01. Jenjen dan Sebuah Pelukan.

14K 1.4K 83
                                    

Halo! Kembali lagi bertemu dengan keluarga ini. Jangan lupa vote dan tinggalkan komentar kalian. Jika ada typo dan yang lain bisa tandai dengan komentar ya. 



Disclaimer! Jangan berekspektasi tinggi pada cerita ini karena aku masih penulis pemula, mungkin akan banyak kesalahan kepenulisan atau pemilihan diksi yang masih sangat biasa saja, jadi jika kurang nyaman, bisa diskip. Walaupun begitu, aku akan tetap terus belajar supaya lebih berkembang lebih baik lagi. ><



❤Selamat Membaca❤






Menikah bukanlah suatu hal yang mudah apalagi untuk dua orang yang  melakukan itu karena perjodohan keluarga, mereka sama sekali tak saling mengenal, tak tahu rupa atau bahkan sekedar nama, lalu diminta saling mencinta? rasanya sangat mustahil.

Tapi mari ingat lagi kalimat bagus dari Bahasa Daerah, 'witing tresno jalaran soko kulino.' yang kurang lebih artinya 'cinta datang karena terbiasa.' mungkin kalimat itu ada benarnya, mereka akhirnya bisa saling mencintai karena mulai terbiasa bersama tapi apakah hanya karena terbiasa bersama? Tentu tidak, pasti ada campur tangan takdir dan usaha keras dari keduanya.

Kali ini kita tidak akan membahas soal itu karena dua orang tadi sudah menemukan tempat ternyamannya dan saling mencintai. Perjalanan cinta mereka yang sedari awal sudah cukup rumit itu tak berhenti sampai Morfem 'Bahagia' atau Klausa 'Akhirnya jatuh cinta.' kisah mereka masih panjang dan sepertinya baru akan dimulai dengan lahirnya buah cinta mereka. 

Sang Jendral Putra Mahesa.

Bocah laki-laki yang akan membuat orang tuanya belajar lebih banyak tentang kehidupan, bukan soal kisah romansa bahagia semata tetapi juga tentang rasa sakit dan duka yang akan membuat mereka semakin kuat. Mereka akan menekuni sebuah profesi baru yang dijalani seumur hidup tanpa kata pensiun, menjadi orangt tua. 

Seperti kebanyakan pasangan lain yang baru memiliki anak, Esa dan Nayata pun masih harus banyak belajar, setiap harinya adalah pembelajaran. Malam itu, tepatnya puku 23:37 WIB, lampu dalam sebuah ruangan masih menyala. Di sana duduk sosok pria manis yang tengah menggendong bayinya, wajah cantiknya terlihat sedikit kusam dengan kantung mata yang cukup jelas, bibir yang biasanya sedikit merona kini terlihat kering.

Nayata masih menimang putranya yang baru terlelap sekitar setengah jam yang lalu, ia berada dalam posisi tak bisa bergerak karena sedikit saja pergerakan bisa membuat bayi mungil itu terusik. Punggungnya sudah sangat pegal dan senasi sakit di perutnya samar-samar terasa. Ia harus bertahan di sana 10 menit lagi untuk memastikan putranya benar-benar terlelap. Saat sudah bisa menaruh putranya di dalam box bayi, ia berjalan keluar dan menutup pintu perlahan.

Rumah besar inicukup gelap, sebagian lampu sudah dimatikan. Nayata merasa tenggorokannya kering jadi ia berjalan menuruni tangga untuk mencapai dapur, ia menyalakan lampu dan kini tatapan matanya tertuju pada sebuah foto besar, foto pernikahannya dengan sang suami. Mereka tersenyum lebar dengan wajah penuh bahagia, ia ingat jelas moment itu, semua berjalan lancar untuknya.

Kemudian tatapannya beralih pada lemari tempat menyimpan pajangan, kaca lemari itu bisa menampilkan pantulan dirinya. Dirinya yang sekarang benar-benar kacau, ia terlihat tak terawat dan juga begitu lelah. Kalau boleh jujur, setelah putranya lahir, Nayata seolah tak lagi punya kebahagiaan. Jangankan kebahagiaan, rasa tenang pun seolah tak ada. Semuanya harus dilakukan secara cepat, makan dengan cepat, mandi dengan cepat bahkan tidur pun begitu.

Sampai ke Nadi [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang