(8)

82 24 6
                                    

Meri mengerjap. Ia berusaha menetralkan pandangannya. Namun, bukannya semakin jelas, penglihatannya dihalang oleh kegelapan yang mengelilingi gadis itu. Hanya ada hitam yang seperti menelannya.

Gadis itu mencoba bergerak. Akan tetapi, setiap kali berusaha meronta, tali yang mengikat di sekujur tubuhnya seakan-akan semakin kencang. Dadanya sesak. Entah karena dililit oleh tali itu atau memang suasana di ruangan gelap tempat dia disekap itu pengap.

"To ... long!" teriaknya. Namun, ia terdengar seperti orang yang meragu. Takut-takut kalau saja sesuatu yang lebih buruk menimpanya.

Kini, Meri hanya berdiam di sana. Terduduk di kursi dan diikat dengan tali tambang berukuran dua jari. Ia hanya menunduk. Hingga akhirnya kepala gadis itu mendongak.

"Tolong!" teriaknya lantang. "Tolong saya!"

Gadis itu meronta lagi, mencoba melonggarkan tali yang mengurung. Hingga ia kehilangan keseimbangan dan jatuh.

Sakit.

Takut.

Marah.

Sedih.

Menyesal.

Dadanya semakin sesak menahan sesuatu yang bergelut dan bercampur di sana. Sekarang Meri hanya pasrah. Mau bergerak pun tak bisa jika posisinya begini, badan terbaring menyamping sambil terlilit tambang dan menyatu dengan kursi. Gadis itu mulai terisak. Air mata membasahi lantai kasar nan kotor.

***

Ana telentang menatap langit-langit kamar. Gadis itu berganti posisi menghadap kiri, ke jendela kamar. Kemudian ia berbalik lagi menghadap kanan dan menatap pintu kamar. Matanya menutup. Tak lama, Ana kembali membuka mata, lalu mengubah posisi menjadi telentang lagi.

Gadis itu berdecak sebal. Ada sesuatu yang mengganjal dan membuatnya tidak tenang seperti sekarang. Ia menutup mata dan menghela napas. Perlahan, tubuhnya ia tegakkan. Ana duduk sambil menatap buku catatan bersampul hitam yang terletak di atas meja rias milik Nenek. Matanya mengerjap pelan sambil terus melihat benda persegi panjang yang membuatnya gelisah sampai sekarang.

Kok bisa ada di kamar mandi? Siapa yang menaruhnya di situ? Dan banyak pertanyaan lainnya yang tidak bisa Ana temukan jawabannya.  Kembalinya buku itu dengan tiba-tiba sangatlah ganjil, sebab buku itu jelas-jelas hanyut di antara potongan ranting kayu, dan terbawa arus sungai ke arah selatan.

Ana segera berdiri dari kasur tipis yang sudah mulai rusak itu. Gadis itu menghampiri buku hitam yang sejak tadi membisu, kemudian ia membawanya kembali ke tempat tidur. Rentetan kejadian demi kejadian semakin mencungkil rasa penasarannya.

Dari awal, sejak menginjakkan kaki di desa ini Ana sudah mengalami berbagai keanehan. Namun, ia tidak menyadari itu semua dan berpikir seolah-olah itu hal normal atau malah halusinasinya karena berada di tempat yang baru baginya. Dimulai dari waktu berjalan sangat cepat saat ia pertama kali duduk di pinggir sungai hingga ia menemukan buku catatan bersampul hitam lalu kehilangan buku itu. Dan kemudian buku itu berakhir kembali di tangannya seperti sekarang.

Sebenarnya apa yang sudah terjadi? Ia sudah membaca lembar demi lembar kertas usang di dalam buku itu, tetapi hanya sedikit yang dapat ia mengerti. Tentang desa, tentang Meri, bukannya membuat rasa penasarannya terjawab. Malah sekarang gadis itu semakin penasaran.

Ia kembali membalik lembaran buku itu. Berharap menemukan sesuatu yang menarik. Hingga tanpa sadar, sudah jam berapa sekarang. Yang pasti Ana berusaha memaksa matanya untuk terjaga dan melihat tulisan yang memudar. Kata-kata yang seolah hilang, kalimat rumpang, tinta yang memudar di kertas usang. Selain halaman-halaman awal, tidak ada yang gadis itu mengerti.

Desa Berangai[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang