O8 | perihal dongeng

16 7 1
                                    

Pada akhirnya, Sang Raja meninggal dunia karena pengaruh obat yang diberikan oleh Sang Penyihir. Ternyata ia menggunakan obat berdosis tinggi dan memberikannya pada Raja dengan menjamin bahwa Raja akan segera sembuh dengan meminum obat buatannya.

Sang Ratu menangis tersedu-sedu, puteranya pun melakukan hal yang sama.

Akibat kesedihan yang dialami Sang Ratu, ia menyalahkan semuanya pada pangeran dan beranggapan bahwa ketiadaan Raja adalah salahnya. Jika saja putera kandung raja tidak dengan sengaja meleset kan arah anak panahnya sehingga melukai ulu hati Raja, mungkin Raja tidak akan jatuh sakit dan membuat Sang Penyihir menggunakan obat khusus yang dirancang sendiri olehnya.

"Buang dia ke hutan," titah Ratu pada prajurit istana.

Beberapa menolak untuk mengikuti perintah Ratu, namun hal itu hanya menjadi hal tragis untuk mereka, karena sesaat, Sang Ratu segera mengurung setiap orang yang menentang perintah yang ia serukan.

Kala itu putera mahkota tidak dapat melakukan apa-apa, dirinya pasrah dibawa pergi oleh beberapa penjaga istana dengan menunggangi seekor kuda, bahkan mereka sampai menutupi wajahnya dengan kantong plastik hitam agar tidak dapat baginya mengenal lintasan yang dilewati.

Ia ditinggalkan di tengah hutan, tanpa makanan pokok apa pun. Mendengar hal itu Sang Ratu merasa lega, tidak ada lagi sebuah benalu yang menjadi hambatan bagi perkembangan istana, walaupun jauh di lubuk hatinya, ia merasa bersalah akan ketiadaan Sang Raja.


.
.
.


"Kau mendengarkan ku tidak?!" Ketus Sekar karena merasa lelaki yang kini di depannya tidak memberikan respon apa-apa, ia hanya terlihat bersandar seraya mendongakkan kepalanya menghadap ke langit-langit perpustakaan tanpa melalukan pergerakan apa pun.

"Dengar, aku dengar."

"Kelihatannya seperti tidak." Lantas Sekar menutup bukunya serta menumpu kepalanya di atas lutut. San tidak memberikan respon yang baik dan itu membuatnya jengkel.

Mereka duduk tanpa alas di bilik buku dongeng, agar tidak dikatakan berisik karena Sekar secara alami ingin menceritakan sepotong cerita dari buku dongeng yang telah berulang kali ia baca. Menurutnya cerita itu sangat menakjubkan, kisah yang dramatis namun juga mengesankan, sehingga ia mendapat keinginan untuk berbagi cerita itu pada seseorang yang kini telah menjadi temannya, yaitu San.

Namun ternyata lelaki itu tidak terlalu menanggapi seruannya, tentu saja Sekar merasa kesal.

"Kenapa kau tergila-gila pada cerita itu? Padahal itu bukanlah cerita yang bagus," tanya San seraya memberikan opini.

"Sudahlah, aku malas berbicara denganmu," tutur Sekar, tanpa niat memandang lawan bicara.

"Aku serius bertanya. Menurutmu putera mahkota yang membunuh seluruh penghuni istana adalah tindakan yang bagus?"

Sekar membulatkan matanya, merasa ada yang salah dengan ucapan San. Ia menegakkan tubuhnya guna menatap eksistensi lelaki itu, yang dimana masih berada pada posisinya sejak awal.

"Apa maksudmu? Dia tidak melakukan pembunuhan."

Kini San yang bangun dari sandarannya, meniru respon Sekar yang membulatkan mata seperti sebelumnya, namun tidak terlalu kentara karena mata sipit yang San miliki. Ia mulai tertegun.

"Putera mahkota bertemu dengan seorang wanita dan menikah bersamanya di desa asal wanita itu, seperti dongeng pada umumnya. Pangeran kedua juga sama, dirinya menikah dan tahta segera diberikan padanya," tuntas Sekar membicarakan ending.

tacenda, choi sanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang