Bab 72 ~ Peninggalan Kesatria

Începe de la început
                                    

Yara senang melihatnya. "Kuharap yang ini."

Tanpa menunggu tanggapan Piri ia mengulurkan tangan dan menyentuh benda itu. Hasilnya sama. Sekali lagi ia menjerit, dan kali ini ia mulai kesal.

"Padahal aku suka gelangnya!"

"Mungkin itu buatku." Piri nyengir, mencoba bercanda.

Lalu ia mencoba. Dan gagal. Sakit sekali lagi.

Ia kembali meringis. "Ternyata tidak."

Selanjutnya adalah sebuah gelang lain yang bentuknya besar, kasar dan berpilin, seperti ular yang sedang melingkar. Warnanya kusam, dan walaupun tetap ada hiasan batu hijau di puncaknya, bagi Yara, benda itu sama sekali tidak indah.

"Aku tidak suka," katanya. "Mudah-mudahan bukan untukku."

"Tetap saja kamu harus mencoba," tukas Piri. Tahu kalau Yara tak akan mau menyentuh lebih dulu, Piri segera menyentuhnya.

Masih sengatan yang sama, masih sakit yang sama.

Kemudian Yara mencoba. Gagal pula.

Tapi walau meringis kesakitan, anak perempuan itu menghela napas lega. "Baguslah."

Piri mulai ragu. "Sudah empat benda. Tak satu pun yang berhasil. Apa kamu masih yakin, para kesatria itu memang meninggalkan ini untuk kita?"

"Ya." Tetapi jawaban Yara kini tidak setegas sebelumnya.

"Mungkin ada yang harus kita lakukan dulu, sebelum kita bisa mengambil benda ini."

"Seperti apa?"

"Mungkin kita harus meneruskan perjalanan, dan mengambil sesuatu. Baru kita balik lagi untuk mengambil benda-benda ini."

"Bagaimana jika di dalam sana kita langsung bertemu makhluk mengerikan itu?" balas Yara. "Dan benda ini satu-satunya yang bisa menolong kita? Kalau kita tidak memegang satu pun, mungkin dia tidak akan mau menurut, dan langsung menyerang kita!"

"Jadi bagaimana? Mau mencoba lagi?" tanya Piri.

"Ya!"

Piri memandang dengan malas pada benda kelima, yang terletak pada ceruk pertama di dinding sebelah kanan. Di sana ada sebuah topeng terbuat dari logam berwarna perak. Ukurannya tidak besar, mungkin seukuran wajah Rufio, dan bentuknya pun seperti wajah manusia biasa. Di dahinya tertempel batu hijau. Kedua matanya bolong, di bawah puncak hidungnya ada rongga, dan di bagian mulutnya ada celah tipis. Seutas tali menyambung di belakang, untuk mengikatkan topeng itu di kepala pemakainya.

Bagi Piri, walaupun bentuknya wajar, topeng itu terasa aneh. Apakah topeng itu sekadar pelindung wajah? Atau sang ksatria memakainya karena tidak ingin wajahnya dikenali orang lain?

Yara tampaknya memiliki pemikiran yang sama. Ia memandangi topeng itu beberapa lama. Tak jelas apakah ia suka atau tidak, tetapi sepertinya ia tak berminat untuk menyentuhnya terlebih dulu.

Maka Piri mengulurkan tangannya, dan menyentuh topeng itu. Ia sudah bersiap untuk merasakan sakit sekali lagi.

Kali ini ia salah.

Yang menjalari jemarinya adalah rasa hangat yang menyenangkan. Sebuah perasaan aneh merasuk, memberinya ketenangan.

Tanpa sadar Piri memejamkan mata. Dalam gelap ia melihat sesosok orang di depannya. Tidak, tidak hanya satu, ada beberapa. Wajah mereka gelap, tidak jelas terlihat, tapi Piri merasa sangat dekat sekaligus ingin mengenal mereka lebih jauh.

Ia belum menyadari, tapi yang ia rasakan itu adalah kerinduan.

Yara memanggil lirih. "Piri ..."

Piri membuka mata. Matanya basah, air mata mengalir di pipinya.

"Yara ... kurasa ... aku baru saja melihat orangtuaku ...."

"Orangtuamu ...?" Yara terpana.

"Ya. Orangtua-orangtuaku! Ada banyak yang kulihat. Tapi gelap, mereka tidak terlihat jelas!"

"Berarti ... kamu sudah menemukannya! Benda untukmu!"

Piri mengangguk. Ia mengambil topeng besi itu hati-hati, lalu memegangnya dengan rasa sayang tak terkira.

"Ini peninggalan orangtuaku. Benda paling berharga yang pernah kudapatkan selama hidupku!" Piri mengangkat wajahnya dan tersenyum. "Berarti kamu benar, Yara! Benda-benda ini memang untuk kita. Masih ada lima benda lagi, dan salah satunya adalah milikmu!"

Yara ikut mengangguk, dan melihat deretan ceruk di dinding sebelah kiri. Ia melihat kelima benda yang berjejer satu per satu. Tatapannya terpaku pada ceruk pertama yang tadi pertama kali mereka lihat.

"Kalung berbatu hijau itu. Aku ... Mudah-mudahan ..."

Yara tak melanjutkan ucapannya, tetapi Piri paham, anak perempuan itu sangat menyukai kalung tersebut, dan berharap itulah peninggalan untuknya.

Di depan ceruk Yara menarik napas panjang lalu mengangkat tangannya. Ia menyentuh kalung itu.

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum