"Kamu mau sedekah lewat ff lagi nggak?"

Bumi mengangguk cepat.

"Kalau gitu, kamu buatin ayah kopi, nanti ayah top up akun ff Bumi! Tadi Bunda buru-buru pergi ke pasar, katanya takut nggak kebagian getuknya Mbah Sireng, jadi deh Ayah belum dibuatin kopi."

"Emang mau top up berapa dulu? Ada harga, ada pelayanan..."

"Hilih bahasamu itu Dek..." Ayah tertawa, "Berapa pun yang Bumi mau, asal jangan lebih dari harga burung Ayah!"

"Lah, harga burung merpati ayah juga nggak sampe lima ratus ribu!"

"Mau nggak nih? Kalau nggak, Ayah bikin sendiri aja!"

"Eh iya! Iya! Nggak asik! Main ancam aja!" dengan segera Bumi pergi ke dapur untuk membuatkan kopi Ayah.

Lima menit berlalu, Ayah masih memaklumi, mungkin Bumi sedang mengaduk kopinya. Bertambah 5 menit lagi, Ayah masih bersabar, mungkin Bumi masih dalam perjalanan dari dapur menuju teras rumah. Maklum saja, bukannya sombong, Ayah dan Bunda adalah pekerja keras, sehingga mereka berhasil membangun rumah yang luas nan megah. Tapi ini, sudah lima belas menit dan Bumi belum juga datang mengantarkan kopi. Mulai curiga, Ayah pun bangkit dari tempat duduknya. Ketimbang berteriak memanggil nama sang anak, Ayah memang lebih suka mencari serta menghampirinya.

"Lah ini kopinya? Tapi kok belum ada airnya? Bum- astaghfirullah!" teriak Ayah, panik bukan main ketika melihat panci rebusan air yang sudah hampir gosong. Ayah lantas buru-buru mematikan kompor.

Dicarinya Bumi sampai ke kamar, sedikit heran dan bingung ketika melihat Bumi yang justru sedang menyetel gitarnya. "Adek?" tegur Ayah dengan pelan.

"Eh Ayah, kenapa? Butuh bantuan Bumi?" Bumi bertanya seolah tak terjadi apa-apa.

"Bumi ada kelupaan sesuatu?"

"Hah? Apaan Yah?"

"Kopi yang Ayah pesan?" sungguh, Ayah sangat berhati-hati dalam mengatakannya, takut sekali menyinggung perasaan Bumi.

"Oh iyaaa, Bumi lupa Yah! Tadi tuh, waktu Bumi masih bikin kopi, Azam nelpon, tanya gitarnya udah selesai disetel atau belum. Terus Bumi ke kamar, jadi deh lupa. Bumi minta maaf ya Yah, lagi-lagi Bumi pikun..."

Dari sorot matanya, Ayah menemukan bahwa anaknya itu merasa kecewa pada dirinya sendiri.

"Nggak apa-apa, Ayah juga pernah kok, waktu disuruh manasin semur jengkol, hampir bikin dapur Bunda kebakaran malah!" jawab Ayah, berusaha menghibur Bumi. Tapi tawanya terasa hambar ketika tak mendapat balasan dari Bumi.

"Ayah, Bumi serius tanya, Bumi bisa sembuh?"

Ayah berjalan memupus jarak, ditariknya Bumi dalam pelukan, "Anak Ayah akan sembuh, anak Ayah akan baik-baik aja."

"Tapi Bumi takut," suaranya bahkan sudah bergetar, berusaha kuat menahan tangisnya. Ayah paham betul bagaimana Bumi, anaknya itu selalu saja menyembunyikan rasa sakit dan sedihnya. Bahkan terbiasa mengatakan sehat meski sudah jelas tubuhnya demam.

"Buang rasa takut itu, ingat kita punya senjata yang hebat, doa, kita minta ke Allah supaya Bumi baik-baik terus..."

***

"Ayah! Ini kenapa panci Bun-" teriakan Bunda tertahan, mulutnya dibekap Ayah dari belakang.

"Nanti Ayah beliin lima panci baru buat Bunda. Bonus daster dua."

Bunda menoleh ke belakang, matanya memancarkan binar bahagia.

Belum sempat Bunda bertanya kembali, Ayah sudah lebih dulu menjelaskan dengan suara pelan, takut Bumi mendengar lalu bersedi, "Tadi ceritanya Ayah minta dibuatkan kopi sama Bumi, tapi karena ditelpon sama Azam, jadilah Bumi lupa kalau dia masih ngerebus air."

Bahu Bunda meluruh, ada gurat sedih yang jelas terlihat dari wajahnya, "Terus sekarang anak Bunda di mana?"

"Masih sholat duha, Ayah suruh sholat duluan, tanpa nunggu Banyu, karena tadi Bumi juga sempat down. Dia bilang ke Ayah, takut nggak bisa sembuh." 

"Ayah bantu Bunda untuk bujuk Bumi ya? Supaya dia mau melakukan pemeriksaan."

Ayah tersenyum dan mengangguk, "Sebelum itu, kita harus hibur Bumi dulu, Ayah nggak bisa lihat anak Ayah merasa putus asa begitu."

***

"Beli! Beli! Satenya Neng?"

"Iya Bang mau satenya, lima libu aja ya, pake sambal kecap, tapi kecapnya yang cap elang, jangan cap bangau"

"Yang cap elang itu minyak kayu putih, pinter! Lu masuk angin apa laper!"

"Oiya yaa!" Alena tertawa keras.

"Satenya yang ayam atau sate apa Neng?"

"Mau sate yang hati ya Bang,"

"Hati yang tersakiti atau hati yang tulus mencintai?"

"Hati yang telah mati ada?"

Bumi membulatkan mata, sedetik kemudian tawanya pecah, heran mengapa adiknya nyambung saja dengan jokes yang dibuatnya. Sepertinya Bumi harus benar-benar menyelidiki, dengan siapa saja Alena bergaul di luar rumah?

Bukan pemandangan langka jika Bumi bermain bersama adiknya seperti ini. Ntah itu bermain jual-jualan, masak-masakan, boneka, atau bahkan salon-salonan di mana Alena benar-benar akan memakaikan lipstik dan bedak milik Bunda di wajah Bumi. Bumi terbiasa pasrah dengan aksi adiknya, bahkan Bumi pernah terpaksa harus menggunduli kepalanya karena Alena yang memotong asal rambutnya, ketika itu Bumi tidak tau karena tertidur saat sedang menjadi customer salon Alena.

Banyu? Kakak tertua Alena itulah yang paling waras, tidak bobrok seperti Bumi. Jika Bumi terbiasa mengisi keceriaan Alena, maka Banyu yang bertugas mengisi kecerdasan adiknya itu. Banyu mengajari Alena memegang pensil, menghafalkan huruf, berhitung, Banyu juga yang sering memberikan dongeng pengantar tidur jika Bunda sedang ada urusan bisnis.

"Alena! Dek, mandi dulu! Udah ashar loh ini, kamu kan harus berangkat ngaji!" 'kan baru juga dibilang? Banyu sudah muncul saja dari dalam rumah.

"Sebental Bang! Nunggu Juan sampelin aku!"

Banyu menggelengkan kepala, berjalan mendekat lalu digendongnya si Alena, "Katanya Om Budi, Juan izin, dari pagi nangis minta kita Mixue."

"Astaghfilullah Juan, bisa-bisanya? Bolos ngaji gala-gala es klim? Gimana mau jadi imam yang baik?"

Bumi yang ikut berjalan di sampingnya sampai melotot, "Kenapa bahasa adik gue udah kayak abg sih?"

"Keknya nanti Alena TK nya langsung masukin ke pondok aja deh Bum, biar dididik dengan baik." Banyu tertawa ketika mengatakannya.

"Tapi bahaya juga kalau Alena masuk pondok, bisa-bisa gue lupa sama wajah adik gue sendiri."

"Lo ngomong apa sih?"

"Lo pasti liat gimana kondisi gue dari hari ke hari Bang, gue nggak yakin kalau gue baik-baik aja."

***

Bumi Lampung

Assalamualaikum🤗
Aku balik lagi nih,
Ayok dong absen, kalian dari mana dan umur berapa?
Aku penasaran hihihi

Jangan lupa bahagia🌻
Untuk vote dan komen, seharusnya udh gknperlu aku ingetin lagi kan?😂











RemoveWhere stories live. Discover now