🎼 2. Tiga Atlet Nevaroux

56 8 0
                                    

Agatha mengayuh sepeda secepat mungkin.

Setelah kelas usai, ia punya janji untuk menemui teman-temannya di SMA Nevaroux. Dalam perjalanan, Agatha jadi mengingat Sophie.

Sejak masuk, Sophie tampaknya senang ada di Nevaroux. Sophie menjadikan kurangnya seni di Nevaroux sebagai kesempatan, sehingga dia bisa dengan mudah menjadi ketua teater, menjadi yang terbaik di paduan suara, mendirikan klub tata busana, mengadakan kelas tari, menjadi perempuan paling modis di sekolah, dan dikagumi banyak orang. Tentu saja dia sanggup melakukan itu. Sophie sanggup melakukan apa saja.

Agatha menghela napas. Setidaknya hubungan Agatha dengan saudara kembar sekaligus sahabat terbaiknya itu sudah jauh lebih baik sekarang.

Agatha berbelok tajam di tikungan. Ia mempercepat kayuhan ketika bangunan berwarna gelap SMA Nevaroux sudah ada di depan mata. Roknya berkibar-kibar diterpa angin. Ugh, hal lain yang tidak dia sukai dari Everze: seragamnya sangat seksis. Suatu pagi, Agatha pernah pergi ke sekolah memakai seragam atas lengkap (kemeja putih, bleazer, dasi), dipadukan celana olahraga di bawah. Saat Agatha dilaporkan ke Pollux, penjaga ketertiban sekolah, ia bilang, “Apa? Celana olahraga ini juga seragam di sini.” Dia dihukum membersihkan kamar mandi karena itu.

Agatha masuk lewat gerbang belakang Nevaroux, memarkir sepeda, lalu bergegas ke lapangan fottball tempat Hester dan timnya biasa latihan.

“Dot! Anadil!” panggil Agatha saat melihat mereka sedang bersantai di pinggir lapangan, menonton latihan tim football yang tampaknya sedang istirahat.

Dot dan Anadil menoleh, lalu Dot melambaikan tangan padanya.

Sambil mengatur napas, Agatha menghampiri mereka.

“Wow, wow, bernapas dulu, Agatha,” Dot menawarkan jus apel kalengan.

Agatha mengambil jus itu dengan kasar. “Aku…” ia terengah-engah. “Datang secepat yang aku bisa.”

“Kau terlambat,” kata suara tidak bersahabat di belakangnya.

Agatha mengelap keringat dan berbalik. Hester, berdiri di hadapannya dengan muka masam, memakai seragam tim football. Agatha selalu kagum dengan kemunculannya yang tiba-tiba.

Agatha memeriksa arloji. Empat menit lima puluh tiga detik. Ia menatap Hester, mulai bernapas dengan normal. “Mungkin kalau kau memberiku waktu lebih dari 20 detik untuk sampai ke sini, aku tidak akan terlambat.”

“Mungkin jika kau berhenti merengek dan mulai belajar dari kesalahan, kau tidak akan terlambat,” balas Hester.

Agatha menghela napas. “Asal kau tahu, hanya Denise Mueller yang bisa sampai di sini dalam waktu—”

“Jangan sok pintar di depanku!” Hester melayangkan tendangan ke pinggang Agatha, namun Agatha berhasil menghindar dengan baik. Mereka sudah sangat terbiasa dengan ini.

“Dan kecepatan rata-rata orang bersepeda hanya 330 meter—”

“Diam kubilang!” Hester menendang lagi.

Agatha menghindar lagi– “Hester!”

Hester mendengus dan merebut jus kalengan dari tangan Agatha. “Kau beruntung aku tidak serius.” Ia meminum jus itu.

Agatha cemberut. Ia duduk di samping Dot dan minta jus kalengan lagi. “Jelas saja tim football Nevaroux sangat unggul. Mereka punya aku untuk mengatur strategi,” sembur Agatha keras-keras.

“Kata gadis yang bahkan tidak bisa membawa bola dengan benar,” desis Hester.

Agatha berdiri. “Itu tidak membuatku lebih tidak penting bagi timmu!”

The School for Good and Evil Fanfiction (Bahasa Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang