"Ibu." Suara gue jadi tercekat karena gue bertekad jadi anak kuat. Gue gak boleh nunjukin kelemahan gue yang masih susah banget menerima segalanya dalam waktu singkat. "Ibu, udah. Yang Ibu tangisin gak akan ada yang berubah. Fakta kalau aku punya saudara dengan cara kayak gini gak bisa Ibu hindari. Jadi, tolong berhenti nangis."

Kemudian ibu berusaha menegakkan kepala

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kemudian ibu berusaha menegakkan kepala. Surainya yang gak sepenuhnya hitam lagi itu kini mulai beliau kumpulkan lalu diikat menggunakan tali rambut yang sejak tadi dia pakai di lengan kiri. Telapak tangannya mengusap sisa air mata yang beberapa detik setelahnya, tetesan air dari netranya itu akan kembali jatuh layaknya hujan yang turun dari langit.

Gue lihat Chandra juga yang menjelma jadi orang bisu. Dia terlihat syok, nyaris jatuh di pangkuan ayah ketika sampai di terminal. Kami berdua menaiki mobil hingga sampai rumah dan di waktu itu pula lah Chandra gak pernah ajak gue bicara apalagi ngobrol. Dia cuman pantengin layar ponsel dan sempat gue intip ternyata lagi chat sama Bang Aksa. Gue gak tau Chandra lagi bahas apa, semoga dia gak cerita hal-hal buruk ke Bang Aksa sewaktu menginap di sini karena kalau iya, siap-siap aja gue bakalan ditandai duluan sama anak kontrakan.

Kalau boleh gue jujur... selama ini gue juga lagi mencoba menerima Chandra sebagai bagian dari diri gue.

Sikap gue memang terbuka banget menerima dia jadi saudara, tapi hati gue tetap masih aja berat dan gak mudah. Gue pikir mungkin dengan cara seperti ini, Chandra bisa merasakan kasih sayang yang gak pernah dia dapatkan dari siapapun selama hidupnya, tapi alhasil gue sekarang yang merasa kesusahan. Rasanya kayak mau gila aja karena selalu pura-pura.

Dengan diamnya ibu, gue beranggapan kalau dia jauh lebih tersiksa. Mendengar kenyataan kalau suaminya pernah bermain dengan wanita lain di luar sampai ada seorang anak lahir ke dunia tanpa sepengetahuannya, pasti membuat ibu merasa hancur. Terus gue gak bisa berbuat apa-apa selain bilang 'udah jangan nangis' berulang kali layaknya pengecut. Ayah ikut diam. Gue berharap diamnya itu dipenuhi dengan rasa menyesal yang sungguh-sungguh. Diam yang juga membuatnya merasa sangat bersalah sampai maaf pun susah untuk dia dapatkan.

Ibu tiba-tiba bersuara dibalik isakannya. Dia berdiri lalu membuka tutup nasi yang sedari tadi belum dibuka. "Chandra makan yang banyak ya, sini Ibu ambilin lauk sama nasinya."

Gue cukup terkejut karena kali ini ibu ambilin nasi untuk Chandra duluan lalu gue kemudian. Sebagai anak yang selama ini selalu menganggap dirinya jawara karena hanya ada gue laki-laki selain ayah di rumah, jadi gak bisa nahan lagi tangisan. Berulang kali gue menguatkan diri dengan menerima kalau sisa hidup gue akan gue habiskan dengan berbagi bersama Chandra walaupun gak di semua aspek.

Chandra juga masih menunduk dan tetesan air matanya masih saja mengalir melewati pipinya lalu jatuh di atas celananya hingga menimbulkan cekungan basah di sana. Kayaknya dia malah gak bergerak, entah canggung atau apa gue gak tau. Dia masih gak mau ngomong sama gue sepatah kata pun. Apakah pelukan ayah di terminal berefek sebegitu banyak sama dirinya?

ANDROMEDAWhere stories live. Discover now