One Month Notice

9.3K 497 11
                                    

"Ini apa Lun?" aku cuma bisa diam waktu Babeh alias Pak Nurhadi, salah satu partner firma hukum tempatku mencari nafkah, bertanya dengan dagu terangkat dan nada menohok khasnya. Di tangan kanannya, surat pemunduran diriku. 

Aku rasa semuanya sudah jelas, bukan? 

"Article ten from my contract, Sir," aku berdeham, menjaga suaraku agar tetap tegas dan tidak bergetar. "Lawyers should give at least one month notice prior to the resignation, in a form of a formal letter..."

"Ya, ya, gua tahu," Pak Nurhadi melambaikan tangan kirinya, memotongku. 

Bukan, bosku itu bukan keturunan campuran. Nama lengkapnya Nurhadi Syam, bukan Nurhadi Smith, alias nggak ada keturunan bulenya sama sekali. 

Cuma, beliau dulu kuliah di luar negeri dan beristrikan bule asli Sidney sehingga cara ngomongnya jadi agak-agak campur bahasa Inggris, meski accent-nya tetap accent Betawi. Beliau lalu melesot dari sandaran kursinya, menatapku turun lalu naik, diulang sekali lagi. "Lu yakin, Lun? Apa alasannya? Coba bilang sama gua kenapa elu tiba-tiba mau resign mendadak."

Dalam satu tarikan napas panjang aku mengeluarkan rentetan pengakuan yang sudah aku latih semalaman di depan kaca dan aku benarkan tata bahasanya supaya lancar tanpa kesalahan, "Tiga tahun lebih saya belajar banyak dari NLO, dari Bapak, dan yang lain. Saya merasa sudah cukup, dan ini waktunya saya mencari pengalaman baru serta belajar bidang hukum yang lain. Segala ilmu dan kebaikan Pak Hadi, Pak Santo, Pak Dharma, dan mbak serta mas di kantor nggak akan pernah saya lupakan. Untuk itu dengan berat hati saya harus..."

"Lunar!" potong Babeh seraya menegakkan posisi duduknya kembali. "Lu denger gua nggak? Yang gua mau denger dari lu itu alasan kenapa lu mau cabut. Soal pidato scripted lu itu nanti aja lah di hari terakhir."

Bibirku terkatup rapat seketika. Begitu lah Babeh. Hobinya menyela orang. Kalau saja aku nggak biasa menghadapi kefrontalan bosku itu serta cara bicaranya yang terkesan 'ngajak berantem,' mungkin bisa-bisa aku sudah pingsan di tempat atau balik ngamuk. Namun tiga tahun lima bulan sudah aku menjadi bawahannya, lebih kurang tabiat managing partner satu itu sudah terbaca olehku. 

"Nggak ada apa-apa Pak," seruku diliputi kepercayadirian yang muncul kembali. "Saya mau belajar bidang hukum lain aja. Kantor ini punya practice area spesifik di bidang energi. Kan saya belum pernah nanganin transaksi pasar modal atau kekayaan intelektual misalnya, begitu Pak."

"Emang belajar listrik, gas, batubara, minyak, udah bosen?" untuk pertama kalinya dalam sepuluh menit, Babeh tidak menyelaku, meskipun nada bicaranya tetap terdengar ketus seperti sebelumnya. 

Maklum. Lawyer-nya minta resign mendadak di akhir tahun. Kalau aku jadi dia mungkin aku akan melakukan hal yang sama. Andai aku bisa bilang alasan sebenarnya kenapa aku ingin berhenti, apakah Pak Hadi bakal mengerti?

"Nggak bosen Pak, there are so many things to learn so I just wanted to try something new."

Aku nggak mungkin kan bilang kalau aku keluar karena telah melakukan kesalahan besar yang membuat hidupku jungkir balik? Atau bagaimana kebodohanku menyusahkan diriku sendiri dan membuat tempat kerja yang semula nyaman menjadi menyesakkan?

"Oh," gumam Pak Hadi sembari mengangguk, seolah-olah dia bisa bersimpati pada alasan pembelaanku. "Padahal lo bilang waktu itu mau lama. Minimal lima tahun lah Lun."

"Saya pernah janji untul stay minimal dua tahun kan Pak, ini sudah tiga tahun lebih," aku tersenyum mengingatkan beliau yang masih terlalu muda untuk terkena penyakit pikun, alzheimer atau sebagainya. 

"Iya, tapi kan waktu itu lu tanya apakah disini lu berkemungkinan jadi partner. Mana komitmen jangka panjang lu? Baru tiga tahun lebih dikit lu udah cabut?" serang Babeh tanpa ampun. Tangannya mengetuk-ngetukkan pulpen di atas meja mahoganinya, seirama dengan ketukan hak sepatuku di lantai. "Hmm? Gimana Lunar?"

ResignWhere stories live. Discover now