Bab 43 ~ Angin Kencang

Mulai dari awal
                                    

Tuan Rodik mematung. Sejumlah prajurit muncul dari balik pepohonan. Jumlahnya cukup banyak. Pak Jenasin panik, dan melepaskan Piri dan Tero. Namun anak-anak masih bingung bagaimana harus bersikap.

Dengan cepat para prajurit mendekat dan meringkus Tuan Rodik dan Pak Jenasin. Tuan Rodik menatap Kapten Morat penuh benci.

Kapten tertawa. "Satu yang tak kumengerti, Huter," rupanya itu nama panggilannya untuk Tuan Rodik, "kau berani berkeliaran di Mallava, padahal sudah jadi penjahat yang paling dicari di sini."

"Aku bukan penjahat! Aku cuma satu dari sekian banyak orang yang tidak suka padamu. Mallava adalah negeriku. Aku berhak tinggal di sini!"

"Ah, kau tetap tinggal karena hanya di sini kau bisa mendapat uang dari pekerjaan kotormu! Kau penjahat. Dulu membangkang dan sekarang menculik anak-anak. Sekali penjahat tetap penjahat."

"Aku takkan membangkang jika itu adalah perintah yang benar dan tidak bodoh!"

"Kapten," seorang prajurit yang baru saja menggeledah tubuh Tuan Rodik berkata, "kami menemukan sesuatu."

Ia menyerahkan batu merah kepada Kapten Morat.

Sang kapten tertegun. "Ah, Huter, apa lagi ini?"

"Aku mengambilnya dari anak-anak ini!" seru Tuan Rodik sambil melihat ke arah Piri. Matanya berkilat-kilat, seolah ia baru saja mendapatkan celah untuk meloloskan diri. "Kau belum mengerti? Aku menangkap anak-anak ini justru untuk membantu Kerajaan, membantumu! Kau seharusnya berterima kasih!"

"Omong kosong apa lagi kau?"

"Anak-anak ini berasal dari negeri Frauli!"

Kapten Morat memandangi ketiga anak bergantian.

"Batu ini punya mereka," lanjut Tuan Rodik. "Dari mana mereka mendapatkannya kalau bukan dari negeri Frauli?"

"Tidak! Kami menemukannya di dalam gua!" bantah Piri.

"Kenapa mereka bisa ada di dalam gua, kau bisa tanya mereka, Morat. Pasti ada jalan tembus di sana, menuju ke suatu tempat. Aku yakin itu adalah tempat orang-orang Frauli bersembunyi selama bertahun-tahun!"

"Kami berasal dari Dunia Mangkuk! Bukan Frauli!" seru Tero.

Piri terdiam. Tiba-tiba, untuk pertama kali dalam hidupnya ia merasa, jangan-jangan Dunia Mangkuk adalah tempat yang punya arti berbeda dibandingkan dengan yang selama ini ia tahu. Mungkinkah di sana dulu ada sebuah negeri bernama Frauli?

"Kau hanya membual, Huter," Kapten Morat menatap Piri, Yara dan Tero lekat-lekat. "Tapi, kemungkinan itu ada. Benar yang dikatakan orang ini, anak-anak?"

"Kami dari Dunia Mangkuk." Piri memutuskan untuk terus membantah. "Kami tak tahu apa itu negeri Frauli. Dan benar kami menemukan batu itu di dalam gua."

Kapten Morat menatap mulut gua di seberang sungai. "Prajuritku akan memeriksa, mungkin memang ada sesuatu di sana. Sementara itu, kalian ikut aku ke ibu kota. Penyihir Merah bisa tahu jika kalian benar-benar dari Frauli."

Ia tersenyum, yang bagi anak-anak kini terlihat mengerikan. Bertemu Penyihir Merah? Sepertinya itu sesuatu yang buruk!

Kapten Morat menyuruh dua prajuritnya memeriksa gua dengan membawa obor. Setelah itu rombongan beranjak pergi. Tuan Rodik dan Pak Jenasin dibawa sebagai tawanan dengan tangan terikat, sementara Piri, Yara dan Tero tidak. Namun Piri merasa, mendengar apa yang mungkin terjadi di ibu kota, mereka bertiga sebenarnya sama saja dengan tawanan.

Ketiga anak naik kuda bersama masing-masing satu prajurit, menembus hutan lebat.

Dalam perjalanan Piri lalu bertanya, "Penyihir Merah mau apa terhadap kami?"

Kapten Morat yang berkuda di sampingnya menjawab, "Mungkin hanya bertanya."

"Kudengar dia orang yang jahat. Kamu juga dulu pernah bilang, kamu tidak suka pada apa yang dia lakukan ... pada anak-anak. Memangnya apa yang dia lakukan?"

Kali ini Kapten Morat diam saja. Itu membuat Piri semakin takut.

Ia memalingkan wajah, melihat jauh ke arah kiri. Mereka melintasi padang rumput, dan jauh di atas bukit ada sesuatu yang tengah memandangi rombongan mereka. Napas Piri tertahan begitu mengenali sosok itu.

Rubah Putih!

Hewan itu melolong. Mungkin dia hanya ingin mengucapkan selamat tinggal sekali lagi, pikir Piri. Ia pun tertunduk lesu.

Tapi ... apa ini?

Angin kencang berhembus menyapu padang rumput.

Piri memejamkan mata, cukup lama, karena angin belum juga berhenti. Kuda-kuda meringkik dan melompat-lompat. Seruan prajurit terdengar.

Lalu terdengar lengkingan panjang memekakkan telinga.

Piri menutup telinganya dengan kedua tangan.

Tiba-tiba Ia merasakan tubuhnya seolah terlempar ke belakang.

Seseorang berteriak panik.

"Grayhayr!"

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang