Bab 26 ~ Para Pembeli

Start from the beginning
                                    

Piri belum tahu apakah ia akan suka ketegangan semacam itu. Tetapi mestinya tidak akan terlalu menakutkan jika dibanding saat-saat ketika ia menjelajah gua dan bertemu dengan makhluk-makhluk aneh.

Mungkin karena di sini keadaannya terang, sementara di luar sana gelap. Gelap melebihi malam itulah yang menakutkan, jika tidak terbiasa.

Setelah semua anak mandi dan berpakaian rapi mereka segera turun dan berkumpul di ruang makan. Bibi Molen menyediakan makanan dengan terburu-buru, dan karenanya anak-anak pun ikut makan dengan terburu-buru pula.

Seperti sebelumnya, hanya sepiring bubur yang tersedia, tidak ada buah-buahan. Saat makan anak-anak tak sempat berbincang, atau merencanakan untuk kabur seperti kemarin sore.

Selesai makan, Bibi Molen berkata, "Kalian ditunggu di ruang tengah."

Anak-anak berbondong-bondong menuju ruang tengah yang letaknya tak jauh dari ruang makan. Ruangan itu lebih kecil, namun lengang karena tidak ada meja panjang, hanya ada satu meja kecil dan tiga kursi di depan.

Anak-anak berbaris di dekat dinding, di sebelah jendela. Anak perempuan berjejer di depan, sementara anak laki-laki di belakang, berdiri di atas lantai yang sejengkal lebih tinggi. Semuanya diam diselimuti ketegangan.

Suara ringkik kuda dari luar memecah keheningan.

Piri tak bisa menahan diri. Ia melirik ke arah jendela untuk melihat siapa yang datang. Ternyata bukan hanya ia yang berani melirik. Tero, Kasen, Pofel dan beberapa yang lain ikut melongok.

Bibi Molen berkata lantang, "Jangan melirik atau berbisik! Semua tetap berdiri rapi dan melihat ke depan. Tunjukkan senyuman, jangan pasang wajah cemberut."

Piri tercenung, tiba-tiba gelisah. Ia bertanya-tanya, kenapa sekarang ia harus berada di sini dan berbaris untuk dibeli?

Ini sama sekali bukan keinginannya. Ia hanya ingin pulang!

Ia melirik ke arah Tero di sampingnya, kemudian melihat Yara yang berdiri tepat di depannya. Piri yakin keduanya pun pasti sama gelisahnya.

Ketukan langkah terdengar. Setiap anak menahan napas.

Yang pertama kali memasuki ruangan adalah dua perempuan yang berjalan bersisian: Nyonya Kulip dan satu lagi, yang tampak lebih muda namun sama angkuhnya.

Seorang laki-laki menyusul di belakang keduanya. Berbaju hitam, namun berbeda dengan Tuan Rodik yang kumal, baju laki-laki ini tampak bersih, dengan lipatan-lipatan yang rapi di sekitar leher, lengan dan bagian dadanya. Rambutnya tipis, demikian pula kumis di bawah hidungnya.

Ketiga orang itu berdiri di depan anak-anak. Sementara di dekat pintu Tuan Dulum berdiri di sebelah Bibi Molen.

Nyonya Kulip tersenyum, dan setiap anak pun tahu, itu adalah sebuah perintah. Mereka semua ikut menyunggingkan senyum.

"Selamat pagi, anak-anak," kata Nyonya Kulip dengan mimik ceria. "Pagi yang cerah dan menyenangkan, bukan begitu?"

"Ya, Ibu!"

"Hari ini kita kedatangan tamu istimewa dari ibukota. Tuan dan Nyonya Bumer yang baik hati. Beri salam, Anak-anak."

"Selamat pagi, Tuan dan Nyonya Bumer!"

Nyonya Bumer membalas, "Selamat pagi."

Sementara si tuan hanya mengangguk tanpa ekspresi.

Piri mulai berpikir apakah kebanyakan laki-laki besar di sini memang seperti Tuan Dulum dan Tuan Bumer, sementara perempuannya seperti Nyonya Kulip dan Nyonya Bumer. Benar-benar tidak menyenangkan!

Piri teringat ucapan Kasen, akan ada dua kali ketegangan hari ini. Ketegangan pertama sudah lewat. Anak-anak sudah melihat seperti apa sosok yang akan datang itu. Keduanya sama sekali tidak menyenangkan.

Sekarang masuk ketegangan kedua. Siapa anak tidak beruntung yang akan dipilih Tuan dan Nyonya Bumer.

Nyonya Bumer menatap setiap anak satu per satu, lalu mendekat untuk melihat dengan lebih baik. Ia berjalan bolak-balik. Di depan Yara ia berhenti. Mata birunya menatap Yara lekat-lekat selama beberapa saat.

Tubuh Yara berubah kaku, dan Piri tidak yakin apakah Yara masih bisa tersenyum. Mungkin tidak, mungkin sejak tadi Yara sama sekali tidak tersenyum.

Untunglah kemudian Nyonya Bumer berjalan lagi.

Desah napas Yara terdengar, tipis, menunjukkan kelegaannya.

Nyonya itu lalu berhenti di depan beberapa anak yang lain, dan setelah itu kembali ke depan ruangan. Ia berbisik pada Nyonya Kulip. Sambil berbicara keduanya melihat-lihat ke beberapa anak.

"Anak-anak, kalian boleh keluar dan main di halaman, sampai sebatas halaman." Nyonya Kulip memberi penekanan pada kata-kata terakhirnya.

Suaranya lembut tetapi anak-anak tahu itu adalah ancaman.

"Tetapi, beberapa anak kuminta tetap tinggal di sini."

Kembali setiap anak menahan napas.

"Arin, Lusi, Kaia, Yara. Kalian tetap di sini."

Yara terpana. Beberapa saat kemudian ia menoleh ke belakang. Piri bisa melihat dengan jelas ketakutan yang tampak di wajahnya.

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldWhere stories live. Discover now