☁️23: Di Balik Satu Kebohongan☁️

Start from the beginning
                                    

Aku mengambil ransel, mengunci pintu lalu berbalik sebentar pada Angkasa yang juga belum meninggalkan pijakannya.

"Aku duluan." Pamitku dengan senyum tidak ceria.

Angkasa tidak mencegahku.

Bagaimanapun tampak mudahnya aku mengambil keputusan, sebetulnya aku benar-benar merasa tidak enak. Angkasa selalu baik, jadi aku tidak punya alasan untuk tidak bersikap baik pula. Yang tidak aku kira, ternyata Angkasa menyalahartikannya. Aku tidak bilang ia salah. Mungkin itu juga sesuatu yang di luar rencana Angkasa. Aku tidak marah. Justru aku mengatakan maaf agar ia dapat membuka pengertiannya. Angkasa sungguh tidak perlu mengusahakan apa yang hanya akan jadi percuma.

Kakiku terhenti di halaman upacara yang berpayung langit muram. Kedua tanganku bertaut menggosok satu sama lain, anginnya terasa tidak menyenangkan. Padahal sudah tahu cuaca sedang tidak bagus belakangan, tapi aku tetap saja tidak mau bawa jaket seperti yang selalu Awan ingatkan.

Kedua kakiku berkejaran menuju pintu gerbang. Aduh, gawat! Seperti yang aku duga, hampir tidak tersisa siswa berseragam putih biru di sekitar lingkungan sekolah. Mataku menyipit ke arah sebuah warung begitu menangkap riuh rendah suara berbincang dan tertawa. Ternyata benar ada segerombol anak laki-laki disana. Aku sempat senang, sebelum lantas sadar kalau tidak ada satupun dari mereka yang bisa aku kenali. Dari tingkah mereka yang berani merokok dengan memakai seragam, sepertinya mereka kakak kelas. Ah, mana berani aku tiba-tiba minta diantar pulang.

Aku menyisipkan telapak tangan ke dalam saku rok. Teringat ada ponsel yang memang boleh dibawa namun selama pembelajaran harus dikumpulkan pada wali kelas. Apa aku telepon ke rumah saja ya? Pikirku. Tapi sekali lagi aku hanya bisa mendesah. Teringat kalau tadi pagi pak supir berangkat keluar kota bersama Tante Farah.

Kalau sudah begini, satu-satunya pilihan tinggal Awan. Walaupun, aku yakin sekali dia bakal mendumel, sih. Mengingat hari ini memang bukan jadwal pulang bareng kami.

Meski Awan sendiri yang menyanggupi untuk berangkat dan pulang bersama sekalipun sekolah kami berbeda, tapi ia memang nggak pernah mau menunggu aku selesai ekskul. Berlaku juga waktu Awan yang sedang ada ekskul. Dia nggak mau ditunggu. Bagaimana ya menjelaskannya... Awan sebetulnya orang yang perhatian kok. Tapi dia nggak begitu senang dibuat repot. Bahkan sifatnya itu yang jadi alasan kenapa aku nggak bisa naik sepeda sampai sekarang. Dari kecil ia lebih memilih memboncengku kemana-mana karena menurut Awan mengajariku naik sepeda terlalu merepotkan.

Ngomong-ngomong, aku sudah kirim pesan minta jemput pada Awan. Dan nggak hanya satu. Cukup lama tapi balasan yang aku tunggu belum juga muncul. Akhirnya aku inisiatif menghubungi nomor telepon rumah Awan, tapi nggak ada yang mengangkatnya. Aku sudah nggak aneh sama anggota keluarga lain yang memang sering nggak di rumah. Tante dan Om sama-sama bekerja sementara Mas Tristan hanya pulang sesekali sejak mulai kuliah. ART Awan juga mungkin sudah pulang karena jam kerjanya memang hanya sampai jam 4 sore. Sedangkan Awan, dia nggak biasa tidur di jam nanggung begini. Cowok itu juga hampir nggak pernah pergi-pergi tanpa aku. Sekalipun ada acara, dia biasanya bakal kasih tahu. Masa sih Awan masih di sekolah? Tapi seingatku tadi pagi dia nggak bilang apa-apa.

Karena aku pernah ngobrol di Facebook dengan kapten basket sekolah Awan, aku mengetuk kotak pesannya untuk bertanya apa tim basket sedang ada kegiatan. Kebetulan orangnya sedang online jadi aku langsung dapat jawaban.

Sore juga, Windi!

Nggak nih hari ini free

Eh gitu Kak

Berarti udah nggak ada kegiatan di sekolah ya?

Iya nggak ada

Di Balik AwanWhere stories live. Discover now