Ampas?

6 2 2
                                    

Matahari teduh menyinar bumi, di atas langit biru berawankan putih. Burung berkicau riang, melewati angkasa. Dedaunan, rumput, tumbuh-tumbuhan dan sejenisnya, bergoyang perlahan mengikuti alunan angin. Hari yang damai ini, direalisasikan untuk remaja berkaos cokelat berpadu dengan celana hitam. Simpel. Toh, dia di rumah doang, sekalian nyeduh kopi. Heran aja, panas-panas gini biasanya enak yang dingin-dingin, dia malah yang panas-panas. Ah, biarkan saja. Remaja satu ini memang beda.

Selesai dengan pembuatan kopi, dia membawanya keluar. Niat hati ingin bersantai sekaligus menikmati pemandangan indah sebelum jarum pendek dari jam berada tepat di angka dua belas. Mungkin itu sudah panas-panasnya. Ini weekend. Pekerjaan rumah sudah selesai. Kakak juga adik kembarnya pergi jalan-jalan, meninggalkannya—

"Hai, Kak Alam!"

—dengan dua saudara kembar yang lain.

"Hai Adwa," menjawab seraya menoleh memampangkan senyum pada remaja serupa dengannya.

Hanya beda tatanan rambut yang lebih berantakan, mata besar bermanik setengah cokelat-biru yabg selalu menyimpan keingintahuan besar di dalamnya. Well, adiknya satu ini kalau tidak ada tiga biang onar kembarnya, tidak akan berulah. Yah, paling hanya mengajaknya bicara.

—bicara hal yang menyeramkan maksudnya.

Adwa segera duduk di kursi sebelah, hanya meja sebagai pembatas. Dia tersenyum ke arah Alam yang malah menatap pemandangan di depannya. Angin berhembus sedikit lebih kuat, membuat rambut Adwa yang berantakan tambah berantakan. Langit biru kini didominasi awan kelabu secara pelan-pelan.

"Mau hujan," gumam Alam.

Sedangkan Adwa, pandangannya jatuh pada secangkir minuman berwarna hitam yang isinya masih belum berkurang. Padahal, kopi itu sudah mulai dingin.

"Kak Alam, kopinya kenapa gak diminum?" Adwa bertanya dengan nada penasaran.

"Hm," Alam menoleh hanya untuk mendapati wajah penasaran adik kembarnya yang terakhir.

"Oh, itu. Kak Alam nunggu ampasnya turun."

Loading beberapa detik, untuk Adwa mencerna perkataan Alam. "Hee?! Jadi, kopi beneran ada ampasnya dan musti ditunggu dulu?! Kirain, cuma akal-akalannya TV!" Sebelum berteriak kaget dengan ekspresi wajah yang tidak dikondisikan.

Alam tertawa kecil, dia menggeleng pelan. "Enggak, kok. Emang bener ampasnya bandel, gak mau turun-turun."

"Terus, kenapa gak beli yang ampasnya mudah turun aja?"

"Err," malas menjawab pertanyaan adiknya, dia menatap ke tempat lain.

"Eh, tapi ampas itu apa, ya?"

Inginnya Alam sweatdrop. Dia kira adiknya itu tahu ampas itu apa. Eh, ternyata oh ternyata. Nasibmu Lam, punya saudara kembar yang gak bener semua.

"Ampas itu—kayak sisa dari bubuknya" Menjawab dengan ragu, sejujurnya Alam juga bertanya-tanya—bagaimana cara menjelaskan tanpa harus ribet dan menggunakan kosakata baru untuk Adwa sebelum pembicaraan ini merebak ke jantung atau organ lainnya. Demi apa pun, Alam memilih kembali me mengerjakan pekerjaan rumah, daripada disuruh menjawab pertanyaan adiknya.

"Kak Alam, ngaduk kopi gak bener?"

Alam kehilangan kata-kata sementara. Dia bingung. Akibat pertanyaan adiknya, dia jadi punya pertanyaan sama, versinya doang yang beda.

Ada yang tahu, ampas itu apa, kenapa bisa ada, dan bagaimana kewujudannya bisa sangat menyebalkan bagi para pecinta kopi?

Itu akan jadi misteri bagi Adwa dan Alam, jika mereka tidak segera bertanya pada yang benar-benar tahu.

Namun, oh tapi. Adwa masih menatap Alam dengan binaran mata penuh keingintahuan. Alam jadi meringis untuk itu.

.
.
.

Fin.

496 kata.

Sejujurnya, ini kejadian asli. Liat kakak yang kopinya gak diminum-minum, risih juga liatnya. Akhirnya, Saa tanya. Dan jawabannya gitu. Agak ketus sedikit, sih. Oh, dan Saa tidak akan sepolos itu menanyakan—apa itu ampas—kepada kakak. Gak mau diketawain. Ada yang tau, maksud 'Ampas' apa? Yang ngerti pertanyaan ini, doang ya.

Ini bukan cerpen. Cuma drabble gabut. Heheheh.

Color in the SkyWhere stories live. Discover now