01. Pagi yang Ramai

23 6 1
                                    

Tinggalkan jejak

••••••

Bagi seorang mahasiswa hidupnya adalah seperti sedang berjalan di atas papan yang tipis. Sewaktu-waktu dia bisa saja terperosok ke kedalaman yang sangat dalam. Kabar buruknya, bisa jadi tidak ada orang yang mau menolongnya. Kalau para manusia itu masih mau hidup, maka, ia harus berjuang untuk dirinya sendiri.

Sudah dari subuh hujan di luar enggan untuk berhenti. Meskipun tidak sederas semalam, tetap saja membuat prosentase semangat pada hari senin pagi menurun. Membuat laki-laki dengan rambut panjang itu betah meringkuk di balik selimut.

Ia bernama Mahen Astrajingga. Lahir 21 tahun silam, pada bulan September di sebuah planet yang diberi nama bumi. Asli orang Jakarta tapi memilih menetap di Surabaya.

Mahen hanya satu dari sekian anak yang merantau untuk bisa kuliah di Kota. Kabar baiknya ia diterima di Universitas Vekha. Universitas yang salah satunya berdiri di Bogor.

Awalnya mama menentang keras keputusan Mahen untuk kuliah di luar kota. Sebab mama pasti tidak bisa mengontrol kegiatan si bungsu, padahal di Surabaya juga banyak Universitas besar lainnya.

Tapi dengan bujuk gaya merayu dengan membelikan satu lusin piring Mahen berkata begini di teras rumah. "Ma, mimpi itu memang bisa datang dengan sendirinya. Tapi, kalau impian itu harus kita jemput. Mbak Saena juga pernah bilang gitu."

"Memang Mahen tahu seberapa besar harga yang harus dibayar untuk sebuah mimpi?" Mama bertanya.

Mahen menggeleng. "Nggak tahu. Emang mama nggak mau punya anak yang punya gelar, dengan  punya nama yang belakanganya S. T. p. d gitu. Keren lho?"

"Mama nggak butuh gelar. Mama cuma mau Mahen di sini, mama nggak mau anak mama jauh-jauh dari mama."

"Maheen nggak jauh, Ma. Nanti kalau kangen vece aja, jaman canggih gini!"

Dengan perasaan berat, akhirnya mama menyetujui. Harapannya agar si anak bisa mencapai mimpinya. Namun apalah daya, Mahen adalah mahasiswa yang sama sekali tidak pernah menikmati jurusan yang ia ambil.

Setelah mendapatkan kabar bahwa Mahen diterima di Universitas Vekha. Meskipun dirinya tidak ada niat sama sekali, sebab ia terlalu pusing mengambil jurusan apa. Jadi dengan jing gonjang ganjing heweshewes cup bale cup kembang kuncup! Ia memilih Komunikasi.

Untuk tinggal, Mahen tinggal di indekos sekitar kampus, mengingat ia tidak memiliki saudara di Bogor.

Ngomong-ngomong soal indekos, ada tujuh Warga Negara yang tinggal dalam satu atap bersama Mahen. Kalian akan mengenal sifat mereka seiring berjalannya waktu. Asoy.

♧♧♧♧

Prang!!

Pagi itu suara panci jatuh akibat tersenggol oleh tikus-tikus jahil hobi wara-wiri di dapur adalah suara yang pertama kali terdengar di telinga Mahen.

Laki-laki dengan rambut panjang sebab waktunya dipangkas itu mulai membuka matanya. Ketika ia melongok dengan tampang innocent ke jendela ia bisa melihat dari balik jendela hujan masih menampakkan eksistensinya.

"Sapa tuu?" Mahen berteriak dengan suara khas bangun tidur, kemudian ia bangkit dari kasur.

Sempat melihat sebentar sekeliling kamarnya yang tidak pernah rapi itu. Bungkus ciki bertebaran, piring-piring yang lupa dikembalikan, gelas bekas minum yang sudah bersarang, odol yang isinya sudah berceceran, serta kaos kaki yang dibiarkan menyangkut di kipas angin seakan-akan pengganti pewangi ruangan.

ASTRAJINGGAWhere stories live. Discover now