Bab 21 [Ending]

213 22 2
                                    

Semua berakhir dengan kata ikhlas.

▪︎▪︎▪︎

Plak!

Rasa panas di pipi sangat terasa ketika telapak tangan yang dulu menyuapinya penuh kasih sayang kini menampar tanpa pertimbangan. Elden memejamkan matanya, mendengarkan amarah wanita yang disebut ibu tersebut.

"Sadarlah Elden! Pikiranmu telah diracuni oleh wanita pribumi itu! Jangan lukai harga diri Ibu dengan kamu mencintai wanita itu."

Elden membuka matanya, menatap wanita yang selalu berubah-ubah sifat, kadang bak malaikat dan kadang bak iblis. Kini Elden tak akan berucap kasar lagi pada Dayana, sebab ia telah mengetahui hukum agama.

"Maafkan Elden jika telah melukai harga diri Ibu. Di sini, Elden mempunyai hati serta hak untuk memilih pasangan," ujarnya. Elden berdiri di hadapan Dayana dengan lengan baju yang berlumurkan darah.

"Hak katamu?! Apa Ibu tidak ada hak memilih pasangan yang terbaik untuk anaknya sendiri?"

Elden tersenyum miring. "Cara Ibu dalam memakai hak itulah yang salah. Ibu telah menjatuhkan korban, nyawa seseorang hilang karena Ibu."

Dayana menggeleng cepat. "Tidak! Itu semua ide Hujin. Pamanmu juga yang telah menembak wanita itu."

"Tapi Ibu yang mengizinkan dan tidak menghalangi, benar?"

"Stil! Genoeg (Diam! Cukup)," seru Dayana tak ingin kalah. "Sekarang, kamu turuti Ibu untuk pulang ke Belanda. Jika tidak—"

"Ibu tak perlu mengancamku. Karena memang aku akan pulang," ucap Elden dengan senyuman miring. "Tapi, setelah aku mengantarkan gadis yang kucintai ke tempat abadinya."

||<<<||

30, Januari 1950.

"Schat, ik ben thuis! (Sayang, aku pulang!)"

Baru saja membuka pintu, seorang anak laki-laki yang baru tumbuh dua gigi susu berteriak dan memeluk orang sendari tadi ditunggu kehadirannya.

"Papa!"

"Hé, mijn zoon! (Hey, anakku!)" Pria yang mempunyai kumis tipis itu menggendong sang anak dan menciumi pipi gembulnya.

"Dia begitu menunggumu pulang dan pergi ke toko mainan." Tiba-tiba seorang wanita muncul dari tembok yang memisahkan dapur dan ruang tengah.

"Sebenarnya aku sangat lelah hari ini. Tapi mau bagaimana lagi, aku tak ingin putraku kecewa dan mogok makan," ujar pria itu, lalu berlalu pergi sembari mengajak bercanda putranya.

Wanita tadi menatap dengan senyuman, "Kamu memang papa terbaik, Elden."

Setelah kejadian luar biasa yang beruntun mewarnai masa remajanya, kini Elden telah menatap hidup kembali. Di Belanda, ia hidup mandiri tanpa harta dari sang Ibu. Selama bertahun-tahun Elden berusaha ikhlas atas apa yang telah terjadi, ia semakin berbenah diri menjadi lebih baik.

Hingga saat ini, Elden telah benar-benar mencapai titik ikhlas itu. Ia menikahi seorang perempuan yang selama bertahun-tahun dalam masa pemulihan hati selalu ada untuknya, perempuan itu ialah Ambar. Ya, dia adalah sahabat Elden sendiri.

Ambar dan Elden sama-sama saling belajar dalam hal kekurangan. Perjalanan mereka selama pemulihaan untuk bangkit itu, Ambar meyakinkan hati untuk mengikuti jejak Elden dalam mengenal Islam dan sampai akhirnya menjadi seorang mualaf.

Tak ada perdebatan keluarga lagi, toh mereka berdua sudah berkomitmen untuk mandiri dan memulai semuanya dari awal. Komitmen mereka telah berujung manis. Kebahagian mereka lengkap dengan kehadiran Robert sebagai anak pertama.

"Dan akhirnya papa dan anak sama-sama terbuai dalam mimpi." Ambar berdecak pinggang seraya menggeleng kepala. Baru beberapa menit ditinggalkan, Elden dan Robert sudah tertidur di kasur empuk. Tentu rencana untuk ke toko mainan harus pupus.

Ambar dengan pelan membuka sepatu Elden beserta kaus kakinya. Wanita itu telah benar-benar mengamalkan kewajibannya menjadi seorang istri selama ini.

"Augh!" Elden melengguh karena merasa terusik tidurnya. Pria itu mendudukan diri dengn hati-hari karena takut Robert terbangun. "Ambar, aku ketiduran."

"Robert juga," sahut Ambar menaikan sebelah alisnya.

Elden mengembuskan nafas, "Badanku lengket sekali. Aku akan mandi, deh."

||<<<||

"Bagaimana kerjaanmu?" Ambar ikut duduk bersama sang suami di balkon, memantau anak sulungnya bermain di lantai.

Elden yang sedang fokus ke layar laptop, kini menutup laptopnya. "Alhamdulillah, lancar."

Ambar tak menyahut lagi. Kedua sama-sama diam dan menatap Robert di hadapan. Sampai akhirnya Ambar bersuara yang membuat Elden langsung menoleh.

"Aku merindukan Indurasmi, dan Bandoeng."

Elden mengelum bibirnya, lalu mengembuskan nafas. "Dia sudah bahagia di sana."

"Tentu saja." Ambar menatap Elden. "Apa tidak sebaiknya kita pergi ke Indonesia? Menemui Indurasmi. Lagipun negara itu sudah merdeka, bahkan bangsa kita juga sudah mengakuinya. Keadaannya sudah aman."

Elden belum menyahut, ia mengalihkan fokus dengan membuka laptopnya kembali. Ambar yang mendapat perlakuan tersebut lantas meraup rahang Elden yang mambuat pria itu kembali menatapnya. "Apa kamu tidak merindukan cinta pertamamu?" tanya Ambar.

Pertanyaan itu sangat menyentuh hati Elden. Hati yang selama ini menyisakan sedikit ruang untuk sosok Indurasmi, cinta pertamanya.

"Baiklah. Awal bulan nanti, kita akan ke Indonesia. Kita ajak Robert sekalian," putus Elden.

Ambar tersenyum lebar dan lantas memeluk sang suami. "Aku sangat bahagia mendengarnya. Terima kasih."

Elden membalas pelukan tersebut. "Aku pikir jika kita ke sana, kamu akan terluka, Ambar."

Seketika Ambar melepaskan pelukannya. "No! Aku sudah menerima kehadiran Indurasmi di hatimu. Aku sangat menantikan saat-saat ini."

"Terima kasih, sayang." Elden tersenyum, merasa sangat beruntung.

||<<<||

Selesai. Alhamdulullah.

Kini, kisah Indurasmi akan abadi dalam tulisan. Damailah wanita tangguh, wanita pribumi.

30, Agustus 2021

Akhir kisah.

Indurasmi [Proses Terbit]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora