7 - Gisa si Serba Bisa

75 14 0
                                    


Sebelum-sebelumnya Gisa sudah sangat sering menghadapi anak kecil dengan banyak kepribadian yang berbeda-beda. Tapi untuk berhadapan dengan bocah kritis seperti Giri dan Tama baru kali ini alami. Tama terutama, sejak ia memperkenalkan diri sebagai kakak satu-satunya dari Giri, bocah itu tak henti-hentinya terus bertanya pada Gisa tentang apapun yang melintas di kepalanya.

"Jadi adek sering cerita tentang aunty ke Kak Tama gitu?" Gisa yang kembali menggendong Giri bak koala bertanya pada Tama. Bocah berusia sembilan tahun yang sedari menatapnya lekat-lekat itu.

"Sering banget, kata adek ... aunty tuh sabar, cantik, wangi, pinter dongeng, pinter nyanyi, pinter bikin pesawat, pinter apa lagi yaa.. Hmm ... pokoknya banyak deh." Tama yang duduk di tepian tempat tidur Giri menjawab dengan antusias. Tangannya yang kecil bahkan sangat berhati-hati ketika bergerak karena khawatir terbelit selang infus sang adik yang hampir tertidur lagi di gendongan Gisa.

"Oya?"

Tama mengangguk mantap sambil membolakan matanya yang sangat mirip dengan Giri itu. "Iya, tiap aku pulang sekolah pasti yang adek ceritain tuh Miss Gisa Miss Gisa terus."

Gisa manggut-manggut saja dengan perasaan sedikit berbunga ketika mengetahui Giri begitu mengidolakan dirinya. Boleh dong sekali-kali membanggakan diri sendiri? batinnya membuat Gisa tergelitik.

"Ternyata yang adek bilang bener ya aunty?"

"Yang bagian mana?" Gisa akhirnya bisa duduk setelah memastikan Giri kembali memejamkan mata setelah lelah menangis saat disuntik dokter tadi.

"Aunty cantik, pantes adek rajin banget kalo berangkat ke sekolah." ucap Tama lantas terkikik sambil menutup mulut.

"Hmm... Mamanya Tama pasti lebih cantik, soalnya Tama sama Giri ganteng banget." entah kenapa mulut Gisa bisa menyuarakan hal tersebut. Otaknya yang biasanya bekerja dengan baik malah sempat lupa kalau ayah dari dua bocah tampan di depannya ini adalah duda. Entah duda karena bercerai atau karena pasangannya meninggal dunia.

"Mamaku cantik dong, makanya aku ganteng gini." Tama tergelak sambil memperagakan pose dengan ibu jari dan telunjuk yang menopang dagunya.

Suara pintu yang dibuka pelan membuat Gisa dan Tama menoleh seketika. Di sana sudah berdiri Emily— ibu dari Ervano Bhalendra, perempuan paruh baya yang tadi salah mengira Gisa adalah calon istri putranya.

"Bu.." Gisa mengangguk pelan memberi hormat. Posisinya yang sulit karena tengah memangku Giri membuatnya tak bisa berdiri dengan benar.

"Sudah tidur lagi?" Emily menggerakkan mulutnya nyaris tanpa suara.

"Sudah bu." bisik Gisa tak kalah lirih.

"Dipindah ke tempat tidur aja nak Gisa."
Emily memutari tempat tidur untuk merapikan letak bantal agar Gisa lebih mudah menurunkan tubuh Giri ke atas ranjang. Dibantu Emily, akhirnya Gisa bisa bernapas lega setelah memastikan balita tiga tahun itu masih pulas di tempat tidurnya.

"Gisa... tadi maafin ibu ya, sudah salah mengira kalau Gisa ini calonnya anak saya. Ternyata gurunya Giri ya?"

"Iya Bu." Gisa meringis kaku meski tadi sempat dibuat shock karena dugaan perempuan yang masih cantik di usia senjanya itu.
"Oiya.. ini tadi tadi saya bawakan baju ganti yang lebih pantas buat Gisa, tadi cuma ganti seadanya sama kaos Ervan kan? Ini punya Sashi, kakaknya Ervan, tapi kayaknya pas kok buat badan kamu." Emily mengulurkan satu paper bag berwarna hitam yang ternyata berisi dress cantik sebatas lutut.

"Sebenarnya gak perlu repot gini Bu, toh sebentar lagi saya pulang. Bisa langsung ganti di rumah."

"Nggak repot kok, coba ganti dulu biar gak risih. Rok kamu tadi juga terciprat muntahnya Giri kan?" Emily menunjuk dengan dagunya.

"Dikit Bu."
"Sudah sana ganti dulu. Ibu malah merasa kalau kamu gak ganti baju, padahal seharian ini kami sudah banyak merepotkan kamu dengan rewelnya Giri."

Gisa akhirnya hanya bisa menurut patuh. Karena sebenarnya ia sendiri merasa risih dengan aroma amis tak sedap yang berasal dari bekas muntahan Giri. Setelah berganti baju dengan dress yang dibawakan Emily, gadis itu berpamitan pada Emily dan Tama untuk segera pulang karena besok pagi harus kembali mengajar.

"Sebentar... Sebentar, Ervan bentar lagi balik kok, dia cuma keruangan suster di sebelah buat ambil hasil lab Giri. Bentar ya Gisa." Emily menahan kedua tangan Gisa yang hendak keluar kamar rawat Giri. Gisa hanya berharap untuk bisa cepat-cepat keluar dari kamar ini sebelum Giri kembali bangun dan merengek padanya. Bukan karena tak rela, justru Gisa akan merasa berat meninggalkan bocah itu jika terlalu lama di sini.

"Van," panggil Emily begitu melihat putranya masuk. "Miss-nya Giri sudah mau pamit."

Setelah meletakkan map berlogo rumah sakit di atas meja, Ervan lantas mendekati Gisa yang sidah bersiap untuk pulang. Tangan Ervan spontan terulur meraih tas plastik berisi baju kotor Gisa yang tenteng perempuan itu.

"Miss ini biar ditinggal aja ya, biar saya laundry. Saya gak enak kalau Miss Gisa yang harus nyuci." Ervan menarik pelan plastik tersebut.

"Nggak usah pak Ervan, bisa bersihkan sendiri."

"Jangan Miss, seharian ini Miss Gisa udah banyak bantu saya tanganin Giri. Jadi tolong kali ini saya yang bantu cuci bajunya Miss Gisa."

Mendapat tatapan tulus dari Ervan dan sang ibu membuat Gisa tak enak sendiri untuk mempertahankan keinginannya. Jadi Gisa hanya bisa pasrah saja ketika Ervan mengambil plastik berisi baju kotornya itu lantas meletakkannya di depan toilet.

"Maaf Miss, hanya bisa antar sampai sini." ucap Ervan ketika ia mengantarkan Gisa sampai area parkir rumah sakit dimana supirnya memarkirkan mobil. "Tapi saya pastikan pak Damar antarkan Miss Gisa dengan selamat sampai di rumah. Besok pagi-pagi sekali pak Damar juga akan antarkan Miss Gisa ke sekolah, karena tadi motornya terpaksa ditinggal di sana." sambung Ervan salah tingkah.

"Nggak apa-apa pak, terima kasih tumpangannya. Semoga Giri lekas sembuh dan bisa beraktivitas seperti semula ya." pamit Gisa hendak menutup pintu mobil.

"Aah... tunggu Miss." tangan besar Ervan mencoba menahan pintu mobil yang hampir menutup.

"Kenapa pak?"

"Mi- misalnya besok Giri rewel dan mencari Miss gisa lagi. Hmm..  anu.. apa boleh saya minta bantuannya lagi?" gumam Ervan pelan karena sungkan dengan permintaan absurd nya pada guru dari sang putra itu. "Tapi itupun kalau Miss Gisa bersedia." sambungnya lagi cepat-cepat sambil mengusap tengkuk.

𝐻𝑚𝑚... 𝑘𝑒𝑛𝑎𝑝𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑑𝑎𝑑𝑎𝑘 𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑔𝑒𝑚𝑒𝑠𝑖𝑛 𝑔𝑖𝑛𝑖 𝑠𝑖ℎ 𝑘𝑎𝑙𝑎𝑢 𝑛𝑔𝑜𝑚𝑜𝑛𝑔𝑛𝑦𝑎 𝑙𝑎𝑛𝑐𝑎𝑟 𝑡𝑎𝑛𝑝𝑎 𝑔𝑎𝑔𝑎𝑝?
Batin Gisa tergelitik mengomentari tingkah laku Ervan yang nampak salah tingkah.

"Tentu saja bisa dong pak.. bisa.. bisa.. bisa. Tenang saja, besok siang sepulang dari sekolah saya pasti langsung kesini tengokin Giri." jawab Gisa spontan seolah lupa bahwa sebelumnya ia gengsi luar biasa dengan pria beranak dua ini.

Jawaban yang tak pernah diduga pula oleh Ervan. Hingga membuat pria itu melongo melihat Gisa yang memejamkan mata karena baru sadar akan keteledorannya dalam berbicara.
.
Tbc.

Baca ini sambil nabung yaa..📚📚📚

Jika Nanti Jatuh Cinta LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang