Andai saja semudah itu, pikir Riris galau. Riris tidak mungkin berhenti bekerja begitu saja sebab sudah telanjur menandatangani kontrak kerja selama satu tahun, dan ia baru bekerja selama enam bulan.

Masih ada enam bulan lagi yang harus Riris lalui di rumah Oma Eliz. Lagipula, sebenarnya ia juga betah tinggal dan bekerja di sana. Bukan semata soal gaji yang besar, tetapi karena Oma Eliz yang sangat baik kepadanya. Itu yang membuat Riris berat hati jika harus berhenti bekerja.

Riris kembali menatap ibunya. Tak mungkin tega ia meninggalkan ibu sendiri di sini. Riris juga tak tenang, khawatir jika kakak iparnya kembali berulah. Jalan satu-satunya adalah membawa ibu ikut serta. Biarlah, di Jakarta nanti ia akan menyewa rumah atau kost-an untuk ia tinggali bersama ibu.

"Nggak ada pilihan, Buk. Riris nggak mungkin berhenti kerja sekarang. Udah telanjur ngontrak," ujar Riris lirih.

Bu Supiah terdiam, tak tahu harus bicara apa. Ia juga tidak ingin menyulitkan apalagi membebani putrinya tersebut dengan memaksa Riris berhenti bekerja demi menemaninya di sini.

"Wes, Nduk. Kamu ndak usah mikirin Ibuk. Insya Allah, Ibuk akan baik-baik saja di sini. Lagi pula, ada Yu Naroh dan Mas Tomo di sebelah. Mereka yang selama ini banyak nolongin Ibuk.

Ngomong-ngomong, kapan kamu balik kerja ke Jakarta, Nduk?"

Bu Supiah sengaja membuat suaranya terdengar ceria agar Riris berhenti mengkhawatirkannya.

"Riris ijin cuma tiga hari, Buk, sama Oma Eliz."

"Oh ... yo wis, ndak apa-apa. Penuhi tugas dan tanggung jawabmu di sana, Nduk. Moga Gusti Allah paringi lancar buat kita semua. Maaf, Ibuk ndak bisa nemenin kamu tinggal di Jakarta," ujar Bu Supiah lagi.

"Ibuk yakin, mau tinggal sendiri di sini? Nanti kalau Mbak Vita sama Mas Yadi bikin masalah lagi, gimana?" Riris bimbang.

"Insya Allah endak, Nduk. Kita serahkan saja pada Gusti Allah. Jangan memikirkan apa yang belum tentu terjadi, Ris. Itu hanya akan menghilangkan kebahagiaan kita hari ini," jawab Bu Supiah.

Bibir Riris memaksakan seulas senyum. Ia tak bisa memaksa ibunya ikut, tapi juga tak bisa memenuhi permintaan beliau agar tetap tinggal. Situasinya tak memungkinkan untuk saat ini.

Setelah selesai berbincang, keduanya kembali melanjutkan kegiatan sehari-hari di rumah. Riris berbelanja ke tukang sayur yang lewat, membeli beberapa ikat sayur bayam serta setengah kilo ayam, tahu, serta tempe.

"Adem banget lihat wajah Mbak Riris, ya. Piye kabarnya, Mbak? Betah ya, kerja di kota?" Kang Parman, yang merupakan pemilik gerobak sayur menyapa ramah pada Riris.

"Alhamdulillah kabar baik, Kang. Insya Allah betah kerja di sana," jawab Riris sambil menunggu Kang Parman memasukkan belanjaan ke dalam kantong dan menghitungnya.

"Tambah putih kamu, Ris. Di sana apa ndak pernah keluar?" timpal salah satu tetangga yang juga sedang berbelanja di lapak Kang Parman.

"Pernah, Yu. Belanja, buang sampah, dan lain-lain. Hehe ...." Riris menjawab pertanyaan tersebut diiringi tawa renyah.

"Tambah cantik. Pasti di kota uwes (sudah) nemu pacar, si Riris," celetuk seorang yang lain lagi. Disusul kata-kata godaan yang membuat wajah Riris sedikit merona.

"Saya duluan, ibu-ibu. Makasih, Kang Parman," pamit Riris setelah selesai membayar belanjaan. Gadis itu pulang sebab ingin segera memasak untuk dirinya dan ibunya.

Riris menatap haru melihat ibu yang makan begitu lahap. Seolah baru kali ini ibunya itu makan enak. Dalam hati Riris apa saja yang selama ini dilakukan kakak iparnya pada ibu. Tubuh ibu bahkan jauh lebih kurus dibanding saat ia tinggal ke Jakarta dulu.

"Nambah, Buk," ujar Riris. Diambilnya sepotong ayam goreng bagian paha, lalu ia letakkan di atas piring sang ibu.

Bu Supiah melanjutkan makan hingga kenyang. Riris kemudian mengemasi sisa makanan serta piring-piring kotor bekas makan mereka.

***

Malam gelap penuh bintang terlihat di langit Jogja. Dari teras depan rumahnya, Riris menatap ke atas sana. Ingin rasanya ia keluar sekadar jalan-jalan ke alun kidul atau melihat-lihat sepanjang Malioboro yang tak pernah sepi.

Tapi waktu yang hanya tinggal dua hari lagi sebelum kembali ke Jakarta, ingin Riris habiskan dengan menemani ibu sepuasnya. Ia kemudian masuk ke dalam rumah dan menutup pintunya. Riris melihat ibu tampak sedang asyik menonton siaran televisi dan menghampirinya.

Duduk di sebelah sang ibu, Riris mengambil kedua kaki ibu, diletakkan di atas pahanya lalu mulai memijit pelan. Bu Supiah tersenyum, hatinya disergap haru oleh perhatian dan kasih sayang yang ditunjukkan oleh anak gadisnya.

Sedih merajam hati, membayangkan kebersamaan mereka yang begitu singkat. Dielusnya lembut pucuk kepala Riris. Rambut hitam tebalnya terasa halus di tangannya yang kasar.

"Kamu anak baik, Nduk. Anak solehah. Ibuk doakan, semoga kelak kamu mendapatkan jodoh yang baik dan soleh. Mengajarimu kebaikan dan membawamu pada kebahagiaan," ucap Bu Supiah dari hatinya yang terdalam.

"Aamiin ...." Riris mengamini. Tahu bahwa doa seorang ibu adalah mustajab. Tak ada sekat yang menghalangi dan akan langsung terangkat ke langit.

***

"Kamu yakin mau gadai sertifikat rumah ibuk, Vit?" Yadi bertanya ketika ia dan istrinya sedang duduk di sebuah cafe, menunggu seseorang yang merupakan kenalan Vita. Entah kenalan dari mana, Yadi sama sekali tak mengetahui.

"Ya yakinlah. Memangnya mau pake apa kita menyambung hidup? Udah gaji kamu minim, mana aku harus segera bikin gigi palsu, Mas."

Suara Vita teredam di balik masker yang ia kenakan untuk menutupi giginya yang bolong dan belum sempat dipasangi gigi palsu.

Yadi pasrah. Tak berkutik jika Vita sudah mulai mengungkit-ungkit soal pendapatannya yang memang minim.

Tak lama, seseorang datang menghampiri meja keduanya. Seorang pria paro baya berperut buncit dengan kumis tebal dan hidung besar.

"Ini Mas Andi, surat sertifikat rumahnya." Vita langsung menyodorkan sertifikat rumah milik ibu mertua setelah Yadi dan laki-laki yang ia panggil dengan sebutan Mas Andi itu saling berkenalan.

Andi menerika sertifikat tersebut, menelitinya sebentar.

"Ini bukan milik kalian? Tertera di sini pemiliknya adalah Supiah," ujar Andi sambil menatap Vita dan Yadi bergantian.

"Supiah itu nama ibunya suami saya, Mas. Beliau sudah tua dan sakit-sakitan, butuh biaya untuk berobat. Makanya meminta tolong pada kami untuk menggadaikan sertifikat rumah ini, Mas," jelas Vita berbohong.

"Berapa yang kalian butuhkan?"

Pertanyaan Andi menyuburkan harapan di hati Vita. Lembaran uang rupiah sudah menari-nari dalam kepala perempuan mata duitan yang selalu menghalalkan segala cara tersebut.

"Dua puluh juta saja, Mas Andi," jawab Vita cepat.

"Terlalu tinggi. Lagipula, rumah di daerah ini nggak terlalu tinggi nilai jualnya. Kalau nanti sampai kalian tak bisa membayarnya, aku bisa rugi besar. Paling banyak aku bisa kasihs separonya saja. Sepuluh juta tok. Gimana?" jawab Andi.

Vita dan Yadi saling bertukar pandang sejenak. Melihat ekspresi suaminya yang planga plongo, membuat Vita muak dan akhirnya memutuskan sendiri.

"Iya, Mas Andi. Sepuluh juta yowis ben. Tapi, uangnya bisa cair sekarang, kan?" tanya Vita penuh harap.

KE MANA HABISNYA UANG YANG KUKIRIM UNTUK IBU?Where stories live. Discover now