ucapan Mommy setelahnya yang mampu membuatnya menjatuhkan rahang.

Dia tidak salah mendengarkan?

" Mom...? I..itu bisa diganti nggak?"

" Nggak!!!" Tegas Mommy.

" lah, ngegas? " gumam Beltran setelah Mommynya berlalu pergi.

Dia menjambak rambutnya sambil menghela nafas. Dia tidak sadar Daddynya masih berada disana sampai kemudian Daddy sudah berada disampingnya, menepuk kepalanya pelan membuat dia mendongak.

"Maafin Daddy ya"

Beltran mengangkat sebelah alisnya, "untuk?"

Bryan menunjuk pipinya. Memang sudah tidak terdapat bekas lebam maupun luka disana, tetapi Bryan tetap tidak bisa melupakannya dan dipenuhi perasaan bersalah.

"Ah," Beltran refelks menyentuh pipinya, sudah tidak ada rasa ngilu. "Aku suka malahan, kek keren aja gitu lho, Dad. Kayak preman hehehe"

Bryan menggeleng pelan.

***

Alin duduk diam dikamarnya, dia menghela nafasnya.

Dia melihat keluarganya yang sedang menginterogasi adik bungsunya diruang tengah.

Namun, bukan itu masalahanya. Dia hanya terpikirkan oleh perkataan Beltran beberapa hari yang lalu. Dia takut membuat lelaki itu terganggu akan keberadaannya dirumah ini.

Jujur, awal memasuki rumah ini, Alin dapat merasakan vibes yang positif. Nyaman dan harmonis.

Mungkin dia pikir dia akan nyaman berada disini kedepannya, dan dia pikir itu benar. Dia sudah mulai nyaman, namun bila keberadaannya membuat orang lain tidak nyaman, bukankah rasa nyaman itu juga berubah menjadi tidak nyaman?

Dia tidak nyaman sekarang, mungkin lebih tepatnya tidak enak.

Dia memang berstatus anak kandung dikeluarga ini, tapi bagaimanapun dia tetaplah orang baru disini. Dia memang punya hak tinggal disini, tetapi  bukankah dirinya terlihat seperti orang yang tidak tahu diri setelah membuat keluarga kandungnya sakit hati atas apa yang pernah dia katakan sebelumnya?

***

Beltran berdiri didepan kamar Alin, ragu-ragu memandang pintu kamarnya.

Dia merasa bersalah dengan perempuan itu. Perkataannya kemarin sudah melewati batasannya, tapi sungguh itu hanya karena dirinya yang terlalu khawatir akan keadaan Mommynya, dia tidak bermaksud menghina atau menyalahkan Alin.

Dia ingin meminta maaf, tetapi juga merasa gengsi.

"Oke, nggak papa, santai-santai, tarik nafas dulu, hembuskan...tarik nafas lagi hembuskan..." dia melakukannya berulang-ulang hingga merasa rileks sedikit.

Menghembuskan nafasnya, dia menarik kenop pintu dan mendorongnya kedalam. Beltran mengernyit saat melihat keadaan kamar yang sepi.

"Alin?" Panggilnya. "Ah, maksudnya Kak Alin." gumamnya memperbaiki.

"Kak Alin?"

Harmony ; family relationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang