Bab 2 ~ Kalian Percaya?

Start from the beginning
                                    

Saat itu Piri tengah berusaha memanjat lebih tinggi. Sementara di bawahnya, di dahan yang lebih rendah Buro yang bertubuh gemuk pendek duduk bersandar di batang pohon sambil mengunyah. Tiga buah allumint cukup untuk membuat gigi anak berwajah bundar itu berubah menjadi ungu.

Teman Piri yang lain, Jiro yang tubuhnya tinggi kurus sedang bergelayutan di dahan lainnya. Lalu terdengar suara Yara.

Piri menoleh, memperhatikan anak perempuan di bawahnya yang baru saja datang. Anak perempuan itu mendongak sambil berkacak pinggang.

Di belakang Yara ada dua anak perempuan lainnya, Sera dan Nere. Sera yang bertubuh kecil tersenyum pada Piri, sedangkan Nere ke arah Jiro.

"Bagaimana menurut kalian?" Yara bertanya.

"Apanya yang bagaimana?" Jiro balik bertanya.

"Kata Kakek, bahwa dunia kita kecil dan berbentuk seperti mangkuk."

"Tidak," Buro mengoreksi, masih sambil mengunyah. "Kakek bilang dunia kita luas, dan kebetulan bentuknya seperti mangkuk."

"Kalian belum mengerti?" Yara menyahut.

Kali ini Piri tak yakin apakah dia sedang bertanya atau menggerutu.

"Kakek bilang kita ini pintar," lanjut Yara. "Itu artinya Kakek ingin kita berpikir. Dia bercerita tentang dunia mangkuk, tapi sebenarnya dia ingin kita tidak percaya begitu saja." Matanya berbinar-binar. "Dia ingin kita tahu, dunia lebih luas daripada yang kita kira."

Kata-katanya membuat Piri berhenti memanjat.

Si gemuk Buro bahkan terguling jatuh tepat di hadapan Yara, lalu buru-buru berdiri menatap anak perempuan itu dengan wajah bengong.

"Mmm ... apa katamu tadi?" tanya Buro ragu.

"Kakek bilang kita ini—" Yara menghentikan kalimatnya. Dia melotot, sepertinya mengira Buro hanya bermaksud mencandainya, dan bukannya benar-benar bingung.

"Ah, kamu ini memang aneh," tukas Jiro. Kedua kakinya diangkat lalu dikaitkan di dahan pohon. Ia menggantung dirinya terbalik.

"Dari dulu, Yara, kamu selalu aneh," lanjut Jiro.

"Sebenarnya kamu mau apa, Yara?" Buro ganti bertanya. "Pergi ke pegunungan seberang dan mencari tahu apakah jaraknya lebih jauh daripada yang kita duga selama ini? Lalu mau apa, setelah kamu tahu?"

"Seperti kata Yara, mungkin kita bisa menemukan kupu-kupu bintang di sana?" Jiro meringis. Tubuhnya masih terbalik, berayun-ayun dengan kedua kaki terkait di dahan pohon. "Atau burung kamio?"

"Ya ..." Buro mengangguk ragu. "Tetapi apa gunanya?"

"Paling tidak kita tahu ada sesuatu di sana." Jiro tertawa.

"Itu yang kamu mau, Yara?" Buro mengulang pertanyaannya.

"Jawab pertanyaanku dulu," Yara membalas. "Apa kalian percaya dunia kita hanya seluas pegunungan dan lembah ini?"

"Kenapa harus tidak percaya?" tukas Buro. "Memangnya dunia seperti apa, dan seluas apa, yang kamu mau?"

"Kalian tidak ingin tahu ... kita berasal dari mana?"

Anak-anak tertegun.

Piri menatap anak perempuan itu lekat-lekat. Ini satu lagi pertanyaan aneh dari Yara! Apa yang sedang dipikirkannya?

"Tentu saja kita berasal dari tempat ..." Sera, anak perempuan bertubuh kecil di samping Yara berkata takut-takut. Ia menoleh ke anak perempuan bertubuh tinggi di dekatnya yang sedang melamun. "Iya kan, Nere?""

"Apa?" Nere tersadar. "Eh ... ya, betul. Kata Kakek begitu."

"Dan kalian semua percaya itu?" balas Yara.

"Kenapa harus tidak percaya?" seru Buro.

"Karena ... semakin besar seharusnya kita semakin pintar!" kata Yara. "Kita harus lebih banyak bertanya, dan mencari tahu apakah semua yang dikatakan pada kita itu benar atau tidak."

Dia tersenyum lebar, kelihatannya puas dengan kata-katanya sendiri.

"Semua yang dikatakan Kakek benar," Buro membalas. "Kakek selalu baik pada kita. Ia yang mengajarkan kita tentang semua hal, dan semuanya benar. Ia tidak mungkin bohong."

"Aku tidak bilang Kakek tidak baik! Atau bohong. Aku hanya bilang Kakek ingin kita berpikir. Dia ingin tahu apakah kita benar-benar pandai atau tidak. Apakah kita sudah besar atau belum."

Kalimat terakhir Yara membuat semua anak termenung.

Besar.

Ya, semakin lama tubuh mereka memang semakin besar, walaupun Piri percaya tak ada yang ingat sekecil apa dulu mereka di awal masa, entah kapan itu. Anak-anak tak pernah memikirkannya.

Mereka lebih senang menikmati setiap hari dan malam yang datang silih berganti. Berlari, main, makan, tidur, tertawa-tawa.

Semua hal yang menyenangkan.

Jadi kenapa harus memikirkan hal-hal yang membuat pusing kepala?

The Dreams and Adventures of Children from the Bowl WorldWhere stories live. Discover now