Segera bangkit dari duduknya, Dera beranjak untuk mencari sesuatu yang mungkin bisa menjadi sumber informasinya. Menggeledah dan membuka satu persatu laci nakas, akhirnya ia menemukan benda yang ia cari.

"Ini dia," gumamnya, meremat benda pipih berwarna silver yang terasa dingin karena lama tak digunakan itu.

Dera berdecak pelan, ternyata benda ini kehabisan daya. Kembali menggeledah laci nakasnya, ia menemukan sebuah charger juga di sana, tanpa menunggu lama, Dera segera menyambungkan pengisi daya itu pada colokan stop kontak.

Jari-jemari lentiknya mengentuk-ngetuk ponsel itu dengan tidak tenang, dan begitu menyala, harapnya untuk mendapatkan sebuah informasi pun sirna, ponsel itu digembok, harus memasukkan sebuah kode angka untuk bisa membukanya.

"Apa isinya? Kenapa harus sampai dikunci?" Dera menghela napas, menggerutu pada dirinya sendiri.

Namun ia tak ingin menyerah, masih berusaha menebak angka berapa saja yang ia gunakan sebagai kode layar kuncinya.

Tanggal pernikahannya dengan Jayden mungkin?

"Tapi tanggal berapa?" gumamnya bertanya. Meletakkan benda pipih itu, Dera mencari foto pernikahannya dengan Jayden dulu, siapa tahu ada tanggal tersemat di sana.

Astaga, bahkan ia tidak sadar jika foto pernikahannya dengan Jayden tidak terpajang di manapun, bahkan sekadar pigura kecil di atas nakas pun tak ada. Dera semakin bingung, apa sebenarnya yang sudah terjadi? Apa yang sudah ia lakukan sebelumnya hingga seperti ini?

Dera mengacak rambutnya frustrasi, ini benar-benar membuatnya gila. Ketika menggeledah laci meja riasnya, tak sengaja ia menemukan sebuah dompet di sana, itu pasti dompet miliknya.

Mengambil benda berwarna merah itu, Dera membuka isinya, betapa terkejut ketika ia mendapati uang cash di dalamnya, serta beberapa kartu kredit dan ATM. Apa ini benar-benar miliknya?

Ah, itu tidak penting untuk ditanyakan sekarang. Mengambil kartu tanda penduduknya, Dera menghafal tanggal, bulan serta tahun lahirnya, mungkin saja ia menggunakan ini untuk kode layar kuncinya.

Ketika mencoba, ternyata benar. Benda itu langsung terbuka, menampilkan beranda dan beberapa aplikasi di dalamnya.

Mulai dari membuka album foto, ternyata tidak apa-apa di sana, selain foto-fotonya, beberapa desain baju, serta potret mewah yang Dera sendiri juga kaget melihatnya. Beralih pada aplikasi pesan, banyak sekali notifikasi yang masuk. Dengan nama-nama yang baginya masih asing.

Setelah membuka dan mengutak-atik isi ponselnya. Dera menghela napas, bahunya merosot. "Ternyata tidak ada apa-apa di sini," ratapnya pelan.

Meletakkan kembali benda pipih itu ke atas meja. Dera memejamkam matanya, memegang kepalanya yang terasa pusing. Mungkin air dingin bisa membantunya untuk menjernihkan pikiran saat ini.

Beranjak keluar dari kamarnya, Dera terkejut ketika tubuhnya terhuyung ke belakang karena tak sengaja ditabrak oleh seseorang dari arah berlawanan dengannya. Membuat sang pelaku juga tak kalah terkejut ketika mendapati siapa yang telah ia tabrak.

Ketika hendak melontarkan kata maaf, kalimatnya kembali tertelan, lantaran Dera mendahului. "Maaf, maaf, Mommy nggak liat-liat tadi jalannya, kamu nggak apa-apa?" tanyanya pada sang pelaku, yang tidak lain adalah Raiden, putranya.

"N-nggak pa-pa," sahut pemuda itu, antara takut dan terkejut saat mendengar lontaran kata maaf keluar dari mulut ibu tirinya itu.

Tersenyum kecil, Dera mengangguk, namun pandangannya berhenti, ketika tak sengaja melihat sesuatu di balik poni pemuda itu, saat hendak menyentuhnya, tiba-tiba tangannya ditepis secara kasar, membuat Dera terkejut.

AffectionWhere stories live. Discover now