Memento

202 16 1
                                    

Note: Disarankan untuk mendengarkan lagu "A Thousand Years" saat membaca fanfic ini

.

.

.

.

Suasana malam di Kota Tokyo tentu sangatlah indah. Butiran salju terjun bebas dari angkasa malam membuat jalan dipenuhi tumpukan putih nan dingin. Meski udara dingin yang menusuk hingga tulang, tidak menyulut keinginan orang-orang untuk keluar bersama di musim dingin ini.

Sayangnya, hal itu tidak berlaku untuk Shinobu Kochou. Gadis bersurai gradasi hitam ungu itu melangkahkan kakinya sendirian di tengah hiruk-piruknya metropolitan di malam hari setelah seharian bergumul dengan hal-hal perkuliahannya. Jemarinya seraya berdansa di atas gawai yang dipegangnya, membalas pesan singkat dari sang sahabat.

Senyuman kecil terlukis di wajahnya. Sahabatnya mengirimkan beberapa video hewan yang dengan tingkah laku menggemaskan untuk menghiburnya. Namun, tetap saja hatinya terasa seperti ada sesuatu yang mengganjal. Shinobu hanya menjawab ala kadarnya.

Sejak ditinggal oleh sang pujaan hati, Shinobu kehilangan sedikit selera humornya. Hal itu tentu disadari oleh sang sahabat, Mitsuri yang berusaha membantunya. Hanya saja saat ini Mitsuri sedang sibuk dengan berbagai tugas perkuliahan nya sehingga tidak bisa menemani Shinobu. Lagipula Shinobu juga tidak memaksakan hal itu.

Sang pujaan hati yang membuat pikirannya kalut dalam lautan kesedihan meninggal beberapa bulan lalu karena kelelahan bekerja. 

Yah, hal itu memang sudah takdir dan tak bisa dihindari.

"Duh kenapa kepikiran dia lagi," gunamnya seraya mengacak-acak surai hitam legam miliknya. Belakangan ini Shinobu berusaha move on darinya. Karena menurutnya (dan atas saran dari Mitsuri) terlalu berlarut dalam kesedihan itu tidak baik.

Shinobu melangkahkan kakinya lagi melewati sebuah toko roti yang masih beroperasi malam itu. Aroma roti yang baru dipanggang, merebak mendominasi indera penciuman. Wangi tersebut membangkitkan kenangan tentang sang pujaan hati yang menyukai makanan tersebut.

Seketika, bayangannya muncul dalam benak gadis itu. "Ah iya sensei memang menyukai roti," gunamnya perlahan dan memutuskan untuk membeli sebuah roti untuk dirinya.

.

.

.

Setelah membayar roti tersebut, Shinobu pergi ke halte bus dekat toko roti tersebut. Ia memutuskan untuk pulang dan beristirahat daripada keluyuran tidak jelas di malam hari. Disantapnya roti tersebut sembari menunggu kedatangan bus yang akan membawanya pulang.

Shinobu ingat betul dahulu saat dia masih SMA, pujaan hati sekaligus guru darinya suka sekali menyantap roti sendirian di tangga. Terkadang bila ia sedang tidak sibuk, Shinobu menyempatkan dirinya untuk menemani Giyuu makan.

Shinobu terkekeh mengingat kejadian itu. Hingga ada seorang pemuda yang tiba-tiba menyenggolnya dan menyebabkan roti yang disantapnya jatuh ke tanah bersalju.

"M-maafkan aku, aku tidak sengaja," ujar pemuda itu panik. Tangannya terulur untuk mengambil bungkusan roti Shinobu yang tak ia sengaja jatuhkan. Namun, tangannya tertahan oleh Shinobu yang berkata," Sudah tidak apa-apa, lagipula roti itu juga sudah kotor."

Merasa bersalah, pemuda itu menyodorkan sebuah roti baru kepadanya. "Ini untukmu, untungnya tadi aku beli lebih, sekali lagi aku minta maaf," lirihnya.

Deja vu, Shinobu seakan-akan teringat sesuatu lagi. Saat dia menatap wajah pemuda itu, fragmen ingatan tentang sang pujaan hati tetiba terlihat jelas dalam benaknya. Dahulu sang pujaan hati pernah melakukan hal ini padanya dan sekarang kejadian yang sama namun dengan orang yang berbeda.

Sepatah nama yang terucap, lolos dari mulut tanpa sengaja. "Tomioka-sensei?"

"Eh?" Pemuda itu bingung dengan apa yang Shinobu ucapkan. "Maaf sepertinya aku salah orang," lanjut Shinobu yang mengambil roti pemberian pemuda itu. "Begitu ya, tidak apa-apa ko."

Semburat merah tercipta di pipi Shinobu. Malu. Sampai salah memanggil orang yang jelas-jelas berbeda dengan Giyuu. Namun, semendadak dengan semu merah di pipi, ada liquid bening di pelupuk matanya yang mulai berjatuhan. Air matanya berlinang di pipinya. Gadis itu menggigit bibir bawahnya menahan suara dari tangisannya.

Pemuda itu mengecek gawainya berulang kali, tidak menyadari gadis disebelahnya sedang terguguk. "Bisnya tidak muncul juga ... mungkin aku akan pulang dengan berjalan kaki saja." Pemuda itu bangkit dari duduknya dan mengucapkan salam, "Maaf aku pamit terlebih dahulu, jaga dirimu baik-baik."

Pemuda itu meninggalkan Shinobu dalam kesendirian. Lagipula mereka tidak saling mengenal satu sama lain. Untuk apa meminta seseorang yang tidak dikenal menemaninya?

Tangisanya meledak. Ia menangisinya lagi. Isak tangisnya begitu kentara hingga orang yang melintas bisa mendengarnya. Wajahnya disamarkan oleh syal merah yang digunakannya. Ia begitu merindukannya. Ia teringat janji Giyuu bahwasanya ia akan mengencaninya setelah Shinobu lulus dari bangku SMA. Namun, takdir berkata lain. Nyawa Giyuu sudah diambil lebih dahulu oleh Tuhan.

Seharusnya kata-kata pemuda tadi diucapkan oleh Tomioka Giyuu ketika akan pergi meninggalkannya selamanya.Seharusnya kalau Giyuu tidak mati, Shinobu sudah tidak perlu menangisinya lagi.

Dan seharusnya di malam yang dingin ini, dia datang memberikan kehangatan untuknya.

.

.

.

.

.

.

Note: Ceritanya GiyuShino udah canon dari sebelum SMA, cuman Giyuu meninggal duluan padahal dia janji pas Shinobu lulus SMA bakal macarin dia. Ya, Giyuu nggak sempet menuhin janjinya.

Sekian terima gaji. Kritik saran yang membangun sangat diapresiasi untuk peningkatan kualitas fanfic.


Memento (GiyuShino Fanfiction)Where stories live. Discover now