Jika boleh jujur, diam-diam Hongjoong terpesona.

Lagi-lagi Seonghwa tertawa tanpa sepengetahuan Hongjoong. “Aku tanya apa kau mau mampir dulu ke toko buku atau tidak, Hongjoong?” Seonghwa mengulangi kembali pertanyannya.

“Tidak perlu,” Hongjoong menjawab cepat. “Kita bisa mampir saat pulang nanti.”

Hongjoong mencoba meminimalisir rasa gugupnya, tapi ternyata gagal. Intonasinya masih saja terdengar sumbang.

“Kalau begitu kita akan langsung pergi ke perpustakaan,” Seonghwa berkata selagi pandangannya fokus pada jalanan di depan. “Aku ingin mengajakmu ke café langgananku, tapi aku lihat sepertinya hari ini mereka tutup. Mungkin lain kali.”

Lain kali. Itu artinya mereka akan pergi lagi dengan Seonghwa yang seperti ini di lain waktu? Pemikiran ini berputar di kepala Hongjoong.

Anak lelaki yang satu itu semakin tak bisa menimpali kata-kata sang guru. Pikirannya tak bisa berkonsentrasi, sedang tatapannya sedari tadi terus-terusan ingin memandang ke arah samping.

Sungguh, Hongjoong tidak bisa menganggap pria yang tengah bersamanya kini sebagai gurunya. Seonghwa terlihat seperti anak muda yang umurnya tak jauh dengannya. Bahkan, dia bisa dengan mudah membayangkan pria tersebut mengenakan seragam SMA sama sepertinya.

Sementara itu, selama Hongjoong diam di sebelahnya, Seonghwa tak banyak merisaukannya. Dia pikir ini tak aneh. Hongjoong yang hanya bersuara ketika ditanya memang merupakan hal biasa.

“Kim Hongjoong, aku ingin mampir membeli kopi. Kesukaanmu Hazelnut Macchiato, kan? Aku yang traktir.”

Seonghwa tidak tahu betapa sulitnya Hongjoong mengendalikan degup jantungnya kala itu.

Agenda mereka pada hari itu dimulai dengan belajar di perpustakaan, itu tujuan utama mereka keluar hari ini. Tak lama. Hanya dua jam, setelah itu Seonghwa mengajak Hongjoong pergi.

Pada kala itu Hongjoong sempat terheran. Ini lebih singkat dari sesi-sesi belajar mereka sebelum ini.

Seonsaeng-nim,” Hongjoong memanggil Seonghwa ketika mereka berdua berjalan bersama keluar dari perpustakaan kota.

Ya Tuhan, sekarang Hongjoong bahkan merasa aneh memanggil Seonghwa dengan panggilan tersebut. Meski demikian, anak lelaki yang satu itu menyembunyikan perasaan anehnya dan mencoba sebisa mungkin bertanya secara natural. “Apa pembelajaran hari ini tidak terlalu singkat?”

“Kurasa tidak,” Seonghwa menjawab. “Aku tidak bisa melanjutkan pembelajaran lagi, Hongjoong. Kau terlihat susah berkonsentrasi hari ini. Percuma saja dilanjutkan, kau tidak akan bisa mempelajari dengan maksimal.”

“Tapi, itu kan ….”

Hongjoong tidak melanjutkan kata-katanya. Mana mungkin dia bisa.

Tidak akan pernah Hongjoong mengatakan pada gurunya tersebut, bahwa alasan sesungguhnya mengapa dia tidak bisaberkonsentrasi penuh pada les hari ini adalah karena pria tersebut mengalihkan seluruh perhatiannya dan membuyarkan pikirannya. Tidak mungkin Hongjoong berani mengatakan itu semua.

Jadi pada akhirnya Hongjoong memilih untuk tutup mulut. Mungkin pergi ke luar bersama sang guru di hari Minggu memang bukan ide baik.

Harusnya mereka belajar di rumah seperti biasanya saja hari ini.

“Hongjoong, kau suka sains dan biologi, kan?” Seonghwa tiba-tiba bertanya, dan sebelum Hongjoong menjawab, pertanyaan berikutnya sudah kembali diberikan. “Kau suka planetarium atau akuarium?”

“Eh?” Hongjoong tak memahami apa tujuan Seonghwa menanyakan hal itu.

“Aku hanya berpikir mungkin aku bisa mengajakmu ke suatu tempat yang kupikir pasti akan kau sukai. Kau terlihat tertekan belakangan ini—dan aku tidak tahu apa yang kau cemaskan. Aku hanya tahu pikiranmu tidak sedang bersamamu saat ini, Kim Hongjoong.”

Tomorrow | ATEEZ Seongjoong [COMPLETE]Where stories live. Discover now