[1] Andromeda

103 23 9
                                    

Dulunya, saat usiaku masih kanan-kanak, kukira yang dilakukan orang-orang dewasa-yang tumbuh menjulang tinggi seperti raksasa sampai leher kecilku harus kupaksa mendongak untuk melihat mereka itu-hanya bermain-main juga seperti yang sering kulakukan. Bedanya, permainan mereka lebih serius dan beragam, kadang-kadang juga melibatkan anak-anak seperti kami.

Yang paling sering kulihat adalah Ibu dan Ayah yang main lempar-lemparan piring dan benda-benda di sekitaran mereka sambil saling menyoraki. Kupikir dulu salah seorang dari mereka kalah bermain, lalu memilih melakukan kecurangan, tapi ketahuan oleh pihak lain dan akhirnya jadi saling sorak-menyoraki seperti Jingga yang saat main kelereng, karena takut kalah dia pindahkan kelerengnya lebih dekat ke lubang ketika Biru tidak melihat. Namun, Biru ternyata melihatnya, jadi dia marah tapi Jingga terus menyangkal dan akhirnya mereka saling meneriaki, berujung Biru menangis.

Saat itu umurku baru empat tahun, jadi yang kulakukan hanya duduk di pojok ruangan melihat dua orang dewasa saling bermain lempar-lemparan, sesekali Ibu menampar Ayah, dan beberapa kali Ayah menampar Ibu. Adegan favoritku waktu itu adalah ketika Ibu menatap nyalang sambil menunjuk-nunjukku dan berteriak pada Ayah. Aku merasa diikutsertakan dalam permainan mereka, makanya aku suka.

Tapi, semakin hari permainan mereka semakin beragam dan melelahkan. Umurku juga semakin bertambah, dan pandanganku tentang permainan mereka jadi berbeda. Apalagi setelah semakin besar, aku menyadari jika aku sama sekali tak pernah mereka ikut sertakan dalam permainan itu. Mereka sama sekali tak pernah mengajakku main apa-apa bahkan bicara saja mereka tak pernah padaku. Aku menyadari bahwa aku ini hanya cangkang kosong yang dibiarkan terpajang di pojok rumah.

Lama-lama, Ayah dan Ibu sudah tak pernah bermain lagi, bahkan saling sapa pun mereka tidak. Mungkin, mereka lelah bercekcok dan akhirnya saling merajuk pada satu sama lain. Tetapi, kenapa mereka merajuk lama sekali? Bahkan sampai usiaku menginjak enam belas hari ini.

Satu hal yang aku benci dari bertambah besar. Kupikir, jika aku bertumbuh dan jadi setinggi Ayah dan Ibu, mereka akan mengajakku bicara dan bermain bersama. Namun, alih-alih demikian, yang kudapatkan selama proses bertambah besar adalah: aku ... semakin ... membenci ... mereka. Toh lagian eksistensiku di rumah ini tidak pernah ada bagi Ayah dan Ibu.

Aku memasangkan sweater besar berwarna abu-abu ke tubuh, membiarkan seragamku bersembunyi di dalam sana beserta mereka-mereka yang tak ingin kuperlihatkan pada dunia.

Aku baru saja keluar dari kamar ketika perempuan dengan gaun pastel selutut dan tas kecil di punggung melenggang melewatiku begitu saja. Rambut hitam lurusnya dipotong seleher sementara poni tebal dibuat menutupi keningnya, membuat wajahnya yang sudah kecil semakin mungil saja. Namanya Mocca, usianya dua puluh satu, tahun ini. Satu-satunya saudara yang kupunya di dunia ini tetapi entah dia menganggap kami ini saudara atau tidak, aku tidak tahu. Yang jelas, yang kuingat sejak dulu adalah wajah Mocca selalu datar setiap melihatku.

Jadi, karena tidak ingin berpikiran aneh-aneh dan berakhir memunculkan spekulasi baru, kuputuskan untuk menyetujui pendapat bahwa Mocca juga tidak menganggapku ada di dunia.

Aku masih mengayuh sepedaku dengan santai, menikmati sejuknya berjalan di bawah pohon-pohon besar yang berjejer di tepi jalan perumahan ini ketika seseorang melemparkan sebuah ranting kecil ke kepalaku. Aku terkejut dan nyaris jatuh jika saja aku tidak pandai menyeimbangkan diri.

Aku memasang tatapan jengkel pada seseorang yang dengan tanpa rasa berdosa malah tertawa girang melewatiku.

"Kau seperti hantu perawan yang kehilangan selera makan," ujarnya masih terbahak.

"Memang wajahku seperti ini, terus aku harus apa!" balasku jengkel.

Namanya Rasin Mahdi. Tetanggaku selama lima belas tahun yang tidak akan pernah kuakui sebagai teman. Anak nakal yang dulu-bahkan sekarang-sering berkelahi denganku. Rasin sering bersekongkol bersama geng anak nakalnya untuk mencuri mangga tetangga dan menjahili anak-anak yang menurutnya lebih lemah dari dia. Bahkan sampai saat kami sudah duduk di bangku SMA sekarang, dia masih saja nakal dan seperti setan.

"Ah, tidak asik. Ubi semakin jelek saja kalau sudah marah. Kabur, ah, ogah disembur induk singkong!" Setelahnya Rasin mengayuh sepedanya lebih cepat. Meninggalkan aku yang mengerang kesal di belakang sini.

Kenapa di hidupku yang suram ini harus ada manusia seperti Rasin-nya? Sudah lah tidak dianggap ada oleh Ayah dan Ibu, dikatai beban oleh kakakku satu-satunya, tidak punya teman, dan terakhir namaku yang cantik-setidaknya satu-satunya hal yang kusukai dari hidupku-dirubah jadi Ubi oleh manusia tercela nan hina bernama Rasin Mahdi.

Aku berhenti melangkah setelah meletakkan sepedaku ke tempat parkir ketika tidak sengaja berpapasan dengan Mocca di halaman depan sekolah. Entah apa yang sedang dilakukannya di sini, yang jelas dia mencekal lenganku ketika kami berselisih-padahal aku sudah berniat untuk melewatinya begitu saja tadi.

Dia berbisik pelan, tetapi aku masih dapat mendengar ucapannya dengan jelas. Katanya, "Jangan pernah mengaku sebagai adikku pada orang-orang nanti."

Aku menoleh dan menatap sinis ke arahnya. Di antara banyaknya hal penting di dunia, kenapa harus itu yang dikatakannya padaku pagi-pagi begini? "Tenang saja. Bukannya kau sudah sering bilang bahwa aku tidak punya siapa-siapa di dunia ini? Jadi berhenti menggangguku." Aku menarik lenganku kuat kemudian berlalu meninggalkan Mocca begitu saja.

Setelah melewati koridor ke arah kiri dan sampai di lorong yang sepi, aku menyandarkan tubuh ke tembok, menatap ujung sepatuku. Aku sudah sering mendengarnya dari mulut Mocca, bahwa jangan pernah sekali pun mengaku sebagai adiknya di depan teman atau kenalan dia. Tetapi, sesering apa pun aku melaluinya, aku tidak pernah terbiasa. Aku semakin merasa tidak ada gunanya buatku hidup di dunia ini. Namun, aku juga terlalu takut untuk mengakhirinya sendiri. Aku tidak punya motivasi dan alasan untuk terus bertahan hidup, tetapi juga tidak punya cukup nyali untuk mati. Aku ... memang sepengecut itu.

Eksistensiku memang tidak pernah dianggap ada oleh orang-orang. Tidak ada yang menganggap aku penting dan istimewa. Tidak ada gunanya juga aku terus hidup, tetapi aku juga tidak tahu apa manfaatnya aku mati. Aku hanya merasa seperti sedang dirantai di pinggiran karang seperti Andromeda yang ditumbalkan ayahnya untuk meredam kemaharan Dewa Laut. Aku ketakutan, sendirian, dan ada monster yang kapan saja siap memangsa jiwaku sampai habis dan mati. Namun, bedanya adalah, aku tahu tidak akan pernah ada Perseus yang datang dan menyelamatkan hidupku. Aku hanya sendiri, bersama batu karang yang curam dan tajam, yang kapan saja bisa membuat rantai yang mengikat kaki dan tanganku putus sebelum akhirnya aku jatuh ke dalam lautan gelap. Atau meskipun rantai ini tidak putus, maka monster di dalam dirikulah yang akan mengakhiri hidupku sendiri bersama keganasannya.

Aku ... benar-benar akan berakhir. Sungguh. Hanya saja, aku tidak tahu kapan waktunya. Jadi, selama menunggu waktu pergi itu tiba, aku menggesekkan lagi benda pipih mengkilat yang selalu kubawa-bawa di dalam saku itu ke lengan kiriku setelah menyelinap ke dalam toilet. Mengikuti jejak basah yang kubuat tadi malam di sisi atasnya, membiarkan cairan merah kental itu mengalir lagi untuk kesekian kalinya, membawa beban-beban besar yang terus menghimpit dadaku tanpa henti. [ ]

Archetypal [Terbit]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum