak membiarkan aku mati saja?" Terdengar suara menggerutu dari mulut Harvy. Ia geram karena harus mendapatkan pertolongan dari Devan.

"Hah?" Devan tak kalah geramnya dari Harvy. Ia bahkan kehilangan kata-kata mendengar ucapan bodoh orang yang baru saja ia tolong semalam. Membiarkan dia mati? Apakah ia berfikir, nyawa manusia semudah itu untuk dilenyapkan? Devan tak bisa lagi mengontrol emosinya, tangannya yang kokoh, cukup kuat mengenyahkan cengkraman Harvy di leher kemejanya.

"Kamu pikir, nyawa manusia segampang itu untuk di lenyapkan?" Devan melayangkan pukulan telak di pipi Harvy hingga ia jatuh tersungkur. Itu bukan balasan dari pukulan tadi. Pukulan itu ia tujukan untuk orang pecundang yang tak menghargai hidup seperti Harvy.

"Kamu tahu, aku telah mengorbankan banyak hal demi menolong kamu dan kamu bilang, kamu ingin mati?" Lanjut Devan geram. Ia membangunkan Harvy yang jatuh tersungkur, menarik kerah kemejanya keatas dan menatapnya dengan tatapan yang sangat geram. Ingin rasanya, ia melayangkan tinjunya kembali, tetapi kemudian urung. Prinsipnya tetap sama, kekerasan tak menyelesaikan masalah.

"Kenapa kamu berhenti? Ayo pukul aku. Pukul aku sampai mati." Hasut Harvy yang benar telah menghasut Devan. Devan melayangkan tinjunya sekali lagi, tetapi sasarannya bukan lagi di pipi Devan, melainkan di titik tikaman di perut Harvy yang membuat pria itu harus meringis kesakitan.

"Kalo kamu menyerah dengan hidup kamu, berikan hidup kamu untukku. Aku beli, seberapa mahal pun kamu menjualnya."

Fall In Love by AccidentWhere stories live. Discover now