06. Lack of Sleep

80 74 76
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





Waktu menunjukkan pukul 11.30 menjelang tengah malam. Sepulang dari kafe rumahku tampak berantakan tak karuan ketika tiba. Banyak kulit kacang berhamburan, dan botol-botol minuman keras pecah berceceran di lantai. Sudah terbiasa mendapatkan hal seperti ini, tidak salah lagi ini pasti ulah ayah.

Berjalan ke ruang tengah, tampak gelapㅡ hanya pendaran cahaya lampu orange yang mendominasi separuh sudut. Kulihat ayah sedang duduk di lantai pojok dinding dengan sebotol bir di tangannya. Ia mabuk berat dengan matanya yang terpejam, badannya meringkuk di sisi dinding dan menggumamkan kata-kata yang enggak jelas.

Sebenarnya, aku sudah sangat terbiasa melihat pemandangan seperti ini setiap malam, hampir belasan tahun ketika aku masih kecil. Rasanya memilukan, tinggal seatap dengan orang pemabuk seperti ayahku sendiri.

Aku tidak akan menggubrisnya. Memilih menaiki anak tangga menuju ke kamar. Aku melempar tasku ke ranjang dengan rasa gelisah, lalu melambungkan diri ke ranjangㅡ rebahan. Menatap murung langit-langit kamarku yang tampak gelap, sebab lampu belumku nyalakan. Selang beberapa menit merenung, aku beranjak membersihkan diri di tengah malam.

Setelah selesai, aku mendudukkan diri di kursi kayu, tempat meja belajar. Membuka loker laci, ada beberapa tablet di dalamnya. Itu obat anti depresan, namanya Fluoxetine. Sudah lama aku mengonsumsi obat-obatan ini, di setiap aku mengalami stress dan depresi dalam masalah keluarga. Maka dari itu, aku butuh penanganan dari dokter psikolog. Mengambil tablet itu dan membukanya, dengan cepat aku menelan satu pil itu dan langsung menegak air putih yang terletak di atas mejaㅡtak jauh dariku.

Setelahnya, aku menguap lebar-lebarㅡrasanya sungguh mengantuk. Tapi aku ingat jika ada tugas matematika yang telah diberikan guru. Membongkar isi tas dan mengambil buku tugas. Membuka lembaran demi lembaran, otakku berputar pening melihat banyak angka yang belum pernah kumengerti. Aku paling lemah di bidang matematika. Sejenak, sorot mataku tertuju pada tumpukan buku di tepi meja. Sebuah buku diary bersampul putih dengan motif bunga sakura.

Mengambil buku catatan harian, aku mulai membukanya dengan rasa suntuk. Di situlah, aku menulis kata demi kata, menuangkan isi hatiku melalui tulisan dengan bolpoin hitam.



Tuhan, sampai kapan aku bisa hidup dengan tenang?

Sejak aku kecil sampai sekarang, ayah dan mama sering bertengkar. Hidup sebagai anak broken home adalah sebuah kesedihan bagiku.

Ayah, semoga kau segera mengakhiri duniamu di tempat hiburan yang menjera alkohol, dan berhenti bermain wanita lain setiap saat. Aku ingin ayah hidup sehat. Dan tak terlalu sering menghamburkan uangnya untuk dijadikan judi dan neko-neko.

Ayah, aku berharap kamu bisa mengerti perasaan mama. Jangan pernah memarahi mama dengan nada kerasmu itu, begitu juga sebaliknya denganmu, ma...

Mama, tolong berikan sebuah kasih sayang untuk ayah. Janganlah kau memukul ayah dan membentaknya.

Mama, ayah. Aku butuh perhatian dan kasih sayang dari kalian. :(

Diary Sakura Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang