Bab 6

727 59 1
                                    

Ale menatap tumpukan berkasnya lalu mengambil beberapa file yang perlu ia kerjakan. Ada banyak perkerjaan mulai dari kasus sengketa tanah, pencemaran nama baik, kasus perceraian juga ada namun kadang ia memilih kasus berat dulu untuk di selesaikan. Semenjak ayahnya memilih pensiun. Ale jadi mendapatkan jatah pekerjaan yang lumayan banyak. Kadang sekedar untuk kumpul-kumpul dengan dua sahabatnya, ia merasa kesulitan meluangkan waktu.
Ale membaca sebuah kasus file yang agak mengganggunya, segera Ale meraih gagang telepon untuk menghubungi sekretarisnya yang ada di luar.

“kenapa ada kasus tersangka pengedar narkotika di meja saya?”

Dan sepertinya sang sekretaris ketakutan karena salah mengirim file. Selama ini baik Felix maupun Ale tak pernah mau menerima kasus yang bersangkutan dengan pengedar maupun pemakai psikotropika. “Segera kamu ambil file ini atau saya akan bakar!”

Ale geram dan langsung menjatuhkan punggungnya pada sandaran kursi yang empuk. Ia memijit tulang hidungnya sejenak, penat memang menghadapi kasus namun lebih jengah lagi ketika menghadapi klien yang menyebalkan sekaligus yang banyak tingkahnya.

Mungkin ayahnya dulu masih mempertahankan klien mereka dari kalangan selebriti namun Ale tidak. Kasus-kasus orang terkenal, Ale memilih menyerahkannya pada anak buahnya yang lain.

Tok...tok..

“Masuk.”

Sekretarisnya yang bernama Widya datang dengan wajah panik. “Mana File yang ingin bapak singkirkan.”

Ale mengambil map berwarna biru lalu menyerahkannya. “Besok-besok lagi, saya gak akan mentelorir jika ada lagi file yang salah masuk.”

Widya menerimanya namun masih enggan beranjak. “Ada apa lagi?”

“Pak, ada seorang perempuan bernama Ranie yang ingin bertemu bapak.”

Wajah Ale yang masam berubah menjadi cerah ketika nama Ranie disebut. “Suruh dia masuk.”

“Baik Pak.”

Begitu Widya berlalu dan hilang di balik pintu, Ale merapikan kemeja yang dipakainya lalu menyemprotkan sedikit parfum ke tubuhnya. Ingin bersisir namun kepala Ranie sudah muncul melongok di pintu yang sedikit terbuka.

“Maaf, apa aku mengganggumu?”

“Tentu tidak. Masuklah!” perintahnya ramah.

Ranie mengamati ruangan Ale sebelum melangkah ke sofa yang telah di sediakan. Ruangan Ale di penuhi rak berisi buku dan beberapa lukisan kontemporer. Mejanya klasik karena ukirannya begitu tradisional. Ruangan ini juga didominasi warna coklat. Terlihat antik namun juga elegan. Ranie juga penasaran dengan meja kerja Ale. Apakah selain papan nama ada foto keluarga atau kekasih pria itu.

“Duduklah.”

“Terima kasih.”

“Mau minum apa?”

“Tidak usah. Aku ke sini untuk mengatakan hal yang penting.”

“To the point sekali.” Ungkap Ale dengan seringainya. Ranie benar-benar mempesona dengan dress sederhana bermotif bunga bluebell. Kakinya yang biasanya di lindungi sepatu boot kini beralaskan sepatu heels pendek. Ranie terlihat feminin sekaligus praktis.

“Aku mau minta bantuanmu.” Raut muka Ranie berubah serius.

“Tentang?”

“Masalah yang aku ceritakan dulu, Tentang penculikan beberapa anak.”

Ale mencondongkan tubuhnya ke depan karena ingin mendengar jelas keterangan Ranie. “ Apa kasus itu sudah ada kemajuan?”

“Bisa dikatakan begitu. Ada anak yang berhasil kabur dari penculikan itu dan bisa menjadi saksi. Tapi sayangnya ketika kami menggeledah tempat yang dimaksud si anak, para penculik sudah tidak ada dan beberapa anak juga ikut dibawa. Kami mengalami jalan buntu.”

HopelessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang