🎼 0. Prolog

278 14 0
                                    

Dua Tahun Sebelumnya.

Ada kalanya diciptakan dengan kecerdasan di atas rata-rata adalah ketidakberuntungan.

Setidaknya itulah yang dipikirkan Agatha saat ini.

Berdiri canggung di ambang pintu sambil membawa nampan, Agatha memerhatikan perempuan dengan lipstik hitam itu menata barang di kamarnya. Dia hanya menggunakan kaos tanpa lengan dan celana pendek, membuat bisep bertato dan otot kakinya yang terlatih terekspos. Agatha melayangkan pandangan ke seluruh ruangan, berusaha menemukan petunjuk. Lalu, dia melihat sebuah bola cokelat berbentuk oval di atas ranjang, di samping tas gym berwarna hitam.

Mata Agatha melebar. “Kau adalah atlet football?”

Si perempuan berbalik. Dengan lipstik hitam itu, tato demon, dan rambut dicat garis-garis merah, dia terlihat sangat keren sekaligus mendominasi. “Yeah. Aku masuk tim football sejak SMP.” Ia tersenyum miring.

Agatha menatapnya dengan penuh kekaguman. Bukan hanya keren, cantik, punya fiisk yang kuat, berbakat, tapi juga sangat percaya diri. “Oh, itu bagus sekali.” Ia mengangkat nampan lebih tinggi. “Limun?”

Thanks.”

Mereka pun duduk di ruang makan untuk menikmati limun buatan Agatha dan makan camilan sambil berbincang.

“Sebentar. Kau bilang namamu Schaeffer?” tanya teman barunya setelah menghabiskan segelas limun. Perempuan keren itu menuangkan limun ke gelas lagi.

“Ya,” jawab Agatha.

Temannya mengerutkan kening. “Jangan bilang kau dan si pirang berbau parfum itu satu keluarga.”

Mata Agatha berkilat. “Maksudmu Sophie? Kau mengenalnya?”

“Ow yeah, anak itu. Dia sudah membuat masalah sejak hari pertama dan menghebohkan seluruh sekolah.”

Agatha tertawa kecil. “Dia selalu seperti itu sejak kecil.”

“Dia benar-benar keluargamu?”

“Iya, kami kembar.”

Perempuan berlipstik hitam itu menatapnya. “Kau bercanda.”

Agatha mengembangkan senyum sekenanya. Ia sudah sangat terbiasa dengan keadaan seperti ini. Ia dan Sophie memang sangat berbeda, sehingga orang yang tidak mengenal mereka sejak kecil tidak akan percaya mereka kembar.

“Kau serius?” tanya temannya tidak percaya.

Aggatha mengangguk.

Si perempuan berlipstik hitam tidak langsung merespons. Kemudian, dia menyeburkan tawa. “Oh, siapa yang menduga. Well, terserah apa hubungan kalian. Tapi aku jelas lebih menyukaimu daripada saudarimu.”

Kini giliran Agatha menatapnya tidak percaya. Seumur hidupnya, orang-orang selalu membandingkan Agatha dan Sophie, dan semua orang selalu berpendapat Sophie jauh lebih baik, jauh lebih cantik, lebih ramah, lebih manis, lebih dicintai, dan lebih segalanya dari Agatha. Dan Agatha tahu mereka benar. Jadi, bagaimana bisa perempuan di hadapannya lebih suka Agatha dari Sophie?

“Kau… bercanda,” kata Agatha, memalingkan muka.

“Tidak, aku serius,” kata temannya santai. Ia menuangkan limun ke gelas Agatha yang sudah kosong.

The School for Good and Evil Fanfiction (Bahasa Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang