Keberadaan Ares di sana sama sekali bukan urusannya. Lagipula, kenapa dia harus sibuk memikirkan pria itu? Itu rumah neneknya, jadi dia bebas mau tinggal berapa lama, atau bahkan selamanya sekalipun.

Kepala Riris menempel pada kaca jendela bus yang melaju kencang di atas aspal jalan raya. Kelibat rumah-rumah penduduk sudah mulai jarang terlihat. Riris menikmati pemandangan luar sembari memikirkan sang ibu.

Sesuai rencana sebelumnya, Riris memang sengaja tak memberi tahukan pada Vita dan Yadi mengenai kepulangannya kali ini. Di antara rasa rindu yang menggebu kepada sang ibu, hati Riris juga diselimuti perasaan tak nyaman yang sulit ia definisikan.

Riris merasa seperti ada sesuatu yang akan menyambutnya. Entah apa. Riris hanya berharap semoga bukan hal buruk yang menantinya di kampung.

Dalam hati Riris tak hentinya merapalkan doa. Berharap semoga keluarganya baik-baik, terutama sang ibu.

Bus sempat singgah di sebuah rumah makan agar para penumpang bisa mengisi perut, salat maupun hanya sekadar merokok melepaskan penat.

Karena belum terlalu lapar, maka Riris hanya membeli sebungkus roti isi cokelat dan minuman sebagai pelepas dahaga. Perjalanan masih lumayan jauh, masih sekitar lima jam lagi.

Setelah kurang lebih setengah jam beristirahat, kondektur bus pun memanggil para penumpang untuk kembali ke bus sebab perjalanan akan segera dilanjutkan.

Sepanjang kiri kanan jalan yang dilalui bus, hanya diapit oleh hutan. Terkadang pula pemandangan berganti laut di sepanjang pantai. Saat senja, Riris melihat kilau keemasan pada permukaan air laut yang terlihat tenang.

Bus terus melaju, sementara langit juga terus berarak. Matahari mulai terbenam di ufuk barat dan lampu-lampu jalanan pun mulai menyala. Sesekali Riris meminum airnya, sesekali pula ia berbincang dengan seorang wanita paro baya yang mendapat tempat duduk di sebelahnya.

"Sudah nikah, Nduk?" tanya wanita yang mengaku bernama Bu Wasti tersebut ramah.

"Ndereng (belum), Bu," jawab Riris tak kalah ramah dan santun.

"Berapa umurmu, Nduk?" Bu Wasti kembali bertanya.

"Dua puluh dua, Bu."

"Masih muda, Nduk. Tapi sudah cukup umur untuk berumah tangga."

Riris hanya tersenyum menanggapi ucapan Bu Wasti. Selanjutnya, sisa perjalanan mereka lanjutkan dengan mengobrol santai.

Dari obrolan tersebut, Riris mengetahui bahwa Bu Wasti memiliki seorang putra yang berprofesi sebagai seorang pegawai bank swasta di Jakarta.

Dan Bu Wasti baru saja mengunjungi putranya sekalian berziarah ke makam almarhum suami yang meninggal dan dimakamkan di sana.

"Ingin sekali rasanya Ibuk jodohin kamu sama Rasyid, Ris. Meskipun kita baru pertama kali bertemu, tetapi Ibuk bisa merasakan kalau kamu ini gadis yang baik, santun, dan kelak pasti manut sama suami jika sudah berumah tangga," ucap Bu Wasti sambil meneliti wajah Riris.

Diperlakukan begitu, membuat Riris hanya bisa tersenyum malu dengan wajah sedikit merona merah.

"Manalah mau anak Ibuk dengan gadis seperti saya, Buk. Cuma seorang gadis miskin yang kerja di Jakarta hanya sebagai pembantu rumah tangga." Bukan bermaksud merendah, tapi Riris merasa sikapnya ini merupakan wujud dari rasa sadar dirinya.

"Di mata Gusti Allah semua manusia itu sama, Nduk. Yang membedakan cuma akhlaknya saja. Semoga siapa pun jodohmu kelak, dia adalah lelaki baik yang bisa mengasihi, mengayomi, juga membahagiakan kamu, Nduk," ucap wanita paro baya itu setulus hati dan diamini oleh Riris dengan sungguh-sungguh.

KE MANA HABISNYA UANG YANG KUKIRIM UNTUK IBU?Where stories live. Discover now