Membuang napas pelan, ia memutar kursi rodanya, kembali masuk ke dalam rumah, berniat untuk berjemur di halaman belakang, dan sedikit melatih kakinya agar bisa berjalan normal seperti biasa. Ia tak mau terus duduk di atas kursi roda seperti ini, selain menyusahkan orang lain juga membuatnya kesusahan sendiri.

"Iya, Nyonya? Ada yang bisa saya bantu?" tanya soerang maid dengan sopan, sedikit membungkuk pada majikannya.

Dera tersenyum kecil dan mengulurkan tangan kanannya. "Tolong bantu saya jalan ya?" pintanya, menatap perempuan yang berdiri di depannya.

Sedang wanita itu tampak terkejut ketika Dera mengulurkan tangan padanya dan meminta bantuan. Sangat diluar dugaan. Ia memang menjadi salah satu dari beberapa maid di rumah yang tidak percaya akan berita jika Dera sedang amnesia, karena mengetahui bagaimana wanita itu bertingkah sebelumnya.

Namun sekarang, ia menjadi sedikit ragu jika ini adalah hal yang dibuat-buat.

"S-saya pegang tangan Nyonya?" tanyanya memastikan.

Jangankan oleh pembantu, disentuh oleh suaminya saja dulu ia tidak pernah mau. Kontak fisik adalah hal yang paling Dera benci.

Wanita cantik itu tertawa pelan, dan mengangguk. "Iya, saya 'kan minta tolong, bagaimana bisa berdiri jika tidak kamu bantu?" ujarnya, dengan tawa yang berderai halus.

Dengan ragu, maid itu menggenggam tangan Dera, membantu majikannya untuk bangun dan berjalan.

"Pelan-pelan saja, kaki saya masih sedikit kaku," ujar Dera, menggigit bibir bawahnya, berusaha untuk melangkahkan kakinya sedikit demi sedikit.

Beberapa maid yang tadinya tengah mengintip adegan itu pun sama-sama tercengang. Mereka saling berpandangan, seolah tak menyangka jika itu memanglah seorang Derana, majikan mereka yang angkuh dan kejam itu.

Baru mendapat sepuluh menit saja rasanya Dera sudah sangat lelah, namun ia tidak boleh menyerah, ia harus bisa kembali berjalan normal.

"Kalau capek, istirahat dulu ya, Nyonya?" tawar maid yang membantu Dera.

Namun wanita itu menggeleng, tersenyum dan meyakinkan jika ia masih kuat. "Coba sekarang lepaskan dulu ya, saya ingin mencoba untuk berjalan sendiri," ujar Dera, melepaskan genggaman maid itu dari tangannya.

"Nanti Nyonya jatuh," ujar maid itu, enggan melepaskan genggamannya karena takut majikannya itu jatuh.

"Tidak apa-apa, anggap saja saya ini anak kecil yang baru belajar jalan. Jatuh itu hal wajar yang terjadi di tengah proses sebelum menikmati hasil, betul 'kan?" ujar Dera, tersenyum.

Membuat maid itu tertegun sesaat, sebelum melepaskan genggaman tangannya, membiarkan Dera untuk berjalan sendiri. Sebenarnya ia sudah bisa, karena Jayden sudah membantu sebelumnya, namun kakinya memang masih sedikit kaku dan sakit jika dipakai berdiri terlalu lama.

Perlahan dan sedikit demi sedikit, Dera berusaha hingga kakinya tak terasa berat lagi untuk melangkah, wanita itu tersenyum senang. Tak apa, tak perlu terburu-buru, pelan-pelan ia pasti bisa berjalan normal lagi.

Setelah menghabiskan waktu hampir satu jam untuk melemaskan otot kakinya, dan dua puluh menit untuk berjemur, kini Dera duduk di anak tangga teras belakang rumah, untuk beristirahat, sembari mengobrol kecil dengan maid yang menemaninya tadi.

"Kamu sudah lama kerja di sini?" tanya Dera.

Wanita itu membalasnya dengan anggukan. "Lumayan lama, mungkin ada sembilan tahun," jawabnya.

Dera mengangguk-angguk. "Kalau boleh tahu ... kemana istrinya Jayden sebelumnya?" tanyanya lagi, merasa penasaran.

Wanita itu sedikit tersentak ketika Dera menanyakan perihal istri Jayden yang dulu. "Oh itu ... istrinya Tuan Jayden dulu meninggal setelah melahirkan tiga anaknya."

Dera kembali mengangguk, raut wajahnya menyiratkan jika ia turut merasa sedih mendengar hal itu. "Begitu ya ... pasti sulit menjadi single parent, harus mengurus tiga anak sendirian, apalagi mereka laki-laki semua."

"Itu juga alasan kenapa Tuan Jayden sayang sekali sama mereka bertiga," imbuh wanita itu, tersenyum.

Seolah menular, Dera ikut tersenyum. Ia tidak heran jika Jayden sangat menyayangi anak-anaknya, bahkan padanya saja Jayden seperhatian itu.

***

"Jay?"

Panggilan yang terdengar setelah suara derit pintu terbuka itu membuat perhatian sang pemilik nama beralih, menoleh ke belakang, beberapa saat kemudian ia terkejut ketika Dera menghampirinya tanpa menggunakan kursi roda.

"Dera? Kenapa kamu tidak memakai kursi roda?" tanya pria itu, segera bangkit dari depan layar laptop untuk menghampiri istrinya yang berdiri di ambang pintu.

"Tidak apa-apa, Jay, aku tidak mau ketergantungan dengan benda itu, lagipula aku harus banyak bergerak supaya kakiku bisa berjalan seperti sebelumnya lagi," urai wanita itu tersenyum, menutup kembali pintu ruang kerja Jayden.

Membuang napas pelan, Jayden menatap istrinya. "Kenapa belum tidur? Ini sudah malam."

"Aku tidak bisa tidur. Pekerjaan kamu banyak ya? Boleh aku bantu?" tawar Dera, membuat Jayden terdiam sejenak, memperhatikan meja kerja dimana map-map dan lembaran kertas bertumpuk di sana, serta laptop yang masih menyala.

"Tidak perlu. Saya akan segera menyelesaikannya, untuk menemani kamu tidur," ujar Jayden, kembali ke meja kerjanya.

Tak mengindahkan ucapan suaminya, Dera mengikuti langkah pria itu, membuka salah satu kursi lipat lalu duduk di sebelah Jayden, membuat Jayden menoleh terkejut karena Dera malah mengikutinya.

"Aku ingin membantu, jelaskan bagaimana cara mengerjakannya," ujar Dera sedikit mencondongkan tubuhnya, menatap layar laptop yang menunjukkan sebuah tabel serta kurva-kurva yang masih asing baginya.

"Tidak ada yang perlu dikerjakan, ini hanya laporan perusahaan, jadi yang harus dilakukan hanya memeriksa adanya kesalahan atau tidak," urai Jayden, dibalas anggukan paham oleh Dera.

"Lalu?" tanya wanita itu, masih penasaran.

Lalu Jayden kembali menjelaskan, dengan Dera yang manggut-manggut memahami setiap penjelasan yang diberikan oleh suaminya. Wanita itu mencoba untuk memeriksa dan membaca laporan milik perusahaan Jayden, sedang Jayden sendiri kembali membaca setiap berkas yang perlu ia tanda tangani.

Sesekali pria itu melirik wanita di sampingnya yang tampak serius menggulir dan membaca laporan yang tertulis di layar laptop. Diam-diam, Jayden mengembangkan senyum tipis, meskipun sedang lupa ingatan, wanita itu tetap orang yang sama, ia tetap memiliki otak yang cerdas dan mudah paham dengan sekali dijelaskan.

Hingga beberapa waktu terlalui, kini jam sudah menunjukkan angka sebelas lebih tiga puluh lima menit. Jayden merenggangkan otot-ototnya, lalu menoleh pada Dera yang tertidur dengan satu tangannya terlipat di atas meja sebagai tumpuan kepala, wajah cantik itu nampak damai tertidur. Lagi-lagi membuat Jayden mengembangkan senyum tipisnya.

Jayden akui, jika Dera itu adalah wanita yang sering diidam-idamkan kaum adam di luar sana. Ia pandai, mandiri, dan cantik. Selain itu, lekuk tubuhnya juga indah. Hanya saja, tidak ada manusia yang sempurna, sama halnya dengan wanita ini, dibalik semua kelebihannya, ia memiliki sifat sosial yang buruk. Angkuh, jutek, dan merasa tak pernah membutuhkan orang lain dalam hidupnya.

Puas memandangi wajah cantik yang terlelap tidur itu, dengan pelan dan hati-hati Jayden mengangkat tubuh Dera ke dalam gendongannya, tak ingin mengganggu dan membuat tidur wanita itu terusik, ia berjalan santai pelan menuju kamarnya sembari sesekali melirik pada wanita yang tengah mengusapkan wajah di dadanya itu, seolah sedang mencari sumber kehangatan.

"Seandainya saya tidak tahu apa yang sudah kamu lakukan kepada anak-anak saya, mungkin saya masih mencintai kamu hingga saat ini, Dera," gumam Jayden pelan.

AFFECTION

aku minta maaf untuk ketidak-jelasan bahasa
bakunya, jujurly, ini first time buat yang beginian,
lagi nyoba genre baru soalnya. i challenge myself
to complete this story. but, hope y'all like it.
warm regards and love for u 💖💖

AffectionWhere stories live. Discover now