En

205 13 5
                                    

Ini cerbung saya yang pertama. Yang sebelumnya baru cerpen. Hehe. Makasih buat adikku tercinta yang udah mau baca cerita kakaknya yg absurd ini. Dan pastinya buat readers yg mau baca cerita ini. Thanks banget yaaa. No copas. No plagiat okeeyy.
Please enjoyy :)

-o0o-

Menjadi bagian dari sebuah kerajaan kecil bukanlah harapan Mi. Bahkan terlahir sebagai seorang putri pun bukan harapannya. Tapi inilah kenyataan. Kata Moae ia tak boleh terus menyalahkan Takdir, karena Tuhan telah memilihnya untuk satu tujuan. Dan Mi berusaha percaya pada kata-kata nenek tua itu.

Mi mendesah pelan, masih memilih gaun apa yang hendak dipakainya hari ini. Hidup seorang putri memang teramat melelahkan. Segalanya harus sempurna, begitu kata Ibunya tiap kali ia mendengar kakak perempuannya mengeluh tentang ribuan peraturan.

Akhirnya gadis bermata hijau itu memilih sebuah gaun krem berlengan yang berenda di bawahnya. Gaun itu tampak simple namun tetap memancarkan keanggunan. Beberapa gambar bunga matahari yang disulam cantik tampak hidup diatas rok lebar berbahan sutra itu. Mi segera memakainya dan menyisir rambut coklat sebahunya dengan pelan.

Ia menatap pantulan dirinya di lapisan cermin bulat dihadapanya. Sepasang mata hijau menatapnya. Hidung mancung, pipi tirus dan bibir penuh melengkapi wajah putih dihadapannya. Mi menyisir rambutnya lagi, kini lebih pelan. Setelah dirasa cukup, ia mengepang rambutnya di dua sisi. Lalu mengikat masing-masing ujungnya dan melingkarkannya ke belakang kepala. Ia mengambil sebuah jepitan bunga emas dan memasangnya di belakang kepalanya, menahan kepangan rambutnya agar tak berantakan.

Pintu kamarnya terbuka. Dan Mi menatap pelayannya dari cermin.

"Yang Mulia, sudah waktunya sarapan," ujar pelayan tua itu.

"Baik, aku segera keluar," jawab Mi dengan suara setenang biasanya. Lalu gadis itu berdiri tegak. Dan perlahan berjalan ke arah pintu keluar.

---

Mi sampai di ruang makan kerajaan. Ia memberi hormat pada Ayah dan Ibunya yang terlebih dahulu datang. Ia membungkuk lalu duduk di kursinya dengan keanggunan seorang putri. Tak lama berselang, Arion dan Ayana, kedua kakaknya datang dan memberi hormat sama sepertinya.

"Hai Mi," sapa Arion begitu ia duduk dikursinya tepat disebelah Mi.

"Halo Arion," balas Mi dengan senyum tipis.

Sarapan pagi itu seperti biasanya. Hening, kaku dan hanya dihiasi sedikit pertengkaran si kembar A. Waktu berjalan seperti biasa bagi Mi, hanya melihat dan melihat, tanpa sedikitpun terpancing berargumen. Segera setelah sarapan itu selesai, Mi izin kembali ke ruangannya.

"Midrhea. Ada yang ingin kami bicarakan denganmu," kata Ratu sesaat setelah Mi meminta izin pergi.

Mi tersenyum tipis, senyumnya yang biasa, "Baik Ibu. Ada apa?"

Sang Ratu tersenyum kepada putri bungsunya. Ah.. betapa ia sangat menyayangi putrinya ini. "Dua hari lagi aku dan ayahmu akan bepergian ke Lahlain. Kami ingin agar kau ikut pergi," jelas Sang Ratu.

Raja berdehem dan membuka mulutnya, "Ibumu benar. Ikutlah dengan kami. Sudah lama kau tidak keluar dari istana," tambahnya.

Mi terdiam, ia bimbang, harus setuju atau tidak dengan tawaran orang tuanya. Sekelebat bayangan mengatakan tidak, lalu disusul bayangan lain yang menyuruhnya ikut. Dan hatinya mengikuti bayangan yang kedua, "Baiklah, aku akan ikut," jawabnya, membuat dua wajah didepannya berseri.

"Kalau begitu, Alexa akan menyiapkan segala peralatanmu sayang," ujar Ibunya lagi dengan sorot mata hangat. Mi mengangguk, lalu kembali ke ruangannya.

Grater av RegnbuenWhere stories live. Discover now