Pada akhirnya, Canva pun membiarkan mamanya pergi dari hadapannya. Berharap kalau mamanya itu benar-benar menepati ucapannya untuk tidak pergi terlalu lama.

Pada hari itu, mamanya benar-benar pergi dari rumah.

*****

2 tahun kemudian

"Mama nggak telepon hari ini." Kedua bahu Canva merosot lesu. Ada rasa kecewa yang menyeruak kuat dalam dadanya. Ya, sudah dua tahun lamanya Nafisha pergi meninggalkannya. Selama itu pula, Canva selalu berharap setiap harinya. Mamanya selalu menjanjikan kata 'besok' untuk pulang. Namun, Canva yakin itu hanyalah omong kosong.

"Nenek jangan ninggalin Anva juga, ya? Nanti... Anva nggak punya orang hebat yang bisa dibanggain kalo temen-temen Anva pamer mama papanya."

Kamila, wanita tua berusia enam puluh tahun itu merangkul cucunya dengan erat. Bendungan air mata yang sejak tadi dia tahan kini meluncur dengan bebas. Melihat sosok Canva yang begitu rapuh tentu membuatnya merasa terluka.

"Nenek nggak bakalan ninggalin Anva."

*****

9 tahun kemudian

Hujan. Petir. Angin yang berembus dengan kencang. Itu semua tidak membuat Canva berlari untuk meneduh. Laki-laki berusia enam belas tahun itu meremas pesawat kertas yang memang sudah basah hingga hancur tak berbentuk.

"Mereka... bohong." Canva menundukkan kepala dalam. Perlahan, tubuhnya mulai luruh di aspal. Untuk ke sekian kalinya, dia dibohongi oleh orang-orang yang sudah dia berikan kepercayaan yang besar.

"Sebentar yang Mama maksud itu berapa lama? Nenek yang nggak mau ninggalin Anva duluan itu ternyata cuma bohongan? Lalu... Papa cuma mau kerja di luar negeri, kan? Kenapa masih belum pulang? Apa emang belum punya cukup uang?"

Dunia Canva hancur hari ini juga. Nenek Kamila yang merupakan anggota keluarga satu-satunya yang tinggal bersamanya, ternyata lebih dahulu pergi meninggalkannya. Canva bingung harus berbuat apa selain menangis. Kenapa harus dia? Kenapa harus dia yang menanggung semua kepedihan dalam satu bahu saja?

"Apa... harapan untuk bahagia emang nggak berlaku?" lirih Canva dengan bibir yang bergetar. Laki-laki itu kedinginan. Dia butuh pelukan hangat dari seorang ibu. Canva butuh kebahagiaan meksipun hanya bersifat sementara.

Semua harapannya itu ternyata berakhir sia-sia. Sebentar yang dimaksud Nafisha ternyata sangat lama. Mamanya berbohong. Nafisha tidak bisa menepati janji yang dibuatnya sendiri.

Bukan hanya Nafisha, tetapi Ridwan dan Kamila pun sama. Mereka bertiga seolah sepakat untuk membuatnya tinggal sendirian.

Dari kecil hingga sekarang, Canva belum pernah merasakan arti kebahagiaan yang sesungguhnya.

Iya, dia Canva Narendra. Laki-laki hebat yang nantinya akan dipertemukan dengan seorang perempuan yang memiliki fisik tak sempurna.

*****

"Anva. Nanti kalau kamu mau pergi, jangan lupa jemput aku dulu, ya?"

Aily Cantika

~~~

"Hidup aku penuh dengan kebohongan, Ai. Aku harap, kamu nggak akan pernah menyesali perihal pertemuan kita."

Canva Narendra

*****

"Ai, apa keinginan kamu yang sampai saat ini belum tercapai?" Canva menatap wajah Aily dari samping.

Mendengar pertanyaan itu, Aily pun tersenyum lebar. "Lihat bintang," jawabnya.

Canva mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar jawaban dari gadis itu. Melihat rambut Aily yang berantakan karena diterpa angin malam itu membuat tangannya terangkat untuk merapikan. "Kalau seandainya Tuhan mau ngabulin, gimana?"

Aily menghela napas berat kemudian menjawab, "Itu cuma sebatas keinginan. Bermimpi untuk merasakannya hanya sebuah angan-angan."

Terjadi keheningan selama beberapa saat.

"Kalau aku jadi perantaranya, apa kamu mau?"

Aily tertegun mendengar itu. Perasaannya tiba-tiba resah. Tentu saja dia tahu dengan apa yang dimaksud laki-laki itu. "Untuk apa? Semuanya bakalan sia-sia, Anva. Aku bersyukur karena dengan kehadiran kamu, aku jadi tahu makna kebahagiaan yang sesungguhnya."

"Tapi Ai—"

"Sssttt." Aily meraba tangan Canva, kemudian digenggamnya dengan erat. "Cukup dengan cara jangan pergi secara tiba-tiba.

Canva menatap sendu ke arah Aily. Ada rasa tidak tega ketika mengetahui kalau Aily ternyata sangat ingin melihat bintang. Namun, karena keterbatasan yang ada, gadis itu tidak bisa memenuhi keinginannya. Laki-laki menundukkan kepala dalam. Suasana sunyi yang diselimuti hawa dingin itu seolah mendukung arah pembicaraan mereka.

"Pergi tanpa pamit? Itu menarik, Aily."

~~~~

Sederhana. Kisah ini menceritakan tentang Aily yang tuna netra dan Canva yang tak pernah bahagia.

ECCEDENTESIAST



Spam komen untuk next

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Spam komen untuk next

Tenang, cerita ini nggak bakalan sedih banget kok. Paling cuma aku kasih bumbu-bumbu dikit. DIKIT.

Martabakkolor : 😁

ECCEDENTESIASTWhere stories live. Discover now