Pengakuan

25 4 0
                                    

"Apa yang kamu cari? Apa yang sebenarnya kamu inginkan? Apa yang mau kamu kejar? Cuma pengakuan kan? Jawab saja. Kamu hanya membutuhkan sebuah pengakuan dari manusia atas dirimu sebagai manusia yang lebih menonjol dari manusia lain."

Perempuan itu tertunduk. Make-up nya jelas mulai luntur. Dia menatap perempuan yang mengajaknya berdebat. 

"Berhentilah menghancurkan dirimu. Dia tidak peduli. Bahkan yang lain pun tidak peduli. Tidak ada yang peduli atas apa yang kau lakukan pada dirimu. Jadi untuk apa kau mengejar pengakuan mereka atasmu? Tidak satupun dari mereka yang melihatmu! Maka cukup nikmati saja hidupmu. Senangi saja yang sudah diberikan padamu. Syukuri apa yang orang lain tidak dapat tetapi kau mendapatkannya."

Perempuan bermake-up luntur itu hanya mengatupkan gerahamnya rapat-rapat. Dia masih menunggu waktu yang tepat untuk membalas.

"Pengakuan itu pada akhirnya tidak berarti apa-apa. Kau seharusnya berpikir, apa kemudian yang terjadi setelah mereka mengakui keberadaanmu? Hanya rasa puas kan. Puas dalam hatimu yang sebentar. Seperti rasa haus yang segera hilang ketika kau meneguk minuman. Namun setelah itu kau akan merasa haus lagi setelah waktu berjalan. Berhentilah mengejar pengakuan. Lakukan saja yang sepantasnya dan sewajarnya dilakukan selaku dirimu. Berhenti mengeluh. Berhenti merasa tidak berarti. Berhenti mencari segala sesuatu yang membuatmu menjadi semakin tidak berarti. Fokus saja pada salah satu yang bisa kau lakukan. Kerjakan dengan baik. Lakukan dengan ikhlas. Perlu kau tahu, pengakuan itu tidak akan datang ketika kau mengharapkannya datang, tetapi dia akan mendekapmu ketika kau bahkan sama sekali tidak ingat apalagi membutuhkan kehadirannya. Cukup lakukan hal baik. Itu sudah cukup sebagai manusia yang hidup di dunia fana ini. Bukankah semua agama mengajarkan kita untuk melakukan yang terbaik dari apa yang baik yang kita kerjakan? Cukup lakukan itu saja. Lakukan hal baik dengan cara baik demi sebuah kebaikan sebagai manusia yang baik."

Perempuan yang make up-nya telah membaur dengan keringat dan air mata itu melempar teman perempuannya dengan gelas yang sedari tadi dia genggam dengan menahan geram. Untung teman perempuannya itu cukup gesit. Dia segera mengelak. Dan gelas itu pun pecah membentur dinding. Tidak ada yang memperhatikan. Karena di ruangan itu hanya mereka berdua.

"Sudahlah, aku mau pulang. Aku lelah menjadi teman yang hanya mampu mengingatkan dan tak mampu berbuat apa-apa. Aku tidak bisa merasuk ke dalam jiwamu. Makanya aku tidak akan pernah bisa menyadarkan dirimu. Hanya kaulah sendiri yang mampu melakukan itu. Bangunlah. Fokuslah. Apa yang sebenarnya ingin kau lakukan. Untuk umur 41 tahun aku rasa terlalu tua bagimu untuk terus mencoba hal baru dan kemudian meninggalkannya begitu saja tanpa rasa bersalah. Kenapa kau selalu merasa tidak berhasil atas apa yang kau coba? Kau selalu berpikir untuk menjadi juara di dalam segala hal. Tentu itu tidak mungkin. Apakah menjadi juara itu penting? Apakah menjadi yang terbaik itu adalah segala-galanya yang perlu dikejar seorang manusia? Perlu kau tahu, orang-orang yang terbaik itu malah tidak pernah berpikir seperti itu. Mereka tidak mengejar juara. Mereka tidak mengejar pengakuan orang. Mereka menjadi terbaik karena mereka mengabaikan pengakuan itu sendiri. Mereka menjadi terbaik karena mereka melakukan apa yang harus mereka lakukan sebagai sebaik-baiknya manusia yang baik. Apakah kamu sudah melakukan itu?"

"Apakah kau sengaja menghalang-halangiku untuk maju? Aku memang pemain baru dan kau adalah pemain lama, akan tetapi tidak pantas rasanya sebagai seorang senior takut akan kedatangan yunior yang masih bau kencur. Lalu menakut-nakuti si yunior untuk tidak ikut dalam kontestasi ini. Perbuatanmu ini jelas membuatku semakin yakin untuk mendapatkan nomor urut satu!"

Perempuan satu lagi yang make-up nya sangat flawless dan menyatu seperti topeng di wajahnya itu tertawa besar. Begitu mulus kulit yang dia miliki, laksana porselin mengkilat di bawah pantulan lampu. "Keyakinanmu itu sungguh luar biasa. Kamu itu cuma pelengkap yang dibutuhkan. Aku rasa tiga nomor teratas tidak mungkin diisi olehmu. Kamu pikir siapa dirimu?"

Gantian kini yang tertawa, perempuan dengan make-up luntur tersebut tertawa hingga airmatanya mengalir. "Kau pikir aku tidak mampu melakukan apapun? Kau salah besar! Aku mampu melakukan apapun. Aku tidak butuh pengakuan, yang aku butuhkan adalah kemenangan telak!"

Perempuan berwajah porselin menelan ludah. "Aku tidak yakin dengan kemampuanmu!"

"Tidak apa kalau kau tidak yakin. Fakta akan berbicara lebih nyaring daripada tong kosong!"

Perempuan berwajah porselin membuka mulut hendak membalas. Akan tetapi dia urungkan karena telepon genggamnya berbunyi. "Ya, halo Pak Ketua," sambutnya dengan jumawa di depan perempuan saingannya. Tentu tidak sembarang orang bisa ditelepon Ketua secara langsung, kecuali orang yang sangat penting. Dia sangat ingin menekankan hal tersebut pada perempuan bermake-up luntur. "Ada perintah apa, Pak Ketua?" 

Perempuan bermake-up luntur mencibir.

"Ah, Pak Ketua bisa saja. Tentu, tentu saya bersedia melaksanakan apapun perintah. Demi kebaikan bersama. Demi kejayaan semua. Setiap kita kan harus mempunyai pengorbanan," perempuan itu tertawa. "Iya, iya, Pak Ketua. Benar, benar sekali." sahutnya sambil mengangguk-angguk. "Apa, Pak Ketua?" tiba-tiba suara perempuan berwajah porselin berubah. Suaranya meninggi dan matanya langsung menatap perempuan bermake-up luntur. "Iya, iya, Pak Ketua. Baik, baiklah." jawabnya sebelum telepon ditutup.

Kini, giliran telepon gengam perempuan bermake-up luntur yang berdering.

"Halo, saya sendiri, Ketua," jawab perempuan itu tak kalah jumawa dari perempuan satunya. dia mengangguk-angguk sambil tersenyum. Dari mulutnya hanya keluar kata "Ya, Ketua," atau "Siap, Ketua," hampir 3 menit. Setelah itu telepon ditutup.

"Apa katanya?" tanya perempuan dengan wajah porselin terkesan acuh tak acuh.

"Kenapa kau mau tahu?" balik bertanya perempuan dengan wajah penuh keringat dan warna make-up yang sudah tak beraturan.

Perempuan berwajah porselin mengatupkan gerahamnya dengan rapat.

"Kulihat kau kesal. Padahal aku tidak bermaksud demikian. Akan tetapi, perlu kuberitahu bahwa Ketua telah menetapkan keputusan. Surat dukungan untukku akan segera kuterima. Aku sudah dipastikan di urutan ketiga! Uang memang bisa mengubah apapun!" Lawan bicara bermake-up luntur tertawa luar biasa bahagia. Dia tampak sangat puas.

Si perempuan berwajah porselin mengeluarkan sesuatu dari tas tangan yang sedari tadi ditentengnya. Sebuah pistol mengacung ke arah si perempuan dengan make-up luntur.

"Haryati!" teriaknya memuntahkan peluru yang langsung menembus jantung si perempuan bermake-up luntur. 

Door!

Perempuan dengan wajah penuh keringat itu sontak memegang dadanya yang tembus sebutir besi panas. Dia menudingkan tangannya ke lawan bicara, "Maryati? Kau,..."

Perempuan yang diserukan namanya Maryati tersebut tersenyum lebar dan memasukkan kembali pistol ke dalam tas gengamnya dengan tenang.

"Pengakuan itu tidak terlalu penting untuk orang sepertimu, Haryati. Ketua hanya membutuhkan dukunganmu. Semua orang memahami hal itu, kecuali dirimu."

Haryati terbanting ke lantai dengan dada yang memerah. Matanya melotot dan mulutnya menganga. Kaku.

Telepon kembali berdering.

"Sudah kau matikan perempuan itu?" tanya suara di seberang telepon.

"Sudah, Ketua," jawab Maryati dengan wajah datar.

"Sekarang kau bisa di urutan ketiga. Dan aku pastikan kau terpilih kembali."

Maryati tersenyum dengan  kilatan tajam di sudut matanya.

***




You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 12 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Politikus KakusWhere stories live. Discover now