Sesekali, angin berembus menerbangkan rambut pendek Ana. Hanya ada desas-desus dari alam yang mengisi kesunyian di pinggir sungai. Tanah yang mereka duduki pun membisu.

"Kamu beneran nggak lihat sesuatu apa pun yang terbawa arus tadi?" Ana mengalihkan percakapan yang tegang tadi.

"Memangnya ada apa?" tanya Juki penuh penasaran.

Haruskah Ana memberitahu yang sesungguhnya? Ia kemudian mengangguk mantap.

"Bukuku, hanyut, nggak sengaja," terang Ana.

"Kenapa nggak bilang dari tadi?" Juki segera bangkit berdiri. Rautnya berubah menjadi tertekuk. Ia memeriksa sekeliling sungai memastikan kalau-kalau ada ranting yang menghambat 'perjalanan' buku milik Ana. Sementara gadis itu hanya terdiam di tempat duduknya sambil terus memperhatikan gerakan Juki.

"Kalau bilang dari tadi, pasti masih bisa ketemu."

Juki mengajak Ana untuk berdiri, tentu saja gadis itu kebingungan. Kemudian Juki segera menjelaskan kalau semakin ke selatan, sungai ini semakin mengecil. Barangkali mereka mendapatkan apa yang dicari Ana.

"Ayo!" ajak Juki. Ana hanya mengangguk saja mengiyakannya. Mereka berdua berjalan menelusuri pinggir sungai. Juki meninggalkan pancingnya sendirian. Hingga tiba-tiba pancing itu tersentak dan lenyap ditelan arus sungai.

***

Kerik jangkrik dan belalang serta suara berisik tupai yang melintas pepohonan terdengar mengalun bagai melodi yang tercipta oleh alam. Juga suara arus sungai yang tidak terlalu deras itu tetap memperdengarkan bunyi-bunyian khas yang menenangkan. Sesekali, daun kering yang menguning berguguran diterbangkan oleh angin. Tanah lembap yang mereka lalui pun mencetak jelas jejak dari masing-masing kaki.

"Kita seumuran, ya?"

Ana mengangguk. Kemudian percakapan ringan mulai meluncur dari mulut mereka, setelah cukup lama berdiam diri dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Mereka terus berjalan hingga tanpa sadar mentari hampir jatuh di kaki langit yang birunya mulai memudar berganti menjadi kemuning.

"Astaghfirullah. Udah sore." Ana mulai panik menatap sekitar sementara Juki berkebalikan dengannya.

"Ayo saya antar, saya tau jalan pintas."

Mereka kemudian meninggalkan kawasan perkebunan kelapa sawit di pinggir sungai itu. Di tanah lembap bekas mereka berjalan, tercetak jelas jejak kaki keduanya. Namun, samar-samar ada sepasang jejak kaki lain yang tak jauh dari situ. Jejak itu bukan berasal dari mereka berdua sebab keduanya memakai sendal.

***

Langit mulai menghitam, kehilangan sang surya yang setiap hari meneranginya. Suara hewan malam mulai saling memanggil, juga suasana di desa Berangai. Persis seperti malam-malam lainnya. Sangat sunyi.

Ana sedang menerawang jauh. Saat ini ia sedang berbaring menatap langit-langit di ruang tamu. Pikirannya menebak-nebak kemana buku catatan itu? Saat hanyut menerka-nerka apakah buku itu sudah hilang atau belum, Ibu datang mendekat dan duduk di samping gadis itu.

"Malem-malem pakai baju pendek gitu." Ibu berkomentar sambil menunjuk pakaian yang Ana kenakan. Celana pendek beberapa jari di atas lutut dan baju kaos cokelat bergambar kartun kucing biru.

"Apa nggak kedinginan?"

Ana hanya tersenyum, ia mengubah posisinya menjadi bersandar di dinding. Mereka hanya duduk berdua dan diam. Ana membuka mulut ingin bersuara, tetapi Ibu segera bangkit berdiri.

"Bu?" panggilnya. "Mau ke mana?"

"Mau makanlah, ayo!"

Keduanya segera menuju dapur dan menghampiri Nenek dan Ayah yang sudah duduk duluan. Ana ikut duduk di sebelah ayahnya. Matanya menatap lauk yang beragam, ada tempe orek dan tumis kangkung serta sambal yang merah membara. Meski terlihat menatap makanan, pikiran gadis itu melayang entah kemana.

"Woy, jangan melamun gitu. Nanti kemasukan kodok." Ayah mencolek dan menegur putrinya itu. Ana mengerjap kemudian memerkan deretan giginya.

"Mari makhan," ajak Ayah dengan semangat, padahal mulutnya sudah penuh duluan. Mereka semua tertawa-tawa menikmati makan malam.

Setelah itu, Ana membantu Ibu mencuci piring. Nenek sudah masuk ke kamarnya, sementara Ayah sedang keluar sebentar. Bukannya berkeliaran sendiri di desa ini tidak boleh?

"'Kan ayah di dalam mobil," jawab Ayah saat Ana melontarkan pertanyaan itu.

Sekarang hanya ada dia dan Ibu. Ana sudah tak tahan ingin bertanya.

"Bu." Ana membuka percakapan sambil terus menggosok noda di piring menggunakan spons. Ibunya menanggapi dengan gumaman.

"Tadi ayah cerita, tentang desa ini." Gerakan tangan Ibu memelan.

"Katanya, waktu desa ini belum maju kayak sekarang dan hanya ada satu pemimpin, banyak orang mati, ya, Bu?"

Ibu menoleh sepenuhnya pada Ana.

"Iya. Sampai sekarang, penyebab kematian itu belum ada yang tau."

Ana mengangguk-angguk. Selanjutnya ia tidak melontarkan kata-kata lagi. Ibu pun ikut diam, walau wajahnya sebenarnya gelisah. Akhirnya kegiatan bersih-bersih itu selesai. Anak dan ibu itu sekarang sama-sama duduk bersandar di ruang tamu. Ana tidak tahu pasti ini jam berapa, yang jelas suara azan isya yang samar-samar sudah selesai sejak tadi sebelum mereka makan.

Hanya suara cicak yang memecah senyap di antara mereka berdua.

"Bu?" Ibu menoleh kepada putri sematawayangnya itu. "Kenapa desa ini selalu sepi?"

Ibu hanya diam menatap gadis yang kini mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Mereka bertatapan sebentar sebelum Ibu memghela napas panjang.

Waktu dulu, sebelum desa ini cukup maju, hanya ada satu pemimpin. Desa ini aman dan tentram karena jauh dari kota. Masyarakat hidup rukun dan bahagia. Namun, entah apa penyebabnya, satu per satu dari mereka menghilang. Tidak ada yang tahu kemana perginya.

Keesokan harinya, mayat ditemukan. Dan mayat itu adalah ... orang yang hilang tersebut. Kemudian satu per satu kematian datang. Hingga akhirnya mereka mengubur mayat itu di suatu tempat.

"Tempat itu udah lama, nggak ada yang tau di mana pemakaman itu sekarang. Yang jelas, masih ada di sekitar desa ini."

Ana mengangguk-angguk.

"Terus? Apa hubungannya sama sepi yang tiap malam selalu terjadi?"

"Kamu yakin mau tau?"

Ekspresi Ibu berubah ketakutan. Ana meragu. Ia meneguk air liurnya.

"Iya," katanya setelah berpikir cukup lama.

"Besok saja. Sekarang, sana kamu tidur. Ibu mau ke kamar mandi."

Ibu beranjak meninggalkan gadis itu di ruang tamu sendirian. Ana hanya menatap Ibu yang menghilang di balik gorden dapur dan kini membuka pintu belakang. Sekarang hanya ada dia sendiri dan kebingungan di wajahnya. Mau tak mau Ana ikutan berdiri, lalu melangkah ke kamar belakang.

Di kamar, Ana hanya merebahkan diri. Tidak menutup mata karena ia belum mau terlelap. Satu pertanyaan telah terjawab. Namun, Ana tidak mudah percaya begitu saja. Meskipun sudah tiga orang yang memberitahunya. Ia kemudian duduk lagi sebab pintu kamar diketuk.

"Iya, Bu. Sebentar."

Gadis berambut pendek itu membuka gagang pintu yang dingin. Di luar kamar ada Ibunya yang menyodorkan sesuatu. Awalnya kening Ana terlipat, lalu ekspresi wajahnya berubah drastis.

"Buku siapa ini?" tanya Ibunya.

"Darimana Ibu dapat ini?" Ana masih terkejut dengan apa yang ada di tangan Ibu. Ia mengambil benda itu dengan tangan yang agak gemetaran.

"Tadi itu ada di belakang pintu kamar mandi. Punyamu?"

Ana tak menjawab pertanyaan Ibu dan masih memandang buku bersampul hitam itu dengan mata yang terbelalak. Ia sangat terkejut.

Desa Berangai[END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora