ii /‎❀/ inches in between

1.5K 351 11
                                    

Di mata semua orang, Ten Lee adalah berandal tajir super galak yang tidak segan-segan akan mencongkel mata siapa pun yang berani memandang adik perempuannya lebih dari dua detik.

Ketenaran Ten sendiri memang sudah tak terbendung lagi. Berasal dari latar belakang keluarga miliuner dengan kekuasaan yang mengerikan? Check. Memiliki wajah bak pahatan dewa-dewi Yunani? Check. Being unapologetically jerk and is a dick to literally everyone? Check.

Kandidat sempurna untuk keluar-masuk lambe turah lokal setiap hari.

Namun, berita bahwa si artefak-berjalan-tanpa-hati itu ternyata memiliki seorang adik perempuan manis? Dan tanpa disangka-sangka dapat sangat overprotektif terhadapnya?

Satu kampus gempar.

Pada kenyataannya, Ten itu bukan kakak kandung Lisa. Lisa tidak pernah berbagi darah yang sama dengan Mama dan Papa Lee. Dia diadopsi ketika masih kecil. Lisa tidak pernah bertanya tentang asal-usulnya. Dia tidak peduli. Keluarga Lee lebih berperan dalam menganggap dirinya bagian dari 'keluarga' daripada orang tua kandungnya.

Dan itu sudah lebih dari cukup.

"Lo kenapa gak dateng kemarin?" Bambam duduk satu kursi di depannya. Salah satu hal menyebalkan dari memiliki kakak seperti Ten Lee adalah tidak akan ada yang berani duduk di dekat Lisa sekurang-kurangnya setengah meter dari posisinya sekarang.

"Males."

"Yang jujur?"

"Gue agak pusing."

Bambam menghela napas. Dia menengok ke kanan dan kiri secara perlahan, kemudian berbisik pelan. "Ada spy abang lo gak di sini?"

Lisa menahan senyum. "Ada. Favorit gue."

"Fuck. Kak Yuta di sini?" Bambam langsung kembali ke posisi siaga, berdiri dengan spontan hingga beberapa mata di kantin menoleh ke arahnya bingung. Butuh beberapa detik sebelum Bambam memutar badan dan hendak menjitak Lisa. "Ke sini lo bocah."

"Careful. Masih sayang tangan, 'kan?"

"Sial. Abuse of power."

"Punya abang galak kayak Kak Ten harus gue manfaatkan."

Bambam tertawa, meski begitu dia tetap menangkap ekspresi sekilas Lisa yang lebih pucat dan lelah dari biasanya. Seketika tawanya menghilang. "Sakit? Parah? Jawab yang jujur. Hari ini gue harus kumpulin weekly report ke kakak lo."

Meski terdengar sok tidak peduli begitu, Lisa tahu Bambam adalah orang pertama yang akan melakukan segala hal demi memastikannya selalu aman. Dengan atau tanpa kehadiran sosok Ten Lee.

"Tekanan darah gue turun drastis kemarin."

Bambam menegakkan tubuh. "Lo nggak istirahat cukup?"

"Lo lupa minggu kemarin kita ada UTS?"

Jantung Lisa memiliki kelainan sejak kecil. Meski terlihat energetic, tubuh Lisa sebenarnya sangat lemah. Dokter bahkan pernah memprediksi Lisa tidak akan hidup sampai dangan masa remajanya. Namun, di sinilah ia sekarang.

Bambam terdiam. Dia tahu semua ucapan 'Semuanya akan baik-baik saja' hanyalah omong kosong belaka. Mereka tidak baik-baik saja. Lisa tidak baik-baik saja. Kondisinya semakin menurun sejak setahun terakhir. Lisa dijadwalkan operasi transplantasi dua tahun yang lalu. Namun mengingat golongan darah Lisa yang amat langka dan tubuhnya yang kian melemah, hal itu pantang dilakukan sampai saat ini.

Sebagai gantinya, Lisa mengonsumsi banyak obat dan melakukan terapi. Dia masih dapat menghirup udara sampai sekarang, dan itu adalah salah satu hal yang patut disyukuri.

"Lo tahu 'kan harus ngehubungin siapa kalau lo tiba-tiba butuh ke Dr. Kyungho?"

"Emergency contact."

"Lo hafal nomornya 'kan?"

"Kak Ten, lo, Rosie. Iya gue hafal."

"Nomernya, bocah. Bukan nama kita."

Kadang, Lisa mengakui. Lagipula salah mereka sendiri karena hobi bergonta-ganti nomor. "Rosie, agak."

"Lo inget dia lagi di Aussie sekarang, 'kan?"

Lisa menghela napas. Kadang-kadang ia lupa betapa Bambam bisa sama merepotkannya seperti Ten Lee. "Kemarin gue udah dikasih nomor Kak Ten yang baru dari temennya. Aman."

"Sini gue cek."

"Apa, sih. Kok lu gak percaya gitu sama gue?"

Bambam menatapnya gemas. "Lo inget terakhir kali lo pingsan dan gak ngabarin siapa-siapa?"

Lisa bungkam.

"Lo mau tahu siapa yang pertama bakal digorok sama Ten Lee kalau itu kejadian lagi?"

Lisa kini menahan tawa.

Bambam ikut tersenyum. "Kalo lo sayang sama gue dan gak mau gue mati muda, jaga diri lo baik-baik. Oke?"

Kini bibir Lisa mengulas garis tipis. Dari sekian banyak hal yang selama ini selalu ia utarakan pada Bambam, ada sedikit rahasia yang tetap disimpannya sendiri. Yang harus dipikulnya sendiri. Satu kalimat terakhir dari pertemuannya dengan Dr. Kyungho pekan lalu.

Saya takut kita sudah kehabisan waktu.

Lisa tidak dapat mengatakannya pada siapa pun. Tidak esok atau lusa atau selamanya. Yang harus dia lakukan sekarang hanya menjadi Lisa yang baik-baik saja dan terus hidup sampai waktu mengatakan yang sebaliknya. Jadi Lisa hanya tersenyum balik, dan lanjut memakan makan siangnya bersama Bambam.

"Emergency contact. Oke."

•••

Lisa jatuh pingsan.

Entah untuk berapa lama.

Insting pertama yang membuatnya melonjak bangkit adalah menghubungi Ten. Aroma mint dan antiseptik memenuhi indra pernapasannya. Apa Ten yang membawanya ke rumah sakit? Tidak. Tidak mungkin akan sesunyi ini. Bambam? Dia membawanya ke sini? Atau dia harus telepon Rosie?

Tunggu.

Nomor siapa yang sebenarnya dia hubungi?

Seseorang menggeser tirai. Lisa mendongak. Sosok itu tinggi. Wajahnya tenang. Tidak ada tanda-tanda panik atau ketakutan seperti yang biasanya ia temui pada orang-orang.

Jadi, Lisa mengansumsikan, pemuda itu tidak mengenalnya.

"Lalisa Lee." Lisa mengulurkan tangan. Mendesis waktu dia sadar yang diulurkan adalah tangan berselang infus.

"Gue tau," jawab laki-laki itu. Dia mengambil duduk di kursi dekat ranjang. Lisa menunggu dia melanjutkan perkataannya. Tapi rupanya, tidak ada yang keluar sama sekali.

"Ha?"

Laki-laki itu mendongak, alisnya mengangkat satu.

"Lo kenal gue? Lo temen Bambam? Kak Ten?" Lisa jadi panik. "Bentar, bentar. Kalau gitu lo udah hubungin mereka 'kan? Lo yang nganter gue ke sini? Kok bisa?"

Jeon Wonwoo hanya menatap gadis di hadapannya lama. Sampai kehebohannya perlahan surut sendiri. Wonwoo mengeluarkan ponsel dan menunjukkan history call-nya pada Lisa.

"Emergency contact. Lo yang telepon gue."

•••

btw penyakit lisa itu aku buat-buat sendiri ok ini di titik males bgt buat segala hal jadi realistis dan reasonable WKKWKW 👍

bet you wannaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang