Prolog

13.4K 557 66
                                    

Keiza's POV.

Awan mega hari ini tidak secerah seperti hari kemarin. Mendung yang menyelimuti kota Jakarta hari ini seakan mengerti isi hatiku. Hiruk pikuk suasana kota yang sangat semrawut membuatku semakin merasa sesak. Hari ini di tahun yang berbeda dengan tanggal dan bulan yang sama, aku masih merasakan sakit yang teramat perih. Entah sampai kapan aku bisa menghilangkan rasa sakitku ini.

Aku memarkirkan mobilku di tempat parkir dengan rapi. Helaan napas beratku berembus dengan kasar saat aku akan membuka pintu mobilku. Kakiku serasa lemas, hatiku terasa pedih dan sesak. Aku hanya mengunjungi tempat ini di saat aku sedang merasa rindu dan sedih. Semakin lama langkahku semakin terasa berat, kala aku mulai memasuki area ini. Jantungku berdegup dua kali lebih kencang dari biasanya. Dadaku pun mulai serasa sesak. Semakin aku mendekati tempat tujuanku, degup jantungku semakin tidak beraturan. Langkahku terhenti, lantas berjongkok lemas ketika aku telah sampai di tempat tujuanku.

Perlahan tangan kananku menyentuh sebuah salib besar yang bertuliskan nama bundaku, Kareinina Wilson. Sebelum aku meletakkan serangkai bunga mawar putih favorit bunda di atas sebuah gundukan tanah persegi panjang yang diselimuti oleh rumput jepang. Mataku mulai memanas, air bening mulai memenuhi pelupuk mataku. Sekuat tenaga aku mencoba menahannya agar tak terjun dengan bebas di pipiku.

"Merry Christmas Bunda. Maaf ya, Keiza baru bisa ke sini. Bunda apa kabar di sana?" celotehku kepada pusara bunda.

"Semoga Bunda bahagia ya di sana. Keiza kangen banget sama Bunda," sambungku kembali.

Arinka Keiza Pratama. Aku anak tunggal dari pemilik Pratama inc, Muhammad Riza Pratama. Mungkin menurut semua orang, aku adalah gadis  yang paling beruntung. Karena aku hidup dalam keluarga yang bergelimang harta. Tapi tidak untukku. Apalah arti sebuah kemewahan, jika hidup kita hanya dipenuhi dengan kesedihan. Hampir lima tahun, hidupku serasa di neraka. Aku tak pernah merasa bahagia sejak bunda meninggal. Terlebih lagi setelah 3 bulan bunda meninggal, ayahku menikah lagi dengan sekretarisnya. Hal yang sangat miris menurutku.

Air mataku mulai menetes membasahi pipiku. Saat aku mengingat kembali tentang sosok bunda sebelum dia meninggal. Hingga detik ini aku tak pernah bisa melupakan kejadian itu. Sampai saat ini pun aku masih membenci hari dimana bunda mengembuskan napas terakhirnya. Di saat semua orang bersuka cita di hari natal, di saat itu juga aku berduka cita. Kematian bunda seakan-akan dirayakan oleh seluruh orang di dunia. Inilah yang membuatku menjadi benci dengan adanya hari natal.

Rintikan air hujan mulai turun membasahiku. Langit seakan tahu bagaimana perasaanku saat ini. Saat semua orang mulai berhamburan untuk mencari tempat berteduh, aku semakin hanyut dalam kepedihanku. Aku senang karena hujan bisa menghapus kesedihanku. Menyamarkan air mataku yang menetes di pipiku. Hingga tak seorang pun tahu bahwa aku sedang menangis di sini. Aku menautkan kedua tanganku menjadi sebuah genggaman, lantas kepalaku menunduk. Kemudian aku pun mulai berdoa untuk bundaku yang sudah berada di alam yang berbeda.

Tiba-tiba hujan tak lagi membasahiku, meski di hadapanku hujan mulai turun dengan deras. Kepalaku menoleh ke samping, saat aku selesai berdoa. Di saat itulah aku melihat ada sepasang kaki dengan sepatu flat hitam di sampingku. Aku menengadahkan kepalaku, mencari tahu siapa pemilik sepatu flat itu. aku terkejut saat aku melihatnya.

"Tante Brina?" ucapku kaget.

Wanita itu tersenyum padaku. Sabrina Natasya W. Dia adalah istri ayahku saat ini. Lebih tepatnya dia adalah ibu tiriku. Wajahnya sedikit mirip dengan bunda, umurnya lebih muda 4 tahun dari bundaku. Aku sempat berpikir, apakah ayah menikahinya hanya karena wajahnya mirip dengan bunda? Tapi pikiran itu telah aku buang jauh-jauh, karena hal itu terlalu membuatku terluka.

YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang