I

1.3K 172 10
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

♡♡♡

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

♡♡♡

Pagi yang cukup normal di kediaman Moriarty.

"Total sudah ada tujuh korban. Pelaku yang tidak diketahui identitas ini membuat warga takut," ujar William sambil membaca koran di tangannya.

Louis meletakkan secangkir teh di atas meja.
"Ini peristiwa yang mengerikan, nii-san," balas Louis.

"Benar. Pelaku sengaja memilih anak laki-laki untuk memuaskan keinginannya, lalu begitu sudah puas, mereka dibunuh." William membalas sambil menatap koran tadi dengan suram.

Suasana di ruangan tersebut ikut suram.

"Sulit dipercaya manusia bisa melakukan hal sekeji ini." Louis kembali membalas.

William terdiam, kemudian tersenyum ke arah adiknya, senyuman yang tak ada artinya. "Anggapan kalau hal ini tidak mungkin dilakukan manusia justru sangat manusiawi,"

Louis terdiam, keheranan dengan perkataan dari si jenius.

Hening sementara. Pintu ruangan itu terbuka pelan.

"Pagi, Tuan Moriarty," suasana langsung mencair karena kedatangan seorang gadis yang secara resmi sudah bertunangan dengan William kurang lebih selama dua bulan.

"Pagi, nona," sapa Louis tersenyum sopan.

(name) menutup pintu dan berjalan ke arah kakak beradik tersebut, melihat topik yang sedang ada dalam koran di tangan William.

"Berita ini, padahal masih baru tapi sudah banyak dibicarakan, ya," ucap (name).

(name) akhirnya ikut duduk di atas salah satu kursi.

Pembicaraan berlanjut cukup serius.

"Artinya..." Louis berkata ketika di penghujung pembicaraan.

"Mungkin kita harus ikut campur dalam kasus ini," kalimat dari William seolah mengakhiri pembicaraan mereka. "Kalau begitu, sepertinya kami akan pergi dulu," lanjutnya kemudian bangkit dari tempatnya duduk.

"Eh, tapi aku baru saja datang," sang gadis seolah tak terima bahwa sang kekasih akan pergi.

"Ya, tinggal saja di sini," jawab William santai.

"Di sini membosankan tanpa kalian." (name) menyela seraya berdiri seolah itu adalah bentuk protes darinya. "Atau izinkan aku ikut dengan kalian,"

Louis dengan segera meninggalkan ruangan tersebut untuk menghilangkan kecanggungan yang sepertinya akan terjadi.

William mendekati kekasihnya dengan tatapan lembutnya, meraih salah satu tangan sang gadis, lalu mengecupnya dengan lembut, begitu pula dengan kening gadis tersebut.

Ya, William selalu melakukan itu sebagai permintaan maaf atau ketika ia merasa bersalah pada (name).

"Ada beberapa kanvas kosong dan alat lukis di ruangan sebelah," ungkap William setelah itu meninggalkan (name) di ruangan itu.

(name) menghela napas, semburat merah muncul di pipinya sejak tadi. Ia melangkah menuju ruangan yang dikatakan tunangannya tadi.

Dan benar saja, ada beberapa kanvas kosong dan alat lukis.

Orang-orang mengenal sosok (name) sebagai satu dari banyaknya bangsawan lain yang terhormat, dan juga sebagai seorang seniman berbakat.

Menurut pendapat (name) sendiri, seni dan sastra adalah kehidupan. Tanpa kedua hal tersebut, maka dunia akan hampa dan membosankan.

"Baiklah, terserah dia. Aku akan menyelesaikan sesuatu sebelum William selesai memecahkan kasusnya," batin (name) seolah menantang sang kekasih secara tidak sadar.

***

Sayangnya William baru selesai dengan urusannya ketika bulan tengah menguasai langit malam, lebih sederhananya saat tengah malam.

Angin kencang terus bergelut dengan petir yang beberapa kali menggelegar, menyambar sana sini. Hujan deras ikut meramaikan pertengkaran diantara angin dan petir, seakan-akan ia adalah juri sekaligus penontonnya.

(name) yang berada di sudut ruangan, menyandarkan tubuhnya pada dinding di sebelahnya terlelap begitu saja sejak tadi. Kanvas yang tadinya kosong sudah diisi oleh satu lukisan dengan kisah yang bermacam-macam, tergantung pada sudut pandang orang yang melihatnya.

Beberapa alat lukis berserakan begitu saja di lantai. Sementara palet lukis yang dipenuhi cat kering masing ada dalam genggaman gadis tersebut. Seandainya seorang pengajar dari sekolah khusus wanita mengetahui hal ini, pasti (name) akan dimarahi habis-habisan.

William membuka pintu dengan pelan, takut mengganggu (name), walaupun ia sendiri belum tahu apa yang dilakukan kekasihnya.

Hal yang menarik perhatian lelaki itu pertama kali tentu saja sang gadis yang terlelap karena kelelahan menunggu kedatangan dirinya.

Walau (name) sendiri kini dalam kondisi yang berantakan, tetap saja paras ayu yang terpancar dari wajahnya, membuat kekasihnya terpesona dan merasa tenang.

William kembali merasa bersalah. Ia merapikan alat-alat lukis yang berserakan secara perlahan agar tidak mengganggu petualangan sang gadis dalam mimpinya. Palet yang diselimuti cat kering tersebut diambil William dengan amat hati-hati.

Hasil karya milik (name) diletakkan di tempat yang aman oleh William, sehingga kemungkinan lukisan itu rusak semakin kecil.

Setelah semuanya beres, William dengan cepat mengambil selimut dari ruangan lain. Ia langsung menyelimuti (name), mencegahnya mendapat kemungkinan bermimpi buruk (sebuah studi mengatakan bahwa kedinginan memperbesar kemungkinan bermimpi buruk).

Kemudian lelaki berambut pirang itu duduk di samping (name). Jika kalian bertanya apakah ia juga menggunakan selimut, jawabannya adalah tidak. William memberikan seluruh kehangatan tersebut hanya pada gadisnya, tak peduli bagaimana dirinya sendiri yang mungkin akan menghadapi mimpi buruk.

William mengecup kening gadis tersebut pelan, lalu tersenyum hangat.

"Selamat malam," gumamnya.

___
.
.
.














1 chapter cuma 700 an kata, tp bikinnya seharian gegara salting🤧

The art of Crime [William James Moriarty x Reader]Where stories live. Discover now