07. My Sadness

68 63 57
                                    

Melegakan juga setelah pelajaran matematika berakhir, berganti dengan waktu istirahat. Seperti biasa, anak satu kelas berhambur keluar, ada pula beberapa dari mereka singgah di kelas untuk menyantap bekal dari rumah.

Merapikan buku-buku dan alat tulis yang berserakan di atas meja, lalu memasukkannya ke dalam loker. Menghela napas pelan dengan senyuman samar. Perlahan, kepalaku berputar ke samping. Memandang Na Jaemin dari radius satu meter lebih dari seberangan bangkunya. Kulihat, anak itu sedang mendengarkan irama lagu dari ponsel miliknya, dengan kedua telinganya yang tersumbat oleh earphone warna putih.

Aku ingin mengajak Na Jaemin mengobrol kecil denganku, tapi... aku malu.

"Eh, eh, eh, nanti malam kalian ada waktu nggak?!"

Aoki Junkyu bersuara dengan nadanya yang antusias, sempat mengalihkan kegiatan teman-teman sekelompotannya di kelas. Khususnya aku, Jaemin, Felix, dan Giselle yang asyik sendiri. Lantas kami menoleh ke arah anak itu dengan tatapan lesu.

"Datang ke rumah gue kuy. Nanti malam, orang tua gue mengundang kalian untuk makan malam. Hari ini adalah anniversary mereka." Air muka Junkyu tampak riang gembira, menatap secara bergilir teman-teman terdekatnya itu.

"Wah! Orang tua lo romantis sekali, Junkyu." Giselle tertakjub-takjub.

Dia tersenyum-senyum sendiri sambil berkacak pinggang dengan gaya angkuhnya. "Oh, jelas! Mereka berdua baru aja pulang dari luar kota karena bisnisnya. Jadi, gimana? Kalian mau datang, kan? Na Jaemin, nanti lo juga ikut, ya?" Tatapannya beralih ke arah Jaemin yang terdiam menatapinya.

Mendengarkan lantunan lagu dengan volume rendah. Jaemin masih bisa mendengar kalimat Junkyu barusan. Detiknya, kepala dia mulai mengangguk kecil. "Tentu. Pasti aku datang."

"Wokey bro! Yang lain?"

"Gue, sih, nggak bakal nolak kalo tentang makanan, hehe." Giselle menyengir. "Lix, gimana denganmu?" Ia menyikut keras lengan Felix hingga membuat anak itu mendelik dengan tatapan intimidasi, sempat membuat Giselle bergidik.

Sesaat, Felix mendengus pelan. "Ya, boleh aja. Bagaimana denganmu, Sakura?" tanyanya, menatap datar ke arahku.

Aku bergeming sejenak, menatap kaku teman-temanku satu persatu. "Maaf, aku nggak bisa." Aku menggeleng kecil dengan wajah muram. "Sepertinya, aku harus bekerja nanti malam. Titip salam saja, ya, untuk orang tuamu, Junkyu."

Mereka terdiam selama beberapa saat bersamaan saling pandang.

"Sudahku duga," gumam Felix akhirnya, menghela samar.

"Sakura, gue salut sama lo yang bekerja keras, tapi... bisa kan lo meluangkan waktu bersama kami sebentar? Bekerja paruh waktu mungkin menyenangkan, hingga mendapatkan upah sendiri dan bisa membeli sesuka hatimu," ujar Giselle panjang lebar, menatap lekat ke arahku yang hanya terdiam murung.

Terdiam cukup lama. Sejenak aku memikirkan ucapan Giselle.

Giselle hanya bisa memandang sebelah mata tentang siklus kehidupanku yang enak bisa cari uang sendiri. Tapi apa yang aku jalani ini tidaklah mudah. Membanting tulang untuk bersikukuh melunasi utang ayahku yang menumpuk. Hidup sebagai anak broken home dan mempunyai kisah yang kelam di sepanjang waktu.

Mereka tak akan pernah mengerti.

"Maaf, teman-teman. Mungkin lain kali aja, ya." Aku mulai bersuara, lantas mengusung senyuman samarㅡ menatap mereka dengan mata berdusta. Tersenyum dibalik kesedihan.

Gadis seusia dia bekerja paruh waktu? Lalu, Na Jaemin berkata heran dalam hatinya.


~~~

Diary Sakura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang