Daton berjalan ke arah kamar Dea. Langkahnya terhenti ketika mengamati Rasti dari cela pintu kamar Dea. Rasti tengah mengamati Dea. Akh... Tidak.. Tidak...Pandangannya memang ke arah Dea. Tapi Daton yakin, pikiran Rasti sedang berkecamuk. Buktinya, Rasti menjambak rambutnya sendiri. Apa yang dipikirkan Rasti? Apa dia tertekan dengan pernikahan yang Daton tawarkan? Daton menghela napasnya. Pasti wanita itu tertekan. Batinnya.

Umur Rasti masih muda, mana mungkin dengan sukarela Rasti mengorbankan masa mudanya untuk segera menikah. Terlebih menikahi duda beranak satu. Daton cukup maklum dengan kondisi Rasti. Tapi mau bagaimana lagi? Dea menginginkan Rasti yang menjadi ibu tirinya. Katakanlah Daton egois. Tapi ini demi kebahagiaan putri kesayangannya. Bukankah semua orang itu bersikap egois? Batin Daton.

Daton menggeser pintu agar terbuka sepenuhnya. Dia masuk dan mengamati Rasti yang tengah mengamatinya. Daton mengerutkan keningnya. Apa yang salah dengannya? Kenapa Rasti mengamatinya dengan tatapan aneh? Rasti memalingkan wajahnya ke arah Dea, membuat Daton menghela napasnya. Pasti Rasti jengkel dengan Daton.

"Ini udah jam 6 lebih 10 menit. Kamu nggak pulang?"

Rasti menoleh cepat ke arah Daton. "Jadi ceritanya ngusir?" sinis Rasti.

Daton tergagap "Eh, itu...itu... Bukan gitu.Aku cuma tanya, kenapa nggak pulang? Emang nggak siap-siap kerja?"

Rasti mengecup kening Dea lalu berjalan mendekati Daton. "Ya udah,gue pulang!" sungut Rasti berlalu dari hadapan Daton.

Daton menggelengkan kepalanya, menyusul Rasti yang berjalan dengan hentakan kaki yang cukup terdengar karena rumahnya memang sepi. Terlebih Dea sedang dalam kondisi kurang sehat, jadi tidak ada suara ribut khas Dea yang biasanya Daton dengar.Daton mensejajari langkah Rasti.

"Ngapain ikutin gue!" ketus Rasti.

Daton terkekeh "Pastinya mau mengantarkan kamu pulang."

"Nggak usah,gue bisa sendiri!" Rasti mempercepat langkahnya meninggalkan Daton.Tapi percuma, Daton bisa mengejarnya.

"Malam ini, keluargaku akan datang." langkah Rasti terhenti. Menoleh cepat ke arah Daton. "Malem ini, gue ada acara," Rasti melanjutkan langkahnya, mencoba mengartikan degup apa yang tengah menggila di dalam sana. Jantungnya.

"Baiklah, bagaimana dengan minggu?" Rasti memutar tubuhnya dan berhenti. Keputusan yang salah, karena saat yang bersamaan Daton tengah mengotak-atik hape pintarnya tanpa melihat ke depan yang otomatis menabrak Rasti. Rasti terhuyung ke belakang, matanya terpejam erat,membayangkan bagaimana kerasnya lantai rumah Daton. Rasti mengerutkan keningnya, matanya masih terpejam. Apa lantai rumah duda satu itu seperti ini? Rasti tidak merasakan sakit di punggung mau pun bokongnya. Justru lengan dan perutnya yang merasakan sesuatu yang keras. Sesuatu yang kokoh dan liat kotak-kotak.

"Masih mau berapa lama kamu merem kayak gitu? Nyaman, heum." spontan Rasti membuka matanya. Menatap horor posisi mereka. Rasti mendorong Daton untuk membuat jarak mereka berjauhan.

"Ikh, lepasin! Enak banget lo ngambil kesempatan dalem kesempitan. Jalan liat depan bukan manteng di hape. Emang gue cewek apaan! Huh!" sungut Rasti.

Daton menaikkan sebelah alisnya "Sama-sama." katanya sambil berlalu mendahului Rasti ke depan rumah. Rasti menghentakkan kakinya, jengkel. "Duda nyebelin!!!" sungut Rasti.

Daton membukakan pintu mobil, mempersilahkan Rasti masuk. Disepanjang perjalanan pulang mereka sama-sama diam. Rasti diam memang karena masih kesal dan Daton diam karena ia fokus mengemudi.

"Jangan lupa minggu." Kata Daton saat melihat Rasti membuka pintu mobil Audi R8 miliknya. Berniat untuk keluar.

"Iya kalau inget." Kata Rasti yang langsung melenggang masuk ke rumah. Daton menggelengkan kepalanya menatap tingkah laku Rasti. Lalu melajukan mobil Audi R8 hitamnya kembali ke rumah untuk bersiap-siap ke kafe.

Janda Vs Duda Where stories live. Discover now