Pasal 4 - Giving Explanations

68 8 2
                                    

Semua mata yang ada di ruangan tertuju pada Mitha saat perempuan itu melangkah masuk dan menuju kursinya. Ia lalu merapikan posisi duduk dan mengatur napas sebelum balik menatap audiens serta pihak lain. Ia tidak boleh menampilkan wajah suram dan tidak percaya diri karena hal itu mampu mempermudah jaksa penuntut untuk menekannya. Kilatan matanya pun ikut berubah menjadi elang tatkala hakim telah duduk di singgasananya. Segala ide juga telah ia siapkan dari semalam untuk menghadapi persidangan ini, walaupun ia sendiri belum menemukan barang bukti untuk menyangkal tuntutan jaksa.

"Bapak percaya dengan saya, kan?" bisik Mitha pada Pak Jumadi yang duduk di sampingnya dengan kedua tangan yang diborgol.

Pak Jumadi menunduk dan memiringkan kepalanya sedikit untuk melihat lawan bicaranya. Kerutan serta kantong matanya menandakan bahwa Pak Jumadi perlu istirahat yang cukup. Sorot matanya pun layu, tidak sesegar waktu hari pertama Mitha bertemu dengannya. "Iya, Mbak."

"Oke, Pak, kalau begitu nanti cukup jawab seperlunya sesuai dengan intruksi saya dan tolong untuk tetap terus percaya pada saya, ya?" Mitha menggeser posisi duduk sedikit, meraih tangan Pak Jumadi dan menggenggamnya erat untuk menyalurkan semangat serta meyakinkan bahwa semua tindakan Mitha adalah hal yang tepat.

Pak Jumadi menganggukan kepalanya dan Mitha kembali duduk seperti posisi semula saat bibir hakim ketua mulai terbuka. Ia lantas menegakkan punggung dan menajamkan pandangan sambil merapikan berkas yang telah disiapkan.

You can do it, Mith.

"Sidang perkara pidana yang memeriksa dan mengadili perkara pidana Nomor 1777Pid.B/2021, atas nama terdakwa Jumadi dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum," ucap Hakim Ketua dengan lantang seraya mengetuk palu sebanyak tiga kali di akhir kalimat.

***

Mitha melakukan pembelaannya dengan tegas, menatap tajam jaksa serta hakim bergantian. Tangannya terkadang menunjuk layar televisi yang menampilkan foto barang bukti. "Senjata yang digunakan pelaku untuk menikam korban ialah bukan milik terdakwa. Terdakwa mengaku tidak pernah memiliki pisau daging dengan model seperti itu." Pisau yang dimaksud oleh Mitha adalah pisau yang memiliki gerigi di bagian genggaman dan terbuat dari plastik tebal berwarna hitam.

"Karena pisau lain yang ditemui di rumahnya hanya pisau plastik biasa yang dibeli di pasaran dengan harga murah, sedangkan pisau yang digunakan pelaku sangatlah jelas seperti pisau —" Ucapan pembelaan Mitha terhenti kala ia mendengar seseorang berbicara. Tatapannya langsung ia alihkan pada seseorang yang duduk di barisan terdepan.

Farel. Suara itu berasal dari Farel. Ia duduk di baris paling depan dengan menyilangkan salah satu kakinya ke kaki yang lain dan tangan yang bersidekap. Meskipun bibirnya terkunci, tetapi Mitha bisa mendengar suaranya. Suara batin Farel. "Tumbal satu, beres."

Jantung Mitha langsung berdegup kencang. Suara kasak-kusuk dari pengunjung dan hakim yang memintanya melanjutkan pembelaan tidak dipedulikannya. Telinganya seolah tertutup dari suara-suara mulut manusia. Pupil matanya ikut melebar bersamaan dengan kepalan tangan yang mengerat. "Apa yang dimaksud dengan tumbal? Pak Jumadi? Tumbal? Tumbal dari apa? Kenapa harus mengorbankan orang lain? Terus, hubungan Farel dengan kasus ini sedeket apa?" Beribu pertanyaan langsung datang menyergap pikirannya.

Tatapan tajam yang dilayangkan Mitha dapat dirasakan oleh Farel. Sepersekian detik, laki-laki itu balik menatap Mitha dengan alis yang terangkat sebelah. Kebingungan. Mengapa perempuan itu memandangnya seolah-olah memiliki dendam pribadi yang amat dalam. Namun, ia tak peduli. Farel mengedikkan bahu dan segera beranjak dari tempat duduknya untuk meninggalkan ruangan. Diikuti oleh sorot mata Mitha yang terus melihat punggung Farel hingga laki-laki itu menutup pintu ruangan.

The Sea in Your EarsOnde histórias criam vida. Descubra agora