Part 2

7 0 0
                                    

Sore itu terasa begitu indah bagi mereka bertiga. Kebersamaan yang sudah lama hilang dapat mereka rasakan kembali walaupun kini tanpa kehadiran Palupi. Ya … Palupi, mantan istri Arifin dan ibu Putri dan Putri.

Langit senja pun mendukung kebahagian mereka. Terlihat semburat merah makin condong ke Barat yang menandakan pergantian hari.

Meskipun bersempit-sempit di boncengan ayah mereka tapi Putri dan Putra tidak merasakannya. Hati bahagia membuat semua terasa indah. Terdengar lirih Putri bersenandung.

Kemesraan ini
Janganlah cepat berlalu
Kemesraan ini
Ingin kukenang selalu
Hatiku damai
Jiwaku tentram di sampingmu
Hatiku damai
Jiwaku tentram bersamamu

Putra pun melantunkan lagu yang dinyanyikan oleh mbaknya, perasaan syahdu menyergap relung hati mereka berdua.

Arifin yang mengendarai motor merasakan betapa anak-anaknya sangat kangen suasana dulu, kala mereka bersama. Lagu yang dinyanyikan mereka menyeret kembali kenangan indah itu.

Ditariknya nafas dalam agar tidak keluar air yang sudah menggantung di ujung matanya. Tidak mau ketahuan anaknya, Arifin langsung menghapus kasar sudut matanya.

Tak terasa sampailah mereka di komplek sekolah putri. Setelah pamit pada satpam Arifin langsung melajukan motornya menuju gedung asramanya Putri, sang buah hati.

Motor berhenti tepat di depan pintu masuk astama. Putra turun terlebih dahulu agar memudahkan Putri untuk turun. Arifin juga ikut turun dari motornya. Putri pamit pada ayahnya sambil mencium tangan sang ayah. Langsung badan Putri direngkuh sang ayah dengan erat. Hatinya dikuatkan agar tidak ada air mata yang luruh ketika melepasnya gadisnya kembali ke asrama.

“Belajar yang rajin ya, sholehah Ayah. Jangan lupa salat malam, Insya Allah akan jadi penguatmu dalam menjalani semua ini.”

Putri terisak, dia tidak dapat berkata-kata. Baru sejenak rasa bahagia itu. Kini dia harus berpisah lagi dengan ayah dan adik yang sangat disayanginya.

“Jangan menangis sayang, Putri anak Ayah, gadis yang kuat.” Ucap Arifin sambil mencium kening anaknya.

Putra terlihat mengusap sudut matanya yang sudah ikutan basah. Dia menyalami mbaknya dan ikutan memeluk ayah dan mbaknya dengan sangat erat seolah tidak ingin berpisah.

“Waktunya Ayah mengantar Putra pulang sekarang. Takut nanti bunda khawatir,” lerai Arifin melihat suasana yang makin sedih.

Putri mengusap matanya dengan ujung lengan bajunya dan kembali menyalami ayahnya. Arifin menyelipkan uang merah ke tangan putrinya. Lalu menaiki motor diikuti Putra.

“Assalamu’alaikum.” Pamit Arifin sambil menjalankan motornya.

Putri hanya terpaku melihat motor yang dikendarai ayah dan adiknya berlalu. Motor itu sudah menghilang dari pandangannya baru dia berjalan memasuki gedung asramanya. Segala rasa berkecamuk dihatinya.

Kali ini perjalanan Arifin dan Putra terasa lama karena dilalui dalam diam. Tidak ada yang mau bicara, keduanya masih terbawa suasana tadi, saat mengantar Putri ke asramanya.

Agak jauh memang jarak antara sekolah Putri dengan kontrakan Palupi. Akhirnya mereka sampai. Dengan cepat Putra turun dan langsung mencium tangan sang ayah. Kali ini Arifin pun memberi Putra uang merah pada anaknya ini. Dia tidak mau pilih kasih, satu dikasih uang semua juga dikasih.

“Terima kasih Ayah untuk kebersamaannya,” ucap Putra saat pamit.

Langsung saja Arifin yang masih di atas motor turun dan memeluk anaknya. Tanpa kata-kata diciumnya kepala anak ragilnya itu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 17, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Move OnWhere stories live. Discover now