Perpisahan

18 0 0
                                    


The best cure for the wounded soul is acceptance.

Tulisan ini, semoga bisa menemani kalian yang sedang terluka. Perasaan dan luka kalian valid. Menerima itu adalah sebagian dari penyembuhan.

Aku terluka, sama seperti kalian. Aku tahu bagaimana rasanya terbangun dan hati terasa ngilu tak sudah-sudah. Untuk itu aku menulis kisah ini. Selamat membaca.

Ehm... cocok sambil dengerin hot playlistnya para patah hati "Adele-Easy on me"

***

Bagaimana bisa seseorang mencinta dalam keadaan tertekan?

Bagaimana bisa aku bertahan ketika kamu secara tak langsung memaksaku untuk pergi?

***

"Jadi, apakah kamu balikan lagi dengan dia?"

"Ya, Aku tak punya banyak pilihan, aku tertekan......."

Aku sudah tidak bisa lagi menerima kata-katanya. Entah apa yang ia ucapkan. Aku hanya merasakan kesadaranku sudah mulai terkikis. Badanku gemetar. Jantungku berdetak lebih cepat dari ritme biasanya dan ngilu. Aku haus dan mual.

Aku raih gelas minumnya dan aku seruput tanpa izin. Minumanku habis, dan tenggorokanku terasa amat kering. Aku tak punya pilihan. Aku sudah tidak bisa berkonsentrasi dengan kata demi kata yang dia lontarkan. Sepertinya ia bertanya kenapa aku meminum minumannya.

Tapi, sungguhpun demikian aku tak peduli. Aku hanya perlu meredakan kekeringan di tenggorokanku, dan meredam tanganku yang mulai bergetar tak terkendali.

"Okay.. sedih banget tahu kamu mengambil keputusan itu" ucapku dengan air muka yang sudah pasti seperti lukisan abstrak. Air mataku hampir saja terjatuh. Aku menahannya untuk mengucapkan beberapa kalimat lagi.

"Ya.. aku tak punya pilihan, agar dia berhenti mengganggumu. Kita bisa tetap jalan bersama" badanku semakin bergetar mendengar ia berkata demikian. Aku kecewa. Ingin segera aku memakinya di kedai kopi ini. Tapi aku cukup bisa mengendalikan diri dengan sisa-sisa kesadaranku.

"Kamu tahu keputusan apa yang akan aku ambil?" Ia menggeleng. Tak berani menatapku.

"Kamu benar, aku tak berani menatapmu, aku memang sudah kalah sejak awal." Ia berusaha mengungkit pernyataanku beberapa menit lalu, di menit-menit awal pembicaraan kami. Tadi aku bertanya setengah meraba maksud kehadirannya. "Ada yang ingin kamu sampaikan? Mengapa kamu tidak melihat ke  rah mataku. Konon, dalam sebuah perang, bila kamu tidak berani menatap mata lawan bicaramu, berarti kamu tidak akan memenangkan peperangan."

"Selamat memeprtanggung jawabkan pilihanmu" ucapku, terbata-bata menahan tangis, aku Sudah tidak sanggup lagi berkata-kata selain. "Ayo, kita pulang."

Aku berjalan dengan gemetaran, tapi bodo amat. Aku harus pulang. Aku harus sampai kost.

Kami berjalan menuju parkiran, mencari keberadaan 'Alphard' motor merah yang ia namai Alphard. Ia menamainya, saat kami tengah bercanda, beberapa bulan lalu. Motor yang selalu ada aja dramanya.

Dia ingin Vellfire dan aku ingin Aplhard, tapi karena mengucapkan Velfire lebih sulit, akhirnya dia milih menamai motor merahnya Alphard. Lupakan itu semua. Kami sampai parkiran, dan menunggu dia menyelesaikan urusannya dengan juru parkir.

"Tolong antarkan aku ke kost Fera"

"kenapa tidak ke kostmu aja?"

"Gapapa, mampir dulu ke toko kelontong"

Aku tahu, apa yang kira-kira akan akulalui mala mini hingga esok. Aku hanya berusaha melakukan mitigasi pada hal-hal buruk. Ia mengantarkan aku ke toko kelontong, Budi Utomo Namanya. Toko favoritku, di pojok jalan Menco.

Aku masuk mengambil sebotol air mineral, sekotak tissue dan beberpa sachet Susu Dancow. Ya susu dancow, incase aku tidak bisa makan esok hari. Di tengah antrian kasir, aku menelfon temanku.

"Fitri, kamu di mana? Aku mala minim mau tidur di kosmu, penting. tolong pulang cepet"

"Aku di Sapa Kopi, iya mbak aku pulang cepat" ucap seorang di ujung telepon

Ku segera membayar dan keluar.

"Gak ke kos mu aja?" tanyanya lagi meyakinkan

"Tidak, aku tidur di kost teman saja"

Ia menghidupkan mesin 'alphard'nya . Sesampainya di gang samping kampus 1, bookstore, aku menepuk sekali pundaknya.

"Aku tak bisa bermain di belakang, itu tidak sesuai dengan nilai yang aku anut" ia diam seribu bahasa, sampai di tempat tujuan.

Ia mematikan mesin motornya, saat aku sudah menapakkkan kakiku di tanah.

Aku memeluknya yang masih duduk di atas motor, dengan berkaca-kaca, tanpa berani menatap matanya,. Aku hanya bisa berharap Tuhan membendung air mataku lebih lama. Aku memeluk sebuah pelukan yang tak berbalas dan memang pelukan perpisahan bukanlah pelukan yang perlu dibalas, aku lalu menepuk punggungnya, Ia hanya terdiam, membiarkan aku memeluknya sedikit lebih lama dan berbisik lirih.

"Semoga kamu berbahagia ya, aku sayang kamu" Tuntas kata-kata itu meluncur dari mulutku, aku mengucap salam dan berbalik, berjalan dengan air mata yang mengalir deras. Aku tidak lagi menengok ke arahnya, sampai aku mendengar ia menghidupkan Alphard dan berbalik pergi.

Aku menoleh ke belakang, mendapati punggungnya semakin menjauh. Dan tak terlihat lagi. Air mataku tidak berhenti. Ia semakin deras dan selingi isakan redam. Aku duduk dan membuka kotak tissue. Hatiku ngilu, badanku remuk, dan aku hanya bisa menangis.

Sampai gelombang itu datang, perutku mual. Aku tak bisa menahan gelombang mual itu, aku muntah-muntah di depan gerbang beberapa kali.

"Mba..." seru Fitri dan Mbak Hani dari jalan.

Aku lemas, dan memeluk Fitri lama. "Fit.. dia memilih balikan dengan mantannya" aku hanya menangis, dan Hazanah menepuk-nepuk punggungku.

"Ayo, kita masuk dulu"

****

To be continued

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 27, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Wounded SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang