2. Pernah Jadi Primadona

3.4K 657 208
                                    

"Kalo di kota, gue wanita karier. Kalo di kampung, gue perawan tua." – Hani

***

"Gue mo balik," kata Hani seraya bangkit menggeser kursi.

"Sendirian di kos-kosan? Mending ke apartemen gue. Kita main kartu kayak kemarin. Yuk, ah," ajak Indra ikut berdiri dan menyeret lengan Hani.

Indra merangkul pundak Hani menuju taksi yang baru saja menurunkan penumpang. Malam itu, kemungkinan besar mereka akan kembali menikmati waktu semalam suntuk untuk mengeluh dan mencerca atasan di kantor.

"Kerja di sektor swasta yang dinamis, sebenarnya bisa jadi media yang bagus untuk mengembangkan diri dan kompetensi," gumam Hani dari jok belakang taksi.

"Hmmm ...," lirih Indra tanpa menoleh. Pandangan mereka sama-sama lurus ke depan. Indra kembali mendengar cerita yang sudah diulang puluhan kali oleh sahabatnya.

"Harusnya bisa saling tukar pikiran, brain storming sehat dan persaingan sportif. Demi memajukan perusahaan dan memajukan karier tentunya."

"Nyatanya?"

"Nyatanya komunitas nggak sehat itu dianggap normal. Gue yang dasarnya susah deket dengan orang baru, sekarang malah makin parah. Cuma Machu Picchu yang bikin gue tahan, nggak turn over."

"Dan itu nggak cuma lo aja. Di awal jabatan gue jadi marcom manager, gue kelimpungan Han .... Mana yang biasa nempatin posisi itu tiba-tiba ngundurin diri. Gue belajar semuanya dari nol lagi. Promotion, awareness, branding, semua. Apalagi lo tau brand perhiasan perusahaan gue udah tinggi banget. Hampir semua orang kaya di Indonesia punya berlian dari perusahaan gue kerja. Lain lagi kalo gue harus ke kota lain untuk ngurus pembukaan boutique store baru. Ribet, sampe kadang gue lupa istirahat. Tapi gue happy, gue menikmati. Menurut gue, level kebahagiaan tiap orang itu, nggak cuma mentok cuma soal nikah. Untuk sekarang, gue lagi happy sendirian. Menikmati perkembangan karier gue."

"Lo sih enak ...," ucap Hani.

"Gue ngomong gitu bukan mau manas-manasin lo. Gue cuma mau lo bisa milih sesuatu yang bisa lo jalani dengan happy, tanpa ngeluh. Kerja kalo nggak ikhlas capeknya double."

"Lo langsung berhadapan dengan klien lo yang kaya-kaya. Enggak kayak gue yang cuma jadi kacung."

"Kan, lo idealis. Cuma mau kerja yang sesuai latar pendidikan lo aja. Padahal sayang banget ngabisin empat tahun dengan mengeluh," tukas Indra setengah bangkit melihat taksi yang sudah masuk lingkungan apartemen.

"Oke, Pak. Berenti di sini aja." Indra mengambil tas laptopnya dari jok dan membuka pintu mobil bersamaan dengan Hani.

"Apa gue harus jadi kacung lo aja?" tanya Hani tertawa melangkahkan kaki masuk ke lobi apartemen.

"Kenal banyak klien kaya itu enak lho ...." Indra mendahului Hani untuk men-tap kartu akses di sensor lift.

"Enak? Jangan-jangan lo ...." Hani menoleh pada sahabatnya yang tengah tersenyum mengangkat alis.

"Gue dikasi wine lagi. Ayo kita buka," ajak Indra mengalungkan tangannya di bahu mungil Hani dan berjalan keluar lift.

"Besok masih ngantor. Sinting ...," gerutu Hani.

"Enggak apa-apa sinting, ketimbang pusing. Baju lo masih ada di tempat gue."

Indra merasa malam itu mereka harus melakukan ritual mengeluh semalam suntuk. Menurutnya, Hani sudah terlampau rajin untuk ukuran seorang staf. Tak pernah terlambat ke kantor dan selalu berhasil mengerjakan tugasnya dengan memuaskan.

Mabuk CEO (SUDAH TERBIT CETAK)Where stories live. Discover now