Part 02

296 68 8
                                    

Pendeta itu, meskipun seorang pria, tetapi cantik dan memancarkan aura yang aneh.

"Sudah lama sekali tidak ada tamu. Di sini sepi. Jadi aku senang kalau ada tamu yang datang," pendeta Zhou berkata lagi. Membimbing sang tamu ke satu ruangan luas dengan meja dan kursi sederhana serta banyak patung dan lukisan kuno di sisi-sisi ruangan. Meja batu tempat menyimpan sesaji dan juga dupa. Aroma aneh memenuhi ruangan. Wen Kexing menyesal tidak menuangkan lebih banyak minyak wangi gardenia pada tubuhnya. Setidaknya, dia akan terlihat lebih segar dan aroma wanginya mungkin bisa menarik perhatian pendeta cantik Zhou.

"Silakan duduk," mengarahkan tangan lenturnya pada satu kursi kayu, Wen Kexing menurut pada si pendeta seperti kerbau dicucuk hidung.

"Anda datang dari jauh?"

"Ya, kota Jing," Wen Kexing menjawab gugup. Matanya berkelip tidak normal memandang keindahan di depannya.

"Sama seperti yang lain, Tuan Wen juga mencari puteri duyung?"

Wen Kexing mengangguk seperti orang bodoh, lantas berkata lagi kikuk.

"Tepat sekali."

Pendeta Zhou tersenyum, mengangguk-angguk sebentar lantas memberi isyarat pada Wen Kexing untuk mengikutinya. Sekali lagi, Wen Kexing dibimbing menuju satu ruangan lain yang sama luasnya namun lebih terang karena sinar matahari dibiarkan masuk melintasi daun jendela kecil di salah satu dinding.

"Puteri duyungnya ada di dalam," kali ini tak ada kursi. Hanya ada hamparan permadani usang dan satu meja rendah di tengahnya.

Di satu sisi ruangan terdapat satu peti kayu seukuran peti mati berukir dan usang. Dalam sekejap benda itu menarik perhatian Wen Kexing. Dia melirik takut-takut, darahnya berdesir seraya bertanya dalam hati.

Apakah di dalam situ ada puteri duyung?

"Aku akan menyiapkan teh," pendeta Zhou mundur kembali ke ambang pintu. Wen Kexing tersenyum kaku, mengangguk ringan. Menyeret kakinya perlahan menuju permadani, duduk bersila di atasnya menghadapi meja kayu.

Keheningan membuat waktu terasa lambat, aura seram dan suram memenuhi seisi kuil. Wen Kexing menatap langkah anggun pendeta Zhou dalam jubah putihnya yang menyentuh permukaan lantai. Tangannya memegang secangkir teh yang mengepulkan uap. Gerakannya seanggun sebelumnya kala meletakkan cangkir di atas meja.

"Diminum dulu. Anda terlihat lelah. Setelah itu aku akan memperlihatkan puteri duyungnya."

Menelan ludah, Wen Kexing menatap cairan teh dalam cangkir.

Ngomong-ngomong, itu tidak beracun kan?

Tapi kalaupun beracun, terserahlah. Pendeta Zhou yang menawan ini pasti akan merawatnya. Dengan pemikiran licik itu, Wen Kexing meraih cangkir dan meminum tehnya.

"Anda membutuhkan puteri duyung untuk bahan obat?" pendeta Zhou bertanya dengan alunan suaranya yang selembut seruling.

Jemari Wen Kexing gemetar saat kembali meletakkan cangkir. Dia mengangguk cepat.

"Lebih tepatnya sirip puteri duyung. Untuk penawar racun ayahku."

"Oh, memprihatinkan sekali."

"Itu kecerobohannya," sela Wen Kexing. Merasa malu, dia seketika menutup mulut dengan tangan. Hampir saja ia mengomeli lagi nasib sial ayahnya.

"Tapi kau sudah sampai kemari, ini satu keberuntungan. Semua akan baik-baik saja."

"Ya. Mungkin ada untungnya ayah keracunan, jadi aku bisa berkunjung ke kuil ini."

Pendeta Zhou bengong sesaat. Baru kali ini ada seorang putra merasa beruntung saat sang ayah keracunan.

Sial...

𝐄𝐭𝐞𝐫𝐧𝐚𝐥 𝐋𝐨𝐯𝐞 (𝐖𝐨𝐫𝐝 𝐨𝐟 𝐇𝐨𝐧𝐨𝐫) Where stories live. Discover now